Selasa, 25 September 2012

PENDIDIKAN SYARI’AH DAN PROFESI HUKUM, PELUANG DAN TANTANGANNYA

Pendahuluan
Kalau kita kritis mencermati lembaga hukum di Indonesia, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa sejak dari dahulu terdapat upaya yang sistematis untuk memarginalkan sisi "agama" dari pentas perkembangan hukum di Indonesia. Contoh kongkrit adalah, adanya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bahwa seorang lulusan fakultas hukum yang menguasai hukum Islam, dapat menjadi hakim pada Pengadilan Agama, akan tetapi seorang sarjana syari'ah sekalipun ia menguasai hukum “umum”, tidak akan dapat menjadi hakim pada Pengadilan Negeri. Kalau kita mau cari jawaban yang pragmatis, jawaban singkatnya adalah “begitulah yang dikehendaki oleh undang-undang”. Tetapi kalau kita ingin jawaban yang demokratis dan moderat, tentu tidak dalam kalimat yang sederhana itu.
Sarjana syari’ah untuk dapat menampakkan eksistensinya sebagai sarjana hukum yang bisa bekerja di profesi hukum telah dirintis sejak tahun 1974 setelah lahirnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perjuangan tersebut baru menemukan hasil pada tanggal 6 Januari 1983 saat Ketua Mahkamah Agung Bapak Mujono S.H dan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) yang salah satu poinnya adalah dibolehkannya sarjana syari’ah memberi bantuan hukum di peradilan Agama selain sarjana-hukum dari fakultas hukum umum. Akhirnya sarjana syari’ahpun patut gembira karena Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Profesi Advokat membuka paradigma baru bagi institusi hukum di Indonesia, karena undang-undang tersebut memberikan peluang yang sama antara sarjana syari’ah dan sarjana “umum” untuk menjadi advokat. Sehingga undang-undang ini nampak lebih maju dan demokratis, karena tidak ikut-ikutan melakukan diskriminasi-kategoris terhadap sarjana fakultas syari'ah.

HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM



Pendahuluan

            Kata melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), telah menjadi kata yang amat populer di tengah masyarakat, bahkan tidak mengenal strata, dari kalangan terpelajar sampai tukang becak dan petani thothok (jawa) tidak merasa asing mendengar kata tersebut. Akan tetapi jika mereka ditanya apa maksud dari kata tersebut, maka merekapun akan menjawab sekenanya sesuia dengan pengetahuan mereka. Tetapi secara umum jawaban mereka masih samar-samar dari pengertian yang tepat dan benar; Bahkan jika terjadi seseorang tanpa sengaja melakukan perbuatan sepele tetapi dirasa mencederai perasaannya, merekapun tidak segan-segan mengatakan bahwa orang tersebut telah melanggaran HAM; terinjak kakinya oleh seseorang dikatakan melanggar HAM, nyerobot antrian dikatakan melanggar HAM dan lain-lain.

Senin, 10 September 2012

KURANG PIHAK DALAM GUGATAN WARIS


Pendahuluan
Dalam menilai terpenuhinya syarat-syarat formil sebuah surat gugat, sering kali menjadi perdebatan dan perbedaan antar hakim. Misalnya dalam sengketa waris, ada hakim yang berpendapat keharusan melibatkan semua ahli-waris dalam sengketa, sehingga kalau ada ahli-waris yang berhak tetapi ia tidak mau menggugat, maka ia harus didudukkan sebagai “turut tergugat”, sebuah istilah baru dan diada-adakan di luar hukum acara. Jika tidak mengikuti patron ini, maka gugatan waris tersebut dinilai sebagai gugatan yang cacat formil sehingga gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklart) karena kurang pihak (plurium litis consortium).

Minggu, 02 September 2012

URGENSI PEMBAHARUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DALAM PENGEMBANGAN PRODUK KEUANGAN KONTEMPORER


Pendahuluan
”Inna Allah yab’ats li hâdzih al-ummah ’alâ kull ra’s mi’ah sanah
man yujaddid lahâ dînahâ”.

Hadits tersebut diatas merupakan ide dasar pentingnya pembaruan dalam Islam. Spirit kebangkitan Islam, bahkan kebangkitan nasional di Indonesiapun terinspirasi nilai yang terkandung dalam hadits tersebut; Diawali adanya fatwa para ulama Indonesia tentang wajibnya membela tanah air dari penjajahan, fatwa ini mendorong lahirnya gerakan-gerakan perlawanan terhadap penjajah pada penghujung abad ke-19; Sartono Kartodiharjo menyebutnya dengan gerakan “relegius revival”, atau tepatnya adalah “islamic revival”, karena gerakan ini dipelopori oleh para ulama, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Tengku Umar, Cut Nya’ Dien, Sultan Banten yang semua gerakan dan perlawanannya berbasisi keislaman dan kesadaran akan pentingnya kemerdekaan.
Paska kemerdekaan kebangkitan Islam di Indonesia difokuskan pada peningkatan ekonomi bangsa termasuk sistemnya; Pada penghujung abad ke-20, diawali ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan lahirnya lembaga perbankan berbasis non-bunga yang menjadi basis gerakan ekonomi syariah di Indonesia, para ulama memandang bahwa sistem ekonomi yang dijalankan di Indonesia tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam karena berbasis bunga. Memang diskursus tentang sistem ekonomi telah didominasi oleh dua sistem, yakni sistem ekonomi “kapitalis” dan “sosialis/komunis”. Dua sistem ini berebut pengaruh dan menancapkan hegemoninya pada negara-negara berkembang dalam rentang waktu yang cukup panjang, sehingga membentuk sebuah kesadaran umum termasuk umat Islam, seakan-akan tidak ada pilihan lain dalam menjalankan sistem ekonomi kecuali harus memilih salah satu di antara keduanya.

REVITALISASI LEMBAGA WAKAF DI INDONESIA PERSPEKTIF UNDANG UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004


Pendahuluan
Eksistensi wakaf dalam konstalasi sosial masyarakat sangat didambakan, sebab lembaga wakaf dalam ajaran Islam hakikatnya bukan hanya sebagai shock breaker untuk menanggulangi kebutuhan sesaat, melainkan diharapkan sebagai sub sistem lembaga baitul mal. Wakaf jika dikelola secara profesional akan merupakan sumber dana yang potensial untuk pembangunan bangsa dan negara.
Praktek perwakafan di Indonesia belum sepenuhnya berjalan tertip dan efesien sehingga dalam berbagai kasus banyak harta benda wakaf yang terlantar dan atau tidak terpelihara bahkan tidak sedikit yang beralih kepada pihak ketiga dengan cara melawan hokum, apa lagi disaat kebutuhan tanah/lahan sangat meningkat berkaitan dengan perkembanan populasi manusia dan eksplorasi alam. Hal yang demikian terjadi bisa karena ketidak mampuan Nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf disamping belum adanya pemahaman masyarakat terhadap fungsi, tujuan dan paran harta wakaf menurut syariat.
Selain sebab-sebab sebagai tersebut diatas, ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami oleh masyarakat cenderung terbatas pada benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, padahal tidaklah demikian, wakaf dapat pula berbentuk benda bergerak misalnya kendaraan, maupun benda tak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga bahkan dapat pula wakaf berbentuk hak, misalnya hak kekayaan intelektual.
Untuk merealisasi dan merevitalisasi wakaf di Indonesia, pemerintah telah memberikan payung hukum di bidang perwakafan dengan intrumen undang-undang yaitu Undang Undang Nomor 41 tahun 2004 yang diundangkan pada tanggal 27 Oktober 2004 dengan tujuan agar semua unsur yang terlibat dengan wakaf mempunyai payung hukum dalam mendayagunakan harta wakaf.
Sejarah Wakaf
Pada masa klasik, masyarakat dunia pada dasarnya telah mengenal beberapa sistem yang secara universal tidak jauh beda dengan sitem perwakafan dalam Islam. Hal ini terlihat dari sisi bagaimana orang-orang di zaman klasik menyisihkan sebagian harta yang dimiliki untuk didayagunakan pada lembaga tertentu. Terlepas dari keyakinan yang mereka anut, hal semacam ini menurut keyakinan mereka merupakan suatu bentuk amal kebajikan. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong bagi setiap umat beragama untuk mendirikan bangunan peribadatannya.
Kuil-kuil dan rumah peribadatan sudah ada sejak zaman dahulu sebagaimana yang kita temukan dalam lingkup masyarakat sekarang dan menjadi bagian integral dalam sejarah manusia, sudah barang tentu tempat-tempat peribadatan tersebut harus didirikan dalam bentuk dan tempat-tempat permanen dan bukan merupakan milik perorangan.
Dalam sejarah peradaban Mesir kuno, bahwa Ramses II telah menganugerahkan kekayaan (hak miliknya) yang melimpah ruah kepada kuil “Abidus”, penganugerahannya itu dirayakan dengan upara yang penuh hikmat dihadapan seluruh pembesar negeri dan tokoh masyarakat (Al-Kabisi, 2001). Peristiwa tersebut mendorong masyarakat untuk menirunya, karena berdasarkan kepercayaannya  bahwa pengorbanan harta milik untuk kegiatan peribadatan, memperbaiki kuil-kuil dan menjaga kelestariannya untuk kepentingan syiar agama dan kepercayaannya adalah perbuatan yang mulia dan terpuji serta merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam masyarakat Rumawi tertuang dalam piagam “Justinian” (kumpulan undang-undang Rumawi) bahwa setiap benda yang berkaitan dengan kegiatan upacara agama tidak boleh dijual belikan, digadaikan atau dimiliki seseorang karena ia adalah milik Tuhan. Lebih dari itu, mereka memandang bahwa lahan tempat berdirinya tempat suci, meski bangunannya telah hancur, tetap menjadi tempat yang suci.
Uraian singkat tersebut, bisa disimpulkan bahwa sistem yang meraka terapkan pada dasarnya memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan makna wakaf dalam Islam.    
Dalam ajaran Islam, peninggalan wakaf yang pertama kali dikenal dalam masyarakat Arab pra-Islam adalah Al-Ka’bah Al-Musyarafah yaitu rumah peribadatan pertama yang dibangun oleh nabi Ibrahim A.S. sebagai tempat untuk berkumpul (Haj) dan tempat yang aman bagi manusia. Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan masyarakat Arab waktu itu kemudian menjadikan Ka’bah sebagai pusat penyembahan berhala, dengan keyakinan bahwa penyembahan berhala tersebut merupakan salah satu upaya pendekatan diri kepada Allah. Selanjutnya setelah diutusnya nabi Muhammad SAW syari’at Islam mengaturnya lebih jelas dengan Al-Qur-an dan Sunnah Rasululullah dan diikuti oleh para sahabatnya.
Pada masa Islam,  kita ketahui bahwa wakaf pertama dalam tasyri’ Islam adalah wakaf masjid yang dibangun umat Islam bersama Rasulullah di Quba pada tahun 622 M. Selanjutnya adalah wakaf masjid “Nabawi di Madinah yang merupakan masjid terpenting kedua setelah masjid Haram di Makkah.
Dasar Tasyri’ Islami
Dalam kajian-kajian Hukum Islam (fiqih), hadits yang cukup terkenal yang menunjukkan disyari’atkannya wakaf, selain hadits Umar bin Khathab adalah hadits Abu Thalhah riwayat Muslim dan Anas bin Malik ; Abu Thalhah adalah sahabat Anshar yang paling banyak kebun kormanya di Madinah. Harta yang paling ia cintai adalah Bairaha’ yang tepat berhadapan dengan masjid Nabi. Setelah turun dan dibacakannya ayat 92 Surat Ali Imran, maka Abu Thalhah berdiri dan mengatakan :Wahai Rasulullah, sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha’, ia kami sedekahkan kepada Allah, kami hanya mengharapkan kebaikan dan pahalanya di sisi Allah. Pergunakanlah kebun itu sesuai dengan petunjuk Allah”. Maka Rasulullahpun menerima wakafnya dan memberikan petunjuk-tentang penggunaan hartanya tersebut. (Abd. Wahab, Al-Waqf, 39).    
Selanjutnya permasalah wakaf menjadi perbincangan fiqih secara panjang lebar oleh para fuqohak, berkenaan pengertian, syarat-syarat dan rukun wakaf, syarat-syarat wakif, syarat-syarat harta wakaf, syarat siapa sasaran wakaf serta ketentuan-ketentuan lain berkaitan dengan pemberdayaan lembaga wakaf.
Wakaf Potensial Dalam Mengembangkan Kesejahteraan Umat
Negara-megara Islam modern menjadikan wakaf sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya disamping zakat. Contoh pemanfaatan wakaf seperti ini adalah Negara Mesir yang mauquf’alaihnya Universitas Al-Azhar. Wakaf-wakaf disana terdiri dari kebun-kebun korma yang jumlahnya mencapai ribuan hektar, hotel-hotel berbintang yang dikelola secara profesional, gedung-gedung perumahan/kondominium, toko-toko yang disewakan yang tiap tahun menghasilkan uang dan keuntungan yang banyak, sehingga wakaf tersebut merupakan sumber dana yang produktif yang tidak pernah kering sehingga mampu membiayai seluruh mahasiswa yang belajar di sana;
Selain berupa gedung-gedung universitas dengan segala perlengkapannya yang serba modern, asrama-asrama mahasiswa dan dosen yang memadai. Dari itu semua dapat membiayai gaji karyawan, dosen dan  beasiswa, serta membiayai mubaligh ke luar negeri, bahkan pada masa pemerintahan Presiden Gamal Abdun Nasher, disaat negara memerlukan bantuan keuangan, pemerintah meminjam ke Badan Wakaf Al-Azhar, bukan kepada bank dunia yang mematok bunga yang cukup tinggi (Rahmat Jatnika, 1993); Oleh karena itu salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana “ibadah” dan sosial, tetapi juga mempunyai kekuatan ekonomi yang berpotensi untuk memajukan kesejahteraan umum. Harta wakaf hendaknya dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syari’ah sebagai dana abadi umat yang pokok atau modalnya harus tetap. 
Wakaf dan Administrasi Pemerintahan
Keterlibatan pemerintah untuk mengatur masalah perwakafan merupakan keniscayaan atas dasar kemaslahatan (Al-Maslahah al-mursalah). karena hal tersebut menyangkut kepentingan umum (masyarakat banyak), Jika tidak, maka akan menimbulkan ketidak tertiban. Kaidah yang populer dalam masalah ini adalah “Tashorruful imam alar roiyyah manuthan bil mashlaha” : Pemerintah berkewajiban mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan kemaslahatan, oleh karena itu adalah tepat jika ahli-ahli fiqih moneter dan administrasi Islam banyak yang membicarakan wakaf dengan pendekatan administrasi negara dan moneter. Misalnya dapat kita kaji kitab : Al-Ahkam As-Sulthaniyah tulisan Al-Mawardi Asy-Syafi’i; kitab Al-Ahkamu Shulthaniyah karya Abu Ya’la dari madzhab Hambali dan kitab Syiyasah al-Syar’iyah (Strategi Hukum) karya Ibnu Tamiyah mereka membahasnya dengan pendekatan administrasi negara secara rijit dan detail; Kitab Al-Kharaj (Pajak Hasil Bumi) karya Abu Yusuf; kitab Al-Kharaj  karya Yahya bin Adam; kitab Al-Amwal (Kekayaan) karangan Abu Ubaid membahasnya dengan pendekatan moneter yang cukup memadai. Ahkam al-Auqaf oleh As-Syaibani, Ahkam al-Waqf karya Abdul Wahab Khallaf, Risalah fi Hukmi Bai Al-Ahbas oleh Imam Yahya membahasnya dengan pendekatan hukum administrasi pemerintahan. Karena itu negara-megara Islam modern menjadikan wakaf sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya disamping zakat.

Perwakafan Di Indonesia
Delapan tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 27  Oktober 2004 Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang Undang Tentang Wakaf  yaitu : Undang-undang Nomor 41 tahun 2004.
Dalam perspekif politik hukum, wakaf di Indonesia diatur dengan tiga instrumen hukum,  yaitu : pertama dengan Instrumen Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, kemudian yang kedua dengan Istrumen Impres yaitu Kompilasi Hukum Islam  (KHI) dan yang terakhir dengan Instrumen Undang Undang Nomor 41/2004. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia menaruh perhatian serius terhadap lembaga wakaf serta mensiratkan kesungguhan pemerintah untuk memperkokoh lembaga hukum Islam menjadi hukum nasional dalam bentuk transformasi hukum.
Ada beberapa hal yang menjadi pokok pikiran dari undang-undang tersebut, paling tidak meliputi lima prinsip;
Pertama ; Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, hal tersebut dapat dilihat adanya penegasan dalam undang-undang ini agar wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf yang harus dilaksanakan.
Kedua : Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, menurut undang-undang ini wakif dapat pula mewakafkan sebahagian kekayaan berupa harta benda bergerak, baik berwujud dan tak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya;
Dalam hal benda bergerak berupa uang, wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan Syari’ah. Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syari’ah disini adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang keuangan syari’ah, misalnya badan hukum di bidang perbankan syari’ah.
Ketiga : Peruntukan harta wakaf tidak semata-mata kepentingan sarana ibadah dan sosial, tetapi juga dapat diperuntukkan memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Karena itu sangat memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf untuk kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syari’ah;
Keempat : Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campurtangan pihak ketiga yang merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan kemampuan profesional Nazhir;
Kelima ; Undang undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan. Badan tersebut merupakan lembaga independen yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap Nadzir, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf bersekala nasional dan internasional, memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf dan memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan dibidang perwakafan. (Lihat penjelasan dari UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf)
Ada dua hal lain yang tak kalah penting yang menjadi prinsip persoalan wakaf yang harus menjadi acuan, yaitu : wakaf semula adalah bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, karena kalau melihat sejarah dan prkatek wakaf di zaman nabi Muhammad SAW ternyata keberadaan wakaf sangat potensial dan menentukan bagi kelancaran roda ekonomi yang mensejahterakan rakyat, dan ketika seseorang telah mewakafkan sesuatu, maka dia tidak bisa lagi mengambil krembali barang yang diwakafkan itu. Hal terakhir ini menjadi penting untuk menjaga kekekalan harta wakaf dan menjamin kepastian hukumnya.

Fiqih dan Peraturan Perundangan tentang Wakaf.
Pembahasan ulama tentang wakaf sesungguhnya telah cukup maju, banyak gagasan yang meraka kemukakan sudah mengantisipasi perkembangan zaman.
Fuqaha madzhab Maliki misalnya, membolehkan mewakafkan segala sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepada orang yang diberi wakaf, baik barang bergerak maupun tidak bergerak untuk selamanya (Ali Fikri, Al-Muammalat, 2007) bahkan beliau berpendapat bahwa manfaat hewanpun dapat diwakafkan,  apalagi memanfaatkan uang.
Madzhab Syafi’i dan Hambali memberikan penekanan pada kekekalan manfaat, baik harta wakaf itu berupa benda bergerak  seperti mobil dan hewan,   atau benda tidak bergerak  seperti rumah dan tanaman boleh diwakafkan. Merakapun membolehkan wakaf terhadap benda milik bersama (kolektif).
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 ayat (4) menyatakan bahwa : “Benda wakaf adalah segal benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam”. Kemudian pasal 217 ayat (3) menyatakan bahwa : Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (4) harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan , ikatan, sitaan dan sengketa “. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 Pasal 4 menyatakan : “Tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan perkara”. 
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa beberapa fuqaha seperti Imam Az-Zuhri juga berpendapat bahwa boleh mewakafkan dinar dan dirham, implementasinya adalah bahwa dinar dan dirham tersebut dijadikan sebagai modal usaha (dagang) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Menurut Madzhab Hanafi bahwa uang  yang diwakafkan dijadikan modal usaha dengan sistem mudlarabah atau murabahah dan sistem bagi hasil lainnya yang syah menurut syar’i. Keuntungan dari bagi hasil tersebut diberikan untuk kepentingan umum.
Melihat prinsip-prinsip dalam peraturan perundang-undangan wakaf baik yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 diatas nampak bahwa peraturan perundangan tersebut singkron dengan pendapat madzhab-madzhab yang dikenal dalam fiqih Islam.  Bahkan keberadaan peraturan perundangan wakaf setidaknya telah memberikan pengertian keluasan cakupan benda wakaf sekaligus memberikan legitimasi kekuatan dan kepastian hukum wakaf; Misalnya tentang ketentuan kewajiban mendaftarkan tanah wakaf, sayarat-sayarat nadzir dan lain sebaginya.
Kesimpulan
Wakaf adalah merupakan sebuah lembaga keagamaan yang bernilai ekonomi tinggi, kalau dikelola secara profesional maka keberadaanya menjadi sesuatu yang dapat menopang perekonomian umat. Kita bisa berkaca kepada wakaf Al-Azhar yang mempu membantu keuangan pemerintah disaat terjadi krisis moneter.
Perhatian dan pembinaan profesionalisme pengelola wakaf menjadi sesuatu yang diterminan, maka dengan dikeluarkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf disatu sisi akan memberikan legitimasi keberadaan badan wakaf, namun yang lebih penting bahwa keberadaan Undang Undang Wakaf tersebut lebih menertibkan administrasi perwakafan sekaligus semakin memperkokoh pelaksanaan sebahagian hukum Islam di Indonesia.             

APRESIASI UNTUK DOKTOR ILMU FALAK





Hari Senin 13 Agustus 2012, saat jarum jam menunjuk pada pukul 17.10 WIB  adalah saat yang paling membanggakan dan membahagiakan bagi Bapak Dr. H. Sriyatin Shodiq, MA. (Pak Sri) dan keluarga; Saat Prof. Dr. H. Burhan Jamaluddin, MA. selaku Ketua Team Penguji Promosi Doktornya berdiri diatas podium mengumunkan hasil ujian sang Promofendus dinyatakan lulus dan berhak memperoleh gelar doktor dengan predikat “cumlaude”. Dengan demikian barisan cendekiawan doktor di bidang “Ilmu Falak” bertambah lagi setelah secara berturut-turut: Dr. H. Susiknan Azhari, MA (Penguji Utama) dengan disertasinya yang berjudul “Penggunaan Sistem Hisab dan Rukyat di Indonesia” (2006);Dr. H. Abd. Salam, MA, dengan disertasi berjudul “Tradisi Fikih Nahdlatul Ulama Tentang Penentuan Awal Bulan Islam” (2008); Dr. K.H. M. Ma’riafat Imam, MA. dengan disertas berjudul “ Kalender Islam Internasional, Analisis Tentang Perbedaan Sistem” (2009); Dr. H. Asadurahman, MA, dengan disertasi berjudul “Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Hisab dan Rukyat” (2011).