Jumat, 27 Juli 2012

MENYOAL”KURANG PIHAK ” DALAM GUGATAN WARIS



Pendahuluan
Penilaian mengenai syarat-syarat formil sebuah surat gugatan sering menjadi bias, karena tidak ada criteria tekstual yang konkrit sebagai acuan dalam pasal-pasal hukum acara perdata HIR, RBg maupun RV, yang sampai saat ini tiga buku hukum tersebut masih bernilai sebagai undang-undang sebagai instrument hukum public (publiekrechtelijk instrumentarium) sebagai penuntun semua pihak yang terlibat dalam proses beracara di peradilan.
Dalam tataran implementatif, perbedaan penilaian tersebut menimbulkan stigma negative bagi peradilan, seakan-akan peradilan tidak punya law standart, belum terbina kesamaan pandangan (unified legal opinion) dan keseragaman (unified legal fram work) dalam menilai sebuah surat gugatan yang berakibat terdapat putusan-putusan yang disparitas baik antar hakim dalam sebuah Majelis (dicenting opinion) maupun antara peradilan tingkat pertama dengan peradilan tingkat banding dan antara peradilan tingkat banding dengan peradilan kasasi.
Dalam sengketa waris misalnya, pendapat sebagian besar para hakim mengharuskan gugatan mendudukkan/menarik semua ahli waris sebagai subyek hukum, jika tidak demikian, maka gugatan dinilai sebagai gugatan yang cacat formil.
Ironinya perbedaan penilaian itu tidak hanya terjadi di antara hakim dalam suatu majlis yang kemudian biasanya dituangkan dalam disenting opinion (d.o), akan tetapi juga terjadi antara majlis hakim peradilan tingkat pertama dengan majlis hakim tingkat banding, antara majelis hakim tingkat banding dengan  hakim agung (putusan kasasi). Hal tersebut dapat diketahui dari putusan-putusan antara lain:
1.      Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 25 Nopember 1975, Nomor 576 K/Sip/1973 : Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa “pertimbangan yudex faksi (Pengadilan Tinggi) yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena hanya seorang ahli waris yang menggugat, tidak dapat dibenarkan, karena menurut yurisprudensi Mahkamah Agung dalam sengketa waris tidak diharuskan semua ahli waris menggugat”.
2.      Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Maret 1982 Nomor 2438/K/Sip/1980 pada pokoknya Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa :“Gugatan harus tidak dapat diterima, karena tidak semua ahli waris turut sebagai pihak dalam perkara”. Sehingga putusan Pengadilan Tinggi dibatalkan.
Dari dua pendapat sebagai tersebut diatas, nampaknya para hakim lebih banyak (mayoritas) cenderung kepada pendapat yang kedua.
Melihat kenyataan diatas mendorong penulis untuk mewacanakan masalah tersebut dengan pembahasan yang sedikit lebih mendalam dengan harapan dapat menawarkan suatu law standard, agar selanjutnya peradilan dalam menangani sengketa waris terdapat kesamaan pandang sehingga terhindar dari putusan-putusan yang disparitas.
Perbedaan pendapat bagi hakim dalam suatu majelis adalah sah-sah saja, demikian juga perbedaan antara putusan pengadilan tingkat pertama dengan tingkat banding dan atau putusan tingkat kasasi, apa lagi bila dilihat dari perspektif ushul fiqh, bahwa seorang hakim adalah mujtahid, baginya berlaku  kaidah al-ijtihaad la yaungqodlu bi al-ijtihadi, tetapi secara kwalitatif putusan yang diproduk secara  aklamasi (ittifaq) bernilai lebih baik dari pada putusan yang diproduk secara dissenting opinion (ikhtilaf).
Permasalahan
Masalah utama dalam pembahasan ini adalah, benarkah pendapat yang mensyaratkan bahwa dalam gugatan waris, semua ahli waris harus menjadi subyek gugatan, jika tidak demikian maka gugatan dinilai sebagai gugatan yang caca formil karena kurang pihak (prulium litis consortium).
Pendapat demikian jika ditinjau dari perspektif prinsip-prinsip hukum perdata, masih menimbulkan sejumlah permasalahan masih bisa diperdebatkan.
Pembahasan
Gugatan yang kurang pihak atau pihaknya tidak lengkap dalam hukum acara dikenal sebagai salah satu bentuk gugatan yang eror in persona, yang salah satunya diistilahkan plurium litis consortium.
Gugatan yang cacat karena eror in persona, terdapat 3 (tiga) kategori/macam yaitu :
1.      Diskwalifikasi in person, karena penggugatnya bukan orang yang persona standi in judicio, misalnya karena bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan, atau karena belum dewasa dan masih dibawah pengampuan (under curatele) atau orang yang menggugat tidak berkwalitas karena tidak mendapat kuasa, atau kuasanya tidak sah.
2.      Gemis Aanhoedanig Heid, yaitu orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat. Misalnya direktur perusahaan digugat secara pribadi.
3.      Plurium Litis Consortium, yaitu orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap.
Plurium litis consortium berasal dari bahasa latin, pluries berarti banyak, litis consertes berarti kawan berperkara atau teman sejawat. Dalam membicarakan masalah ini, para ahli dan penulis-penulis hukum acara, tidak ada yang membicarakan secara panjang lebar sehingga permasalahan menjadi jelas dan tuntas, Para ahli hanya menjelaskan pengertiannya berdasarkan makna harfiyah (etimo logis) saja, sehingga dalam tataran praktis sering mumunculkan tafsiran dan pemahaman yang subyektif.
Yahya Harahab, SH. mantan Hakim Agung dalam bukunya Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama halaman 21, setelah beliau mengartikan makna kata plurium litis consortium secara harfiyah, kemudian beliau memberikan sebuah contoh suatu gugatan yang dapat dikategorikan sebagai pihak tidak lengkap dengan menunjuk contoh sebagaimana putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Mei 1977, No. 621 K/Sip/1975; (kasus perdata umum/kebendaan).
Jika dilakukan analisa, pokok pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut adalah, karena ternyata sebagian obyek yang disengketakan penggugat, tidak lagi dikuasai oleh tergugat, tetapi telah menjadi milik dan dikuasai oleh pihak ketiga (diluar pihak yang bersengketa), maka berdasarkan pertimbangan hukum obyektif, pihak ketiga tersebut harus ikut digugat karena tidak mungkin seseorang yang tengah menguasai obyek sengketa kemudian dirampas haknya tanpa didengar keterangannya di depan persidangan. Untuk dapat mendengar keterangannya dalam persidangan maka tidak tisa tidak ia harus dilibatkan sebagai pihak/tergugat;
Pertimbangan Mahkamah Agung pada kasus tersebut adalah sudah tepat dan benar. Karena pada kasus a quo, pihak ketiga secara nyata (lahiriyah) telah “menguasai barang sengketa” yang seolah-olah obyek sengketa adalah kepunyaannya. Menurut hukum kebendaan, orang yang memegang, menguasai, menikmati suatu benda disebut bezitter. Menurut hukum bezit, mempunyai fungsi polisionil, artinya bahwa hukum harus mengindahkan keadaan dan kenyataan itu tanpa mempersoalkan “hak” milik atas benda tersebut sebenarnya ada pada siapa. Jadi siapa yang “membezit” sesuatu benda sekalipun dia pencuri, maka ia mendapat perlindungan dari hukum, sampai terbukti dimuka pengadilan bahwa ia sebenarnya tidak berhak. Oleh karena itu bagi Penggugat ada kewajiban hukum untuk mendudukkan orang yang menguasai obyek sengketa tersebut sebagai pihak, agar ia mempunyai kedudukan yang sama didepan hakim untuk membela hak-haknya. Karena tanpa menariknya sebagai pihak, maka proses peradilan akan mengabaikan asas de auditu et alternam partem. Karena itu sangat tepat jika gugatan tersebut dinyatakan tidak sempurna karena kurang-pihak dan harus diputus niet on vankelijke verklaart (N.O).
Kasus tersebut diatas, substansinya berbeda dengan kasus-kasus sengketa waris yang umumnya dianggap sebagai gugatan yang kurang pihak. Dalam sengketa kewarisan gugatan akan dinilai sebagai kurang pihak, sekalipun ahli-waris tersebut tidak menguasai harta-warisan.
Agar permasalahan ini nampak lebih jelas, penulis mengajukan sebuah ilustrasi kasus sederhana sebagai berikut :
-          Seorang pewaris laki-laki, meninggalkan dua orang anak laki-laki, yaitu Si Jujur dan Si Nakal;
-          Seluruh harta peninggalan dikuasai sendiri oleh Si Nakal;
-          Si Jujur merasa mempunyai hak atas harta warisan, maka menggugatlah ia di Pengadilan Agama kepada Si Nakal, dengan tuntutan agar pengadilan menghukum Si Nakal menyerahkan separoh harta peninggalan kepada Si Jujur;
-          Di persidangan dalam proses jawab-menjawab terungkap fakta bawa pewaris tidak hanya meninggal dua anak laki-laki Si Nakal dan Si Jujur yang sedang bersengketa, akan tetapi pewaris juga masih meninggalkan “Ibu kandung” yang sabar, tulus, ihlas yang tidak menghendaki harta peninggalan anaknya (pewaris), Si ibu tidak mau terlibat sengketa dengan kedua cucunya (Si Jujur dan Si Nakal);
-          Terungkap fakta sebagai tersebut diatas, hakim tahu bahwa menurut hukum ahli-waris dari pewaris bukan hanya Si Nakal dan Si Jujur saja tetapi juga “ibu pewaris”; Karena ada “Ibu Pewaris” yang tidak dilibatkan sebagai pihak, maka hakim ada yang berpendapat bahwa gugatan tersebut cacat formil, karenanya gugatan Si Jujur harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaart).
Menghadapi kasus yang sederhana tersebut, mayoritas hakim menilai bahwa gugatan penggugat (Si Jujur) cacat formil dengan alasan ”Eror In Persona” karena kurang pihak (prulium litis consortium) maka harus dinyatakan tidak dapat diterima (N.O). Kewajiban melibatkan ”ibu pewaris” yang tidak menguasai harta waris dalam kasus sebagai tersebut diatas dalam praktek disebut sebagai ”Turut Tergugat”.
Karena penilaian yang terlalu formil ini, memberikan kesan seakan-akan betapa sulitnya seseorang menuntut hak keperdataanya kepada lembaga peradilan sering dijumpai seseorang harus mengulang gugatannya sampai 3 (tiga) kali ke Pengadilan, karena kenyataannya setelah dikonstatir dalam persidangan ditemukan lagi ahli-waris yang tidak masuk sebagai subyek hukum, apakah sebagai Penggugat, Tergugat atau Turut Tergugat;
Permasalahan tersebut amat perlu kita wacanakan kembali, agar tercipta kesamaan pandang dalam menjalankan tugas yang mulya ini.
Prinsip Hukum Acara Perdata
Menurut Hukum Acara subyek hukum dalam sengekata perdata hanya mengenal “penggugat” dan “tergugat”. Istilah “turut tergugat” tidak dijumpai.   
Masalah siapakah penggugat dan siapakah tergugat itu, hukum acara tidak memberikan penjelasan konkrit, tetapi logika hukum obyektif mengajarkan bahwa ”penggugat” atau ”Eiser” atau plaintiff”” sering di definisikan sebagai orang (termasuk badan hukum) yang merasa dirugikan karena haknya subyektifnya dilanggar oleh orang lain. Sedangkan  ”tergugat” adalah orang yang ”diduga” merugikan karena melanggar hak subyektif orang lain. Dua party yang saling berhadapan tersebut adalah mutlak adanya sebagai ciri suatu perkara gugatan yang bersifat contentiosa.
Walaupun dalam hukum acara hanya terdapat dua partay yang berhadapan tersebut, namun dalam praktek peradilan masih ada pihak (subyek) yang disebut “turut tergugat”. Siapakah turut tergugat itu, hukum acara tidak membicarakan sama sekali.
Dalam berbagai literatur yang ditulis oleh bebarapa ahli hukum, boleh dikatakan belum ada yang membahasnya secara mendalam. Lilik Mulyadi S.H. dalam bukunya Hukum Acara Perdata halaman 38 menyebutkan bahwa “turut tergugat” adalah ditujukan kepada seseorang yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi demi formalitas gugatan harus dilibatkan dalam proses, agar dalam petitum ia dihukum sebagai pihak yang harus tunduk dan taat pada putusan hakim perdata.
Definisi dan pernyataan pendapat tersebut menimbulkan pertanyaan dan kejanggalan, apakah kepentingannya mendudukkan seseorang yang tidak menguasai obyek sengketa sebagai turut tergugat, apakah sebagai kewajiban hukum atau hanya bersifat proforma ?
Menjawab secara pasti permasalahan tersebut menjadi amat penting. Jika hal tersebut merupakan kewajiban hukum dimanakan aturan hukumnya, Jika mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai barang tersebut hanya merupakan proforma, maka adalah tidak tepat jika gugatan dianggap tidak sempurna atau cacat formil.
Jika ahli waris yang tidak menguasai obyek warisan, kemudian wajib dimasukkan sebagai turut tergugat dengan tujuan harapan agar ia tunduk pada putusan, pertanyaannya, tunduk melaksanakan prestasi apa yang dibebankan kepadanya. Dihukum untuk menyerahkan obyek tidak mungkin, dihukum untuk tunduk agar mengambil haknya kepada Tergugat menjadi aneh, sebab menurut hokum tidak ada hokum yang bisa memaksa orang untuk mengambil haknya. Jika demikian maka mendudukkan seseorang menjadi turut tergugat dalam sengketa waris tidak jelas alias percuma alias muspro (jawa). Logika hukum obyektif mengatakan bahwa, orang yang perlu didudukkan sebagai tergugat, hanyalah orang yang nantinya dituntut memenuhi suatu prestasi yang diminta oleh penggugat lewat putusan hakim karena ia terbukti melanggar hak penggugat. Oleh karena itu pendapat yang mewajibkan mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai obyek sengketa (harta waris) sebagai turut tergugat dengan alasan bahwa ia nantinya diharapkan tunduk pada putusan pengadilan adalah alasan yang berlebihan (overbodig); Menerima warisan adalah hak perdata bukan kewajiban. Pada hak berlaku asas “tidak ada sebuah hukum yang dapat mememaksa seseorang untuk menerima hak”, karenanya dalam sengketa perdata hakim bersifat pasif, hanya akan mengabulkan yang diminta oleh pihak sepanjang permintaannya dibenarkan hokum.
       Berdasarkan itu maka mendudukkan ahli waris yang senyatanya tidak menguasai harta warisan sebagai pihak (turut tergugat) harus dipandang sebagai hal yang proforma dan tidak menyebabkan gugatan tidak sempurna.
Pembedaan Istilah Tergugat dan Turut Tergugat
Perlunya pembedaan sebutan “tergugat” dengan “turut tergugat” menurut ilmu pengetahuan adalah disebabkan adanya kwalitas klausula hubungan hukum yang berbeda. Hubungan hukum yang menjadi dasar seseorang harus didudukkan sebagai tergugat adalah disebabkan adanya hubungan primer (langsung), sedang dasar seseorang didudukkan sebagai turut tergugat adalah disebabkan adanya hubungan secundair (tidak langsung), untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut :
Jika ada harta waris yang belum dibagi waris, ternyata telah dijual oleh salah seorang ahli-waris pada pihak lain (pembeli), maka terjadilah peristiwa-peritiwa hubungan hukum primair dan secundair, sebagai berikut :
-    Hubungan hukum antara ahli-waris satu dengan lainnya adalah hubungan hukum primair.
-    Hubungan hukum antara ahli-waris yang menjual (penjual) dengan pembeli adalah hubungan hukum primair;
-    Ahli-waris yang tidak turut menjual menggugat kepada ahli-waris yang menjual harta warisan, maka ahli-waris yang menjual didukkan sebagai tergugat  karena ada hubungan primair; sedangkan pembeli barang dapat didudukkan dalam posisi sebagai turut tergugat karena ada hubungan secundair; dia bukan ahli waris, tetapi ia telah menguasai obyek sengketa disebabkan hubungan hukum yang belum jelas, karena ia telah membeli harta waris yang belum dibagi.
-     Mendudukkan pembeli harta warisan sebagai tergugat tidak tepat, sebab ia bukan ahli waris, karena jika demikian, maka akan nampak sebagai sengketa milik yang menjadi kewenangan peradilan umum.
Dalam kasus sebagai tersebut diatas, oleh ilmu pengetahuan perlu mengadakan istilah baru yang dapat membedakan secara substansi  antara “tergugat” dengan “turut tergugat”.
Jika teori tersebut diatas kita sepakati, maka ada dua syarat bagi orang yang semestinya didudukkan sebagai “turut tergugat”  yaitu :
1.      Adanya hubungan orang  tersebut dengan penggugat adalah hubungan hukum secundair; bukan hubungan hukum primer; dan
2.      Orang tersebut menguasai barang obyek sengketa (bezitter);
Berdasarkan syarat-syarat tersebut diatas, maka keharusan mendudukkan semua ahli-waris termasuk yang tidak mengusai harta peninggalan sebagai “turut tergugat” adalah pendapat yang tidak tepat, dengan alasan:
-         Pertama, ditinjau dari hubungan hukum antara seorang ahli-waris dengan ahli-waris lainnya adalah hubungan primer;
-         Kedua, ahli waris tersebut tidak menguasai barang obyek sengketa (warisan).
Jika ada ahli-waris yang menguasai barang warisan, maka secara hukum harus ditarik sebagai tergugat, jika tidak maka gugatan waris dinyatakan sebagai gugatan yang cacat karena kurang pihak.
Mendudukkan ahli-waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai turut tergugat selama ini adalah salah kaprah, sehingga gugatan waris tanpa melibatkan ahli-waris yang tidak menguasai barang warisan tidak dapat dikategorikan sebagai gugatan yang cacat formil.
Tinjauan Hukum Materiil
Tujuan orang menghadap pengadilan adalah untuk mencari keadilan. Mungkin saja pencari keadilan tidak mengetahui siapa-siap sebenarnya orang-orang yang menjadi ahli-waris dari seseorang serta berapa besar bagiannya. Menentukan siapa-siapa sebagai ahli-waris dan berapa bagiannya adalah sudah menyangkut hukum obyektif yang hanya (wajib) diketahui oleh hakim (ius curia novit). Kewajiban pihak-pihak dalam menuntut hak hanyalah supaya mengemukakan kejadiannya atau fakta-faktanya saja. Dalam sengketa kewarisan, tentunya cukup menyebutkan siapa-siapa keluarga yang ditinggalkan oleh pewaris saat meninggal dunia serta apa saja harta peninggalan pewaris, kemudian Penggugat memohon kepada hakim agar menetapkan ahliwaris dan bagiannya masing-masing. Selebihnya adalah kewajiban hakim untuk menguji kebenaran gugatan penggugat tersebut dengan hukum obyektif, bila ternyata benar, maka gugatannya dikabulkan sesuai dengan dasar-dasar hukum obyektif.
Menurut hukum obyektif, penggugat maupun tergugat tidak wajib mengetahui hukum atas masalah yang disengketakan, kewajiban pihak hanya menceritakan fakta-fakta kejadian yang dijadikan dasar gugatan. jika penggugat diharuskan menjadikan para ahli-waris sebagai subyek hukum, maka sama halnya mewajibkan dia tahu hukum. Masalah hukum materiil adalah domain hakim. Tetapi jika penggugat dituntut untuk menunjukkan haknya ada pada siapa, ia telah dirugikan siapa, pasti dia tahu. Sederhana adalah cirri hukum acara kita (HIR dan RBg) karenanya membuka peluang bagi orang buta huruf (awam) untuk menggugat secara lisan (Pasal 120), sebagaimana telah diintrodusior dalam  peraturan hukum kita, “hakim harus berupaya membantu sekaras-kerasnya kepada para pihak dalam menyelesaiakan perkaranya serta menghilangkan segala rintangan agar perkara berjalan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, terlalu formalities dalam kasus sebagai tersebut diatas kiranya akan bertentangan dengan ketentuan ini.
Tinjauan Sosiologis
Secara sosiologis masyarakat muslim di bebarapa daerah di Indonesia berkembang budaya “ewoh pakewoh”, atinya walaupun hokum waris itu bersifat “ijbari”, tetapi kadang  ada ahli-waris malu atau segan terlibat dalam sengketa, sehingga ia harus mengambil sikap diam. Untuk itu pasal 88 Kompilasi Hukum Islam telah secara tegas memberikan ajaran, bahwa “Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan, bila ada diantara ahli waris lain yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan”. Filosofi yang terkandung dalam pasal tersebut bahwa tidak semua ahli waris harus terlibat dalam perkara, tetapi cukup diwakili seseorang, sedangkan yang digugat adalah semua ahli-waris yang menguasai harta-warisan. Ahli waris yang tidak menguasai harta tidak layak digugat dan tidak ada perlunya dilibatkan sebagai Turut Tergugat. Hak/bagian warisnya cukup disebutkan (dideklaratir) dalam putusan. Apakah dia mau ambil kepada haknya Tergugat atau tidak bukanlah hal yang wajib.
Jika pemikiran tersebut dapat disepakati sebagai dasarpertimbangan, maka ilustrasi penyelesaian kasus sederhana sebagai tersebut diatas ada dua opsi. Misalnya harta sengketa (warisan) berupa uang Rp. 600.000.000,- (seratus juta rupiah), maka :
Pertama; Pengadilan dapat menyatakan porsi hak seluruh ahli waris  yaitu :
-       Ibu 1/6 (seper enam) = Rp. 100.000.000,-
-       Si Nakal dan Si Jujur 5/6 (dua perenam), dibagi sama rata sehingga masing-masing:
-       Si Jujur = Rp. 250.000.000,-
-       Si Nakal = Rp. 250.000.000,-
Kemudian Majelis menghukum kepada Si Nakal, untuk menyerahkan bagian masing-masing, eksekusinya diserahkan kepada masing-masing ahli waris apa yang mau ambil atau tidak;
Kedua; Diktum pengadilan menghukum Si Nakal untuk menyerahkan haknya Si Jujur saja yaitu Rp. 250.000.000,- tanpa menghukum Si Nakal untuk menyerahkan hak Ibu, karena ibu tidak menuntut.
Dengan kata lain pengadilan hanya berkewajiban memperhatikan hak Si Jujur, karena dialah yang meminta keadilan, tidak harus memberikan hak orang yang tidak minta. Hukum harus memandang bahwa Ibu tersebut adalah nenek yang rendah hati, sabar, ihlas sehingga tidak dapat dipaksa untuk mengambil haknya.
Dalam hukum terdapat ketentuan, hakim dilarang memutus melebihi yang diminta (azas ultra petita), apa lagi memaksa orang untuk tunduk putusan supaya menerima hak warisnya, sangat bertentangan dengan logika hukum.   
Dalam acara perdata hakim hanya mencari kebenaran sepanjang diminta oleh pihak yang bersangkutan. Ada manfaat lain dari azas tersebut, yaitu sengketa-sengketa kewarisan dapat diselesaikan dengan asas formal prosedur and can be put in motion quickly, atau sederhana cepat dan biaya ringan.
Kesimpulan
1.      Istilah “turut tergugat” tidak diketemukan rumusannya dalam hukum acara perdata, istilah itu diperlukan berdasarkan karena kebutuhan ilmu pengetahuan, karena adanya hubungan hukum sekundair dengan penggugat perdata.
2.      Mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai pihak “turut tergugat” hanya syarat proforma, bukan kewajiban hukum yang menyebabkan gugatan cacat formil.
3.      Dalam sengketa kewarisan yang bertindak sebagai penggugat boleh satu orang ahli-waris atau beberapa orang/sebagian ahli waris;
4.      Dalam sengketa waris, seorang ahli-waris dapat menuntut haknya sendiri kepada ahli waris yang menguasai harta-warisan, tidak diharuskan menuntutkan hak ahli-waris lain.
5.      Gugatan waris dinilai sebagai cacat formil/kurang pihak, jika ternyata ada ahli-waris lain yang menguasai obyek sengketa (warisan) tidak digugat, sebab hal tersebut akan mempengaruhi nilai perolehan harta warisan. Ini kurang pihak (prulium litis consortium) yang benar.
6.      Jika penggugat hanya menuntut bagian haknya sendiri tanpa menuntutkan haknya ahli-waris lainnya, gugatan yang demikian dapat dibenarkan.
7.      Mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai turut tergugat agar ia/mereka tunduk putusan pengadilan adalah tuntutan prestasi yang tidak jelas.
Wallahu a’lam bis-shawaab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar