Jumat, 27 Juli 2012

MENYOAL”KURANG PIHAK ” DALAM GUGATAN WARIS



Pendahuluan
Penilaian mengenai syarat-syarat formil sebuah surat gugatan sering menjadi bias, karena tidak ada criteria tekstual yang konkrit sebagai acuan dalam pasal-pasal hukum acara perdata HIR, RBg maupun RV, yang sampai saat ini tiga buku hukum tersebut masih bernilai sebagai undang-undang sebagai instrument hukum public (publiekrechtelijk instrumentarium) sebagai penuntun semua pihak yang terlibat dalam proses beracara di peradilan.
Dalam tataran implementatif, perbedaan penilaian tersebut menimbulkan stigma negative bagi peradilan, seakan-akan peradilan tidak punya law standart, belum terbina kesamaan pandangan (unified legal opinion) dan keseragaman (unified legal fram work) dalam menilai sebuah surat gugatan yang berakibat terdapat putusan-putusan yang disparitas baik antar hakim dalam sebuah Majelis (dicenting opinion) maupun antara peradilan tingkat pertama dengan peradilan tingkat banding dan antara peradilan tingkat banding dengan peradilan kasasi.

PENGANGKATAN ANAK (AT-TABANNY) DALAM HUKUM ISLAM (KOMPARASI BW DENGAN HUKUM ISLAM)


Pendahuluan
          Secara naluri, setiap pasangan suami-istri berkeinginan untuk mempunyai anak untuk menyambung keturunan dan pelanjut kehidupannya. Al-Qur-an mengabadikan perihal tersebut sebagaimana kisah Nabiyullah Zakarariya (Q.S. Maryam) dan Nabi Ibrahim (Q.S, Ibrahim).  Kedua Nabiyullah tersebut sempat gelisah saat di usianya yang sudah senja, tetapi belum juga dikaruniai putra belahan jiwa penerus perjuangan.
Suatu rumah-tangga yang tidak dikaruniai anak, akan terasa gersang dan tidak sempurna keberadaannya. Akan tetapi dalam hidup ini tidak semua keinginan manusia untuk mempunyai anak dapat terwujud karena berbagai factor, kemungkinan karena salah satu pihak atau kedua pasangan suami-istri itu mandul, sakit, cacat dan lain sebab.

Kamis, 26 Juli 2012

HISAB DAN RUKYAT DALAM PRESPEKTIF TARJIH MUHAMMADIYAH



HISAB DAN RUKYAT DALAM PRESPEKTIF
TARJIH MUHAMMADIYAH
 Pendahuluan
 Hampir dapat dipastikan untuk mengawali puasa Ramadlan 1433 H. nanti ummat Islam akan berbeda lagi, hal ini disebabkan karena posisi hilal pada tanggal 29 Sya’ban 1433 H bertepatan dengan tanggal 19 Juli 2012 di seluruh wilayah Indonesia tidak sampai 2° diatas ufuk saat matahari terbenam (ghurub). Untuk kota Makassar misalnya ghurub pada tanggal 19 Juli 2012 tersebut ketinggian hilal hanya 1°19’ diatas ufuk, Jakarta 1º47’, Yogyakarta 1º48’, Sabang 1º12’ dan Meraoke 0º 52’.
Perbedaan penetapan tanggal 1 Ramadlan maupun 1 Syawwal sebagai tersebut diatas bagi ummat Islam bukanlah yang pertama kali, tetapi telah berkali-kali dan telah berjalan berpuluh-puluh tahun silam.


“MANHAJ” IJTIHAD UMAR BIN AL- KHATHTHAB DALAM PENYELESAIAN MASALAH KEWARISAN

Abstrak
Kebanyakan dalil nash tentang kewarisan bersifat qoth’i sehingga secara methodologis “difahami” bersifat absolut, namun kasus akan tetap lebih berfariasi dan beragam dari keberadaan dalil nash.
Kesenjangan terbatasnya nash dan sifatnya yang absolut disatu sisi  dengan beragamnya kasus waris dipihak lain, melahirkan berbagai perbedaan pendapat dalam penyelesaian sengketa kewarisan.


MENYOAL VISIBILITAS HILAL SEBAGAI KRITERIA BULAN BARU QOMARIYAH


Ummat Islam sering bersedih saat berlebaran, seorang suami yang sudah shalat idul fitri di lapangan, tetapi dirumah menemui kenyataan istri dan anak-anak masih berpuasa. Gagasan penyatuan kalender Islam telah bertahun-tahun diupayakan, tetapi hasilnya dead lock, seakan-akan mempersatukan ummat Islam yang dinyatakan oleh Allah sebagai “ummatan wakhidah” itu sulit duwujudkan walaupun untuk hal yang sederhana. Bagai mempersatukan minyak tanah dengan air, walaupun sama-sama tampak cair tapi tapi susah bersatu walau hanya untuk menentukan kapan tanggal 1 Syawal itu. Inilah sisi buruk ummat Islam, untuk meredam itu sebagai obat sementara ummat cukup dininabobokkan dengan hadits dlaif “ikhtilaafu ummati rahmatun”.
Hari raya bukan sekadar ibadah individu, tetapi terkait juga dengan aspek sosial yang berdampak luas. Saling menghormati perbedaan masalah-masalah furu’iyah adalah obat sementara untuk menyembuhkan keresahan, tetapi penyakit kronisnya harus dibasmi. Idealnya ummat Islam harus memiliki fondasi ukhuwah yang kuat, sekaligus ada keseragaman pandangan dalam menetukan puasa dan hari rayanya.


POLYGAMI PERSPEKTIF AYAT-AYAT AL-QUR-AN

            Masalah poligami dalam istilah fiqih disebut ta’addud az-zaujaad telah banyak dibicarakan oleh fuqaha’ klasik maupun kontemporer. Ayat-ayat Al-Qur-an dan As-Sunnah yang dijadikan alas pijaknya sama, tetapi bisa melahirkan kesimpulan hukum yang berbeda, sampai-sampai timbul perbedaan pendapat pro-kontra.
Tanggapan pro-kontra poligami sebenarnya bukan masalah hukum, tetapi hakikatnya adalah berkisar pada masalah perasaan, sosiokultural dan bahkan filosofi/pandangan masyarakat saja. Masalah ini pernah muncul menghebohkan sangat ramai dibicarakan orang, saat da’i “kondang” sejuta ummat K. H. Abdullah Gymnastiar yang terkenal dengan sapaan A’A’ Gyem melakukan poligami, pada hal poligami telah banyak dilkakukan oleh orang;