Pendahuluan
Eksistensi wakaf dalam
konstalasi sosial masyarakat sangat didambakan, sebab lembaga wakaf dalam
ajaran Islam hakikatnya bukan hanya sebagai shock breaker untuk
menanggulangi kebutuhan sesaat, melainkan diharapkan sebagai sub sistem lembaga
baitul mal. Wakaf jika dikelola secara profesional akan merupakan
sumber dana yang potensial untuk pembangunan bangsa dan negara.
Praktek perwakafan di
Indonesia belum sepenuhnya berjalan tertip dan efesien sehingga dalam berbagai
kasus banyak harta benda wakaf yang terlantar dan atau tidak terpelihara bahkan
tidak sedikit
yang beralih kepada pihak ketiga dengan cara melawan hokum, apa lagi
disaat kebutuhan tanah/lahan sangat meningkat berkaitan dengan perkembanan
populasi manusia dan eksplorasi alam. Hal yang demikian terjadi bisa karena ketidak mampuan Nadzir
dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf disamping belum adanya pemahaman
masyarakat terhadap fungsi, tujuan dan paran harta wakaf menurut syariat.
Selain sebab-sebab
sebagai tersebut diatas,
ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami oleh masyarakat cenderung terbatas
pada benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, padahal tidaklah
demikian, wakaf dapat pula berbentuk benda bergerak misalnya kendaraan, maupun
benda tak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga bahkan dapat pula
wakaf berbentuk hak, misalnya hak kekayaan intelektual.
Untuk merealisasi dan
merevitalisasi wakaf di Indonesia, pemerintah telah memberikan payung hukum di
bidang perwakafan dengan intrumen undang-undang yaitu Undang Undang Nomor 41
tahun 2004 yang diundangkan pada tanggal 27 Oktober 2004 dengan tujuan
agar semua unsur yang terlibat dengan wakaf mempunyai payung hukum dalam
mendayagunakan harta wakaf.
Sejarah
Wakaf
Pada
masa klasik, masyarakat dunia pada dasarnya telah mengenal beberapa sistem yang
secara universal tidak jauh beda dengan sitem perwakafan dalam Islam. Hal ini
terlihat dari sisi bagaimana orang-orang di zaman klasik menyisihkan sebagian
harta yang dimiliki untuk didayagunakan pada lembaga tertentu. Terlepas dari
keyakinan yang mereka anut, hal semacam ini menurut keyakinan mereka merupakan
suatu bentuk amal kebajikan. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong
bagi setiap umat beragama untuk mendirikan bangunan peribadatannya.
Kuil-kuil
dan rumah peribadatan sudah ada sejak zaman dahulu sebagaimana yang kita
temukan dalam lingkup masyarakat sekarang dan menjadi bagian integral dalam
sejarah manusia, sudah barang tentu tempat-tempat peribadatan tersebut harus
didirikan dalam bentuk dan tempat-tempat permanen dan bukan merupakan milik
perorangan.
Dalam
sejarah peradaban Mesir kuno, bahwa Ramses II telah menganugerahkan kekayaan
(hak miliknya) yang melimpah ruah kepada kuil “Abidus”, penganugerahannya itu
dirayakan dengan upara yang penuh hikmat dihadapan seluruh pembesar negeri dan
tokoh masyarakat (Al-Kabisi, 2001). Peristiwa tersebut mendorong
masyarakat untuk menirunya, karena berdasarkan kepercayaannya bahwa pengorbanan harta milik untuk kegiatan
peribadatan, memperbaiki kuil-kuil dan menjaga kelestariannya untuk kepentingan
syiar agama dan kepercayaannya adalah perbuatan yang mulia dan terpuji serta
merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam masyarakat Rumawi
tertuang dalam piagam “Justinian” (kumpulan undang-undang Rumawi)
bahwa setiap benda yang berkaitan dengan kegiatan upacara agama tidak boleh
dijual belikan, digadaikan atau dimiliki seseorang karena ia adalah milik
Tuhan. Lebih dari itu, mereka memandang bahwa lahan tempat berdirinya tempat
suci, meski bangunannya telah hancur, tetap menjadi tempat yang suci.
Uraian singkat tersebut,
bisa disimpulkan bahwa sistem yang meraka terapkan pada dasarnya memiliki makna
yang tidak jauh berbeda dengan makna wakaf dalam Islam.
Dalam ajaran Islam,
peninggalan wakaf yang pertama kali dikenal dalam masyarakat Arab pra-Islam
adalah Al-Ka’bah Al-Musyarafah yaitu rumah peribadatan pertama yang
dibangun oleh nabi
Ibrahim A.S. sebagai tempat untuk
berkumpul (Haj) dan tempat yang aman bagi manusia. Seiring dengan
perjalanan waktu dan perubahan masyarakat Arab waktu itu kemudian menjadikan
Ka’bah sebagai pusat penyembahan berhala, dengan keyakinan bahwa penyembahan
berhala tersebut merupakan salah satu upaya pendekatan diri kepada Allah.
Selanjutnya setelah diutusnya nabi Muhammad SAW syari’at Islam mengaturnya lebih
jelas dengan Al-Qur-an dan Sunnah Rasululullah dan diikuti oleh para
sahabatnya.
Pada masa Islam, kita ketahui bahwa wakaf pertama dalam
tasyri’ Islam adalah wakaf masjid yang dibangun umat Islam bersama Rasulullah
di Quba pada tahun 622 M. Selanjutnya adalah wakaf masjid “Nabawi” di Madinah yang merupakan
masjid terpenting kedua setelah masjid Haram di Makkah.
Dasar
Tasyri’ Islami
Dalam kajian-kajian Hukum
Islam (fiqih), hadits yang cukup terkenal yang menunjukkan
disyari’atkannya wakaf, selain hadits Umar bin Khathab adalah hadits Abu
Thalhah riwayat Muslim dan Anas bin Malik ; Abu Thalhah adalah sahabat Anshar
yang paling banyak kebun kormanya di Madinah. Harta yang paling ia cintai
adalah Bairaha’ yang tepat berhadapan dengan masjid Nabi. Setelah
turun dan dibacakannya ayat 92 Surat Ali Imran, maka Abu Thalhah berdiri dan
mengatakan : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah
Bairaha’, ia kami sedekahkan kepada Allah, kami hanya mengharapkan kebaikan dan
pahalanya di sisi Allah. Pergunakanlah kebun itu sesuai dengan petunjuk Allah”. Maka Rasulullahpun
menerima wakafnya dan memberikan petunjuk-tentang penggunaan hartanya tersebut.
(Abd. Wahab, Al-Waqf, 39).
Selanjutnya
permasalah wakaf menjadi perbincangan fiqih secara panjang lebar oleh
para fuqohak, berkenaan pengertian, syarat-syarat dan rukun wakaf,
syarat-syarat wakif, syarat-syarat harta wakaf, syarat siapa sasaran wakaf
serta ketentuan-ketentuan lain berkaitan dengan pemberdayaan lembaga wakaf.
Wakaf
Potensial Dalam Mengembangkan Kesejahteraan Umat
Negara-megara Islam modern
menjadikan wakaf sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya
disamping zakat. Contoh pemanfaatan wakaf seperti ini adalah Negara Mesir yang mauquf’alaihnya
Universitas Al-Azhar. Wakaf-wakaf disana terdiri dari kebun-kebun korma yang
jumlahnya mencapai ribuan hektar, hotel-hotel berbintang yang dikelola secara
profesional, gedung-gedung perumahan/kondominium, toko-toko yang disewakan yang
tiap tahun menghasilkan uang dan keuntungan yang banyak, sehingga wakaf
tersebut merupakan sumber dana yang produktif yang tidak pernah kering sehingga mampu
membiayai seluruh mahasiswa yang belajar di sana;
Selain berupa
gedung-gedung universitas dengan segala perlengkapannya yang serba modern,
asrama-asrama mahasiswa dan dosen yang memadai. Dari itu semua dapat membiayai
gaji karyawan, dosen dan beasiswa, serta
membiayai mubaligh ke luar negeri, bahkan pada masa pemerintahan Presiden Gamal
Abdun Nasher, disaat negara memerlukan bantuan keuangan, pemerintah meminjam ke
Badan Wakaf Al-Azhar, bukan kepada bank dunia yang mematok bunga yang cukup
tinggi (Rahmat Jatnika, 1993); Oleh karena itu salah satu langkah strategis
untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai
pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana
“ibadah” dan sosial, tetapi juga mempunyai kekuatan ekonomi yang berpotensi
untuk memajukan kesejahteraan umum. Harta wakaf hendaknya dikembangkan
pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syari’ah sebagai dana abadi umat yang pokok
atau modalnya harus tetap.
Wakaf
dan Administrasi Pemerintahan
Keterlibatan pemerintah
untuk mengatur masalah perwakafan merupakan keniscayaan atas dasar kemaslahatan
(Al-Maslahah al-mursalah). karena hal tersebut menyangkut kepentingan
umum (masyarakat banyak), Jika
tidak, maka
akan menimbulkan ketidak tertiban. Kaidah yang populer dalam
masalah ini adalah “Tashorruful imam alar roiyyah manuthan bil mashlaha” : Pemerintah
berkewajiban mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan kemaslahatan, oleh karena itu adalah tepat
jika ahli-ahli
fiqih moneter dan administrasi Islam banyak yang membicarakan wakaf dengan
pendekatan administrasi negara dan moneter. Misalnya dapat kita kaji kitab : Al-Ahkam
As-Sulthaniyah tulisan Al-Mawardi Asy-Syafi’i; kitab Al-Ahkamu Shulthaniyah
karya Abu Ya’la dari madzhab Hambali dan kitab Syiyasah al-Syar’iyah (Strategi Hukum) karya Ibnu
Tamiyah mereka membahasnya dengan pendekatan administrasi negara secara rijit dan
detail; Kitab
Al-Kharaj (Pajak Hasil Bumi) karya Abu Yusuf; kitab Al-Kharaj karya Yahya bin Adam; kitab Al-Amwal
(Kekayaan) karangan Abu Ubaid membahasnya dengan pendekatan moneter yang cukup
memadai. Ahkam al-Auqaf oleh As-Syaibani, Ahkam al-Waqf karya
Abdul Wahab Khallaf, Risalah fi Hukmi Bai Al-Ahbas oleh Imam Yahya
membahasnya dengan pendekatan hukum administrasi pemerintahan. Karena itu
negara-megara Islam modern menjadikan wakaf sebagai sarana untuk memajukan
kesejahteraan rakyatnya disamping zakat.
Perwakafan
Di Indonesia
Delapan
tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 27
Oktober 2004 Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang Undang
Tentang Wakaf yaitu : Undang-undang
Nomor 41 tahun 2004.
Dalam
perspekif politik hukum, wakaf di Indonesia diatur dengan tiga instrumen hukum, yaitu : pertama dengan Instrumen Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, kemudian yang kedua dengan Istrumen Impres
yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan yang
terakhir dengan Instrumen Undang Undang Nomor 41/2004. Hal ini mengindikasikan
bahwa pemerintah Indonesia menaruh perhatian serius terhadap lembaga wakaf
serta mensiratkan kesungguhan pemerintah untuk memperkokoh lembaga hukum Islam
menjadi hukum nasional dalam bentuk transformasi hukum.
Ada beberapa hal yang
menjadi pokok pikiran dari undang-undang tersebut, paling tidak meliputi lima
prinsip;
Pertama ; Untuk menciptakan tertib
hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, hal tersebut
dapat dilihat adanya penegasan dalam undang-undang ini agar wajib dicatat dan
dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya
dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf yang harus dilaksanakan.
Kedua : Ruang lingkup wakaf
yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak
seperti tanah dan bangunan, menurut undang-undang ini wakif dapat pula
mewakafkan sebahagian kekayaan berupa harta benda bergerak, baik berwujud dan
tak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan
intelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya;
Dalam hal benda bergerak
berupa uang, wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan Syari’ah. Yang
dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syari’ah disini adalah badan hukum Indonesia
yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bergerak di bidang keuangan syari’ah, misalnya badan hukum di bidang perbankan
syari’ah.
Ketiga : Peruntukan harta wakaf
tidak semata-mata kepentingan sarana ibadah dan sosial, tetapi juga dapat
diperuntukkan memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan
manfaat ekonomi harta benda wakaf. Karena itu sangat memungkinkan pengelolaan
harta benda wakaf untuk kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan
tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syari’ah;
Keempat : Untuk mengamankan harta
benda wakaf dari campurtangan pihak ketiga yang merugikan kepentingan wakaf,
perlu meningkatkan kemampuan profesional Nazhir;
Kelima ; Undang undang ini juga
mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang dapat mempunyai perwakilan di
daerah sesuai dengan kebutuhan. Badan tersebut merupakan lembaga independen
yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap
Nadzir, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf bersekala nasional
dan internasional, memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan dan status
harta benda wakaf dan memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam
penyusunan kebijakan dibidang perwakafan. (Lihat penjelasan dari UU No. 41
tahun 2004 tentang wakaf)
Ada
dua hal lain yang tak kalah penting yang menjadi prinsip persoalan wakaf yang
harus menjadi acuan, yaitu : wakaf semula adalah bertujuan untuk kesejahteraan
rakyat, karena kalau melihat sejarah dan prkatek wakaf di zaman nabi Muhammad
SAW ternyata keberadaan wakaf sangat potensial dan menentukan bagi kelancaran
roda ekonomi yang mensejahterakan rakyat, dan ketika seseorang telah mewakafkan
sesuatu, maka dia tidak bisa lagi mengambil krembali barang yang diwakafkan
itu. Hal terakhir ini menjadi penting untuk menjaga kekekalan harta wakaf dan
menjamin kepastian hukumnya.
Fiqih dan Peraturan
Perundangan tentang Wakaf.
Pembahasan ulama tentang
wakaf sesungguhnya telah cukup maju, banyak gagasan yang meraka kemukakan sudah
mengantisipasi perkembangan zaman.
Fuqaha madzhab Maliki
misalnya, membolehkan mewakafkan segala sesuatu yang dapat memberikan manfaat
kepada orang yang diberi wakaf, baik barang bergerak maupun tidak bergerak
untuk selamanya (Ali Fikri, Al-Muammalat, 2007) bahkan beliau berpendapat bahwa
manfaat hewanpun dapat diwakafkan,
apalagi memanfaatkan uang.
Madzhab Syafi’i dan
Hambali memberikan penekanan pada kekekalan manfaat, baik harta wakaf itu
berupa benda bergerak seperti mobil dan
hewan, atau benda tidak bergerak seperti rumah dan tanaman boleh diwakafkan.
Merakapun membolehkan wakaf terhadap benda milik bersama (kolektif).
Dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 215 ayat (4) menyatakan bahwa : “Benda wakaf adalah segal benda
baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak
hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam”. Kemudian pasal 217 ayat
(3) menyatakan bahwa : Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat
(4) harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan , ikatan, sitaan
dan sengketa “. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 Pasal
4 menyatakan : “Tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, harus merupakan tanah
hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan
dan perkara”.
Dalam beberapa riwayat
disebutkan bahwa beberapa fuqaha seperti Imam Az-Zuhri juga berpendapat bahwa
boleh mewakafkan dinar dan dirham, implementasinya adalah bahwa dinar dan
dirham tersebut dijadikan sebagai modal usaha (dagang) kemudian menyalurkan keuntungannya
sebagai wakaf. Menurut Madzhab Hanafi bahwa
uang yang diwakafkan dijadikan modal
usaha dengan sistem mudlarabah atau murabahah dan sistem bagi
hasil lainnya yang syah menurut syar’i. Keuntungan dari bagi hasil tersebut
diberikan untuk kepentingan umum.
Melihat prinsip-prinsip
dalam peraturan perundang-undangan wakaf baik yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun
Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 diatas nampak bahwa peraturan perundangan
tersebut singkron dengan pendapat madzhab-madzhab yang dikenal dalam fiqih
Islam. Bahkan keberadaan peraturan
perundangan wakaf setidaknya telah memberikan pengertian keluasan cakupan
benda wakaf sekaligus memberikan legitimasi kekuatan dan kepastian hukum wakaf;
Misalnya tentang ketentuan kewajiban mendaftarkan tanah wakaf, sayarat-sayarat
nadzir dan lain sebaginya.
Kesimpulan
Wakaf adalah merupakan
sebuah lembaga keagamaan yang bernilai ekonomi tinggi, kalau dikelola secara
profesional maka keberadaanya menjadi sesuatu yang dapat menopang perekonomian
umat. Kita bisa berkaca kepada wakaf Al-Azhar yang mempu membantu keuangan
pemerintah disaat terjadi krisis moneter.
Perhatian dan pembinaan
profesionalisme pengelola wakaf menjadi sesuatu yang diterminan, maka dengan
dikeluarkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf disatu sisi akan memberikan
legitimasi keberadaan badan wakaf, namun yang lebih penting bahwa keberadaan Undang Undang Wakaf tersebut
lebih menertibkan administrasi perwakafan sekaligus semakin memperkokoh
pelaksanaan sebahagian hukum Islam di Indonesia.