Pendahuluan
Penilaian mengenai syarat-syarat formil sebuah surat gugatan
sering menjadi bias, karena tidak ada criteria tekstual yang konkrit sebagai
acuan dalam pasal-pasal hukum acara perdata HIR, RBg maupun RV, yang sampai
saat ini tiga buku hukum tersebut masih bernilai sebagai undang-undang sebagai instrument
hukum public (publiekrechtelijk instrumentarium) sebagai penuntun semua
pihak yang terlibat dalam proses beracara di peradilan.
Dalam
tataran implementatif, perbedaan penilaian tersebut menimbulkan stigma negative
bagi peradilan, seakan-akan peradilan tidak punya law standart, belum terbina
kesamaan pandangan (unified legal opinion) dan keseragaman (unified
legal fram work) dalam menilai sebuah surat gugatan yang berakibat terdapat
putusan-putusan yang disparitas baik antar hakim dalam sebuah Majelis (dicenting
opinion) maupun antara peradilan tingkat pertama dengan peradilan tingkat banding
dan antara peradilan tingkat banding dengan peradilan kasasi.
Dalam
sengketa waris misalnya, pendapat sebagian besar para hakim mengharuskan
gugatan mendudukkan/menarik semua ahli waris sebagai subyek hukum, jika tidak
demikian, maka gugatan dinilai sebagai gugatan yang cacat formil.
Ironinya perbedaan penilaian itu tidak
hanya terjadi di antara hakim dalam suatu majlis yang kemudian biasanya dituangkan
dalam disenting opinion (d.o), akan tetapi juga terjadi antara majlis
hakim peradilan tingkat pertama dengan majlis hakim tingkat banding, antara majelis
hakim tingkat banding dengan hakim agung
(putusan kasasi). Hal tersebut dapat diketahui dari putusan-putusan antara
lain:
1.
Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal
25 Nopember 1975, Nomor 576 K/Sip/1973 : Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung
menyatakan bahwa “pertimbangan yudex faksi (Pengadilan Tinggi) yang
menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena hanya seorang ahli waris
yang menggugat, tidak dapat dibenarkan, karena menurut yurisprudensi
Mahkamah Agung dalam sengketa waris tidak diharuskan semua ahli waris
menggugat”.
2.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 22
Maret 1982 Nomor 2438/K/Sip/1980 pada pokoknya Mahkamah Agung mempertimbangkan
bahwa :“Gugatan harus tidak dapat diterima, karena tidak semua ahli waris turut
sebagai pihak dalam perkara”. Sehingga putusan Pengadilan Tinggi dibatalkan.
Dari dua pendapat
sebagai tersebut diatas, nampaknya para hakim lebih banyak (mayoritas)
cenderung kepada pendapat yang kedua.
Melihat kenyataan diatas
mendorong penulis untuk mewacanakan masalah tersebut dengan pembahasan yang sedikit
lebih mendalam dengan harapan dapat menawarkan suatu law standard, agar
selanjutnya peradilan dalam menangani sengketa waris terdapat kesamaan pandang
sehingga terhindar dari putusan-putusan yang disparitas.
Perbedaan pendapat bagi
hakim dalam suatu majelis adalah sah-sah saja, demikian juga perbedaan antara
putusan pengadilan tingkat pertama dengan tingkat banding dan atau putusan
tingkat kasasi, apa lagi bila dilihat dari perspektif ushul fiqh, bahwa seorang
hakim adalah mujtahid, baginya berlaku
kaidah al-ijtihaad la yaungqodlu bi al-ijtihadi, tetapi secara
kwalitatif putusan yang diproduk secara aklamasi (ittifaq)
bernilai lebih baik dari pada putusan yang diproduk secara dissenting
opinion (ikhtilaf).
Permasalahan
Masalah utama dalam
pembahasan ini adalah, benarkah pendapat yang mensyaratkan bahwa dalam gugatan
waris, semua ahli waris harus menjadi subyek gugatan, jika tidak demikian maka gugatan
dinilai sebagai gugatan yang caca formil karena kurang pihak (prulium litis consortium).
Pendapat demikian jika ditinjau
dari perspektif prinsip-prinsip hukum perdata, masih menimbulkan sejumlah
permasalahan masih bisa diperdebatkan.
Pembahasan
Gugatan yang kurang pihak atau pihaknya tidak lengkap dalam hukum acara dikenal
sebagai salah satu bentuk gugatan yang eror in persona, yang salah satunya diistilahkan
plurium litis consortium.
Gugatan yang cacat karena eror in
persona, terdapat 3 (tiga) kategori/macam yaitu :
1. Diskwalifikasi in
person, karena
penggugatnya bukan orang yang persona standi in judicio, misalnya karena
bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan, atau karena belum dewasa dan
masih dibawah pengampuan (under curatele) atau orang yang menggugat
tidak berkwalitas karena tidak mendapat kuasa, atau kuasanya tidak sah.
2. Gemis Aanhoedanig Heid, yaitu orang yang ditarik sebagai
tergugat tidak tepat. Misalnya direktur perusahaan digugat secara pribadi.
3. Plurium Litis Consortium, yaitu orang yang ditarik
sebagai tergugat tidak lengkap.
Plurium litis consortium berasal dari bahasa latin, pluries
berarti banyak, litis consertes berarti kawan berperkara atau teman
sejawat. Dalam membicarakan masalah ini, para ahli dan penulis-penulis hukum
acara, tidak ada yang membicarakan secara panjang lebar sehingga permasalahan
menjadi jelas dan tuntas, Para ahli hanya menjelaskan pengertiannya berdasarkan
makna harfiyah (etimo logis) saja, sehingga dalam tataran praktis sering
mumunculkan tafsiran dan pemahaman yang subyektif.
Yahya Harahab, SH. mantan Hakim Agung dalam bukunya Beberapa Permasalahan
Hukum Acara pada Peradilan Agama halaman 21, setelah beliau mengartikan makna kata
plurium litis consortium secara harfiyah, kemudian beliau memberikan
sebuah contoh suatu gugatan yang dapat dikategorikan sebagai pihak tidak
lengkap dengan menunjuk contoh sebagaimana putusan Mahkamah Agung tanggal 25
Mei 1977, No. 621 K/Sip/1975; (kasus perdata umum/kebendaan).
Jika dilakukan analisa, pokok pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan
tersebut adalah, karena ternyata sebagian obyek yang disengketakan penggugat,
tidak lagi dikuasai oleh tergugat, tetapi telah menjadi milik dan dikuasai oleh
pihak ketiga (diluar pihak yang bersengketa), maka berdasarkan pertimbangan
hukum obyektif, pihak ketiga tersebut harus ikut digugat karena tidak mungkin
seseorang yang tengah menguasai obyek sengketa kemudian dirampas haknya tanpa
didengar keterangannya di depan persidangan. Untuk dapat mendengar
keterangannya dalam persidangan maka tidak tisa tidak ia harus dilibatkan sebagai
pihak/tergugat;
Pertimbangan Mahkamah Agung pada kasus tersebut adalah sudah tepat dan
benar. Karena pada kasus a quo, pihak ketiga secara nyata (lahiriyah) telah “menguasai
barang sengketa” yang seolah-olah obyek sengketa adalah kepunyaannya. Menurut
hukum kebendaan, orang yang memegang, menguasai, menikmati suatu benda disebut bezitter.
Menurut hukum bezit, mempunyai fungsi polisionil, artinya
bahwa hukum harus mengindahkan keadaan dan kenyataan itu tanpa mempersoalkan “hak”
milik atas benda tersebut sebenarnya ada pada siapa. Jadi siapa yang “membezit”
sesuatu benda sekalipun dia pencuri, maka ia mendapat perlindungan dari hukum,
sampai terbukti dimuka pengadilan bahwa ia sebenarnya tidak berhak. Oleh karena
itu bagi Penggugat ada kewajiban hukum untuk mendudukkan orang yang menguasai
obyek sengketa tersebut sebagai pihak, agar ia mempunyai kedudukan yang sama
didepan hakim untuk membela hak-haknya. Karena tanpa menariknya sebagai pihak,
maka proses peradilan akan mengabaikan asas de auditu et alternam partem.
Karena itu sangat tepat jika gugatan tersebut dinyatakan tidak sempurna karena kurang-pihak
dan harus diputus niet on vankelijke verklaart (N.O).
Kasus tersebut diatas, substansinya berbeda dengan kasus-kasus sengketa
waris yang umumnya dianggap sebagai gugatan yang kurang pihak. Dalam sengketa
kewarisan gugatan akan dinilai sebagai kurang pihak, sekalipun ahli-waris
tersebut tidak menguasai harta-warisan.
Agar permasalahan ini nampak lebih jelas, penulis mengajukan sebuah
ilustrasi kasus sederhana sebagai berikut :
-
Seorang pewaris laki-laki,
meninggalkan dua orang anak laki-laki, yaitu Si Jujur dan Si Nakal;
-
Seluruh harta peninggalan dikuasai
sendiri oleh Si Nakal;
-
Si Jujur merasa mempunyai
hak atas harta warisan, maka menggugatlah ia di Pengadilan Agama kepada Si
Nakal, dengan tuntutan agar pengadilan menghukum Si Nakal
menyerahkan separoh harta peninggalan kepada Si Jujur;
-
Di persidangan dalam proses jawab-menjawab
terungkap fakta bawa pewaris tidak hanya meninggal dua anak laki-laki Si
Nakal dan Si Jujur yang sedang bersengketa, akan tetapi pewaris juga
masih meninggalkan “Ibu kandung”
yang sabar, tulus, ihlas yang tidak menghendaki harta peninggalan anaknya
(pewaris), Si ibu tidak mau terlibat sengketa dengan kedua cucunya (Si Jujur dan Si Nakal);
-
Terungkap fakta sebagai tersebut
diatas, hakim tahu bahwa menurut hukum ahli-waris dari pewaris bukan hanya Si
Nakal dan Si Jujur saja tetapi juga “ibu pewaris”; Karena
ada “Ibu Pewaris” yang tidak dilibatkan sebagai pihak, maka hakim ada yang berpendapat
bahwa gugatan tersebut cacat formil, karenanya gugatan Si Jujur harus
dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaart).
Menghadapi kasus yang sederhana tersebut,
mayoritas hakim menilai bahwa gugatan penggugat (Si Jujur) cacat formil dengan alasan ”Eror In Persona” karena
kurang pihak (prulium litis consortium) maka harus dinyatakan tidak
dapat diterima (N.O). Kewajiban melibatkan ”ibu pewaris” yang tidak menguasai
harta waris dalam kasus sebagai tersebut diatas dalam praktek disebut sebagai ”Turut
Tergugat”.
Karena penilaian yang terlalu formil ini,
memberikan kesan seakan-akan betapa sulitnya seseorang menuntut hak
keperdataanya kepada lembaga peradilan sering dijumpai seseorang harus
mengulang gugatannya sampai 3 (tiga) kali ke Pengadilan, karena kenyataannya setelah
dikonstatir dalam persidangan ditemukan lagi ahli-waris yang tidak masuk
sebagai subyek hukum, apakah sebagai Penggugat, Tergugat atau Turut Tergugat;
Permasalahan tersebut amat perlu kita
wacanakan kembali, agar tercipta kesamaan pandang dalam menjalankan tugas yang
mulya ini.
Prinsip Hukum Acara Perdata
Menurut Hukum Acara subyek hukum dalam
sengekata perdata hanya mengenal “penggugat” dan “tergugat”. Istilah “turut
tergugat” tidak dijumpai.
Masalah siapakah penggugat dan siapakah
tergugat itu, hukum acara tidak memberikan penjelasan konkrit, tetapi logika
hukum obyektif mengajarkan bahwa ”penggugat” atau ”Eiser” atau plaintiff””
sering di definisikan sebagai orang (termasuk badan hukum) yang merasa dirugikan
karena haknya subyektifnya dilanggar oleh orang lain. Sedangkan ”tergugat” adalah orang yang ”diduga” merugikan
karena melanggar hak subyektif orang lain. Dua party yang saling
berhadapan tersebut adalah mutlak adanya sebagai ciri suatu perkara gugatan
yang bersifat contentiosa.
Walaupun dalam hukum acara hanya terdapat
dua partay yang berhadapan tersebut, namun dalam praktek peradilan masih ada
pihak (subyek) yang disebut “turut tergugat”. Siapakah turut tergugat
itu, hukum acara tidak membicarakan sama sekali.
Dalam
berbagai literatur yang ditulis oleh bebarapa ahli hukum, boleh dikatakan belum
ada yang membahasnya secara mendalam. Lilik Mulyadi S.H. dalam bukunya Hukum
Acara Perdata halaman 38 menyebutkan bahwa “turut tergugat” adalah ditujukan
kepada seseorang yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi demi
formalitas gugatan harus dilibatkan dalam proses, agar dalam petitum ia dihukum
sebagai pihak yang harus tunduk dan taat pada putusan hakim perdata.
Definisi
dan pernyataan pendapat tersebut menimbulkan pertanyaan dan kejanggalan, apakah
kepentingannya mendudukkan seseorang yang tidak menguasai obyek sengketa
sebagai turut tergugat, apakah sebagai kewajiban hukum atau hanya bersifat
proforma ?
Menjawab
secara pasti permasalahan tersebut menjadi amat penting. Jika hal tersebut
merupakan kewajiban hukum dimanakan aturan hukumnya, Jika mendudukkan ahli
waris yang tidak menguasai barang tersebut hanya merupakan proforma, maka adalah
tidak tepat jika gugatan dianggap tidak sempurna atau cacat formil.
Jika ahli
waris yang tidak menguasai obyek warisan, kemudian wajib dimasukkan sebagai turut
tergugat dengan tujuan harapan agar ia tunduk pada putusan, pertanyaannya, tunduk
melaksanakan prestasi apa yang dibebankan kepadanya. Dihukum untuk menyerahkan
obyek tidak mungkin, dihukum untuk tunduk agar mengambil haknya kepada Tergugat
menjadi aneh, sebab menurut hokum tidak ada hokum yang bisa memaksa orang untuk
mengambil haknya. Jika demikian maka mendudukkan seseorang menjadi turut
tergugat dalam sengketa waris tidak jelas alias percuma alias muspro (jawa). Logika
hukum obyektif mengatakan bahwa, orang yang perlu didudukkan sebagai tergugat,
hanyalah orang yang nantinya dituntut memenuhi suatu prestasi yang
diminta oleh penggugat lewat putusan hakim karena ia terbukti melanggar hak
penggugat. Oleh karena itu pendapat yang mewajibkan mendudukkan ahli waris yang
tidak menguasai obyek sengketa (harta waris) sebagai turut tergugat dengan
alasan bahwa ia nantinya diharapkan tunduk pada putusan pengadilan adalah
alasan yang berlebihan (overbodig); Menerima warisan adalah hak perdata
bukan kewajiban. Pada hak berlaku asas “tidak ada sebuah hukum yang dapat
mememaksa seseorang untuk menerima hak”, karenanya dalam sengketa perdata hakim
bersifat pasif, hanya akan mengabulkan yang diminta oleh pihak sepanjang
permintaannya dibenarkan hokum.
Berdasarkan itu maka mendudukkan ahli
waris yang senyatanya tidak menguasai harta warisan sebagai pihak (turut
tergugat) harus dipandang sebagai hal yang proforma dan tidak menyebabkan
gugatan tidak sempurna.
Pembedaan Istilah Tergugat dan Turut
Tergugat
Perlunya pembedaan sebutan “tergugat”
dengan “turut tergugat” menurut ilmu pengetahuan adalah disebabkan adanya
kwalitas klausula hubungan hukum yang berbeda. Hubungan hukum yang menjadi
dasar seseorang harus didudukkan sebagai tergugat adalah disebabkan adanya
hubungan primer (langsung), sedang dasar seseorang didudukkan sebagai
turut tergugat adalah disebabkan adanya hubungan secundair (tidak
langsung), untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut :
Jika ada harta
waris yang belum dibagi waris, ternyata telah dijual oleh salah seorang ahli-waris
pada pihak lain (pembeli), maka terjadilah peristiwa-peritiwa hubungan hukum primair
dan secundair, sebagai berikut :
-
Hubungan hukum antara ahli-waris satu
dengan lainnya adalah hubungan hukum primair.
-
Hubungan hukum antara ahli-waris
yang menjual (penjual) dengan pembeli adalah hubungan hukum primair;
-
Ahli-waris yang tidak turut
menjual menggugat kepada ahli-waris yang menjual harta warisan, maka ahli-waris
yang menjual didukkan sebagai tergugat karena ada hubungan primair;
sedangkan pembeli barang dapat didudukkan dalam posisi sebagai turut
tergugat karena ada hubungan secundair;
dia bukan ahli waris, tetapi ia telah menguasai obyek sengketa disebabkan
hubungan hukum yang belum jelas, karena ia telah membeli harta waris yang belum
dibagi.
-
Mendudukkan pembeli harta warisan sebagai tergugat
tidak tepat, sebab ia bukan ahli waris, karena jika demikian, maka akan nampak
sebagai sengketa milik yang menjadi kewenangan peradilan umum.
Dalam
kasus sebagai tersebut diatas, oleh ilmu pengetahuan perlu mengadakan istilah
baru yang dapat membedakan secara substansi antara “tergugat” dengan “turut
tergugat”.
Jika teori
tersebut diatas kita sepakati, maka ada dua syarat bagi orang yang semestinya
didudukkan sebagai “turut tergugat”
yaitu :
1.
Adanya hubungan orang tersebut dengan penggugat adalah hubungan
hukum secundair; bukan hubungan hukum primer; dan
2.
Orang tersebut menguasai barang obyek
sengketa (bezitter);
Berdasarkan
syarat-syarat tersebut diatas, maka keharusan mendudukkan semua ahli-waris
termasuk yang tidak mengusai harta peninggalan sebagai “turut tergugat” adalah
pendapat yang tidak tepat, dengan alasan:
-
Pertama, ditinjau
dari hubungan hukum antara seorang ahli-waris dengan ahli-waris lainnya adalah
hubungan primer;
-
Kedua, ahli
waris tersebut tidak menguasai barang obyek sengketa (warisan).
Jika ada ahli-waris
yang menguasai barang warisan, maka secara hukum harus ditarik sebagai
tergugat, jika tidak maka gugatan waris dinyatakan sebagai gugatan yang cacat
karena kurang pihak.
Mendudukkan
ahli-waris yang tidak menguasai harta warisan sebagai turut tergugat selama ini
adalah salah kaprah, sehingga gugatan waris tanpa melibatkan ahli-waris
yang tidak menguasai barang warisan tidak dapat dikategorikan sebagai gugatan
yang cacat formil.
Tinjauan
Hukum Materiil
Tujuan
orang menghadap pengadilan adalah untuk mencari keadilan. Mungkin saja pencari
keadilan tidak mengetahui siapa-siap sebenarnya orang-orang yang menjadi ahli-waris
dari seseorang serta berapa besar bagiannya. Menentukan siapa-siapa sebagai
ahli-waris dan berapa bagiannya adalah sudah menyangkut hukum obyektif yang
hanya (wajib) diketahui oleh hakim (ius curia novit). Kewajiban
pihak-pihak dalam menuntut hak hanyalah supaya mengemukakan kejadiannya atau fakta-faktanya
saja. Dalam sengketa kewarisan, tentunya cukup menyebutkan siapa-siapa keluarga
yang ditinggalkan oleh pewaris saat meninggal dunia serta apa saja harta
peninggalan pewaris, kemudian Penggugat memohon kepada hakim agar menetapkan
ahliwaris dan bagiannya masing-masing. Selebihnya adalah kewajiban hakim untuk
menguji kebenaran gugatan penggugat tersebut dengan hukum obyektif, bila
ternyata benar, maka gugatannya dikabulkan sesuai dengan dasar-dasar hukum
obyektif.
Menurut
hukum obyektif, penggugat maupun tergugat tidak wajib mengetahui hukum atas
masalah yang disengketakan, kewajiban pihak hanya menceritakan fakta-fakta
kejadian yang dijadikan dasar gugatan. jika penggugat diharuskan menjadikan
para ahli-waris sebagai subyek hukum, maka sama halnya mewajibkan dia tahu
hukum. Masalah hukum materiil adalah domain hakim. Tetapi jika penggugat
dituntut untuk menunjukkan haknya ada pada siapa, ia telah dirugikan siapa,
pasti dia tahu. Sederhana adalah cirri hukum acara kita (HIR dan RBg) karenanya
membuka peluang bagi orang buta huruf (awam) untuk menggugat secara lisan
(Pasal 120), sebagaimana telah diintrodusior dalam peraturan hukum kita, “hakim harus berupaya membantu sekaras-kerasnya
kepada para pihak dalam menyelesaiakan perkaranya serta menghilangkan segala
rintangan agar perkara berjalan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan,
terlalu formalities dalam kasus sebagai tersebut diatas kiranya akan
bertentangan dengan ketentuan ini.
Tinjauan
Sosiologis
Secara
sosiologis masyarakat muslim di bebarapa daerah di Indonesia berkembang budaya “ewoh
pakewoh”, atinya walaupun hokum waris itu bersifat “ijbari”, tetapi kadang ada ahli-waris malu atau segan terlibat dalam
sengketa, sehingga ia harus mengambil sikap diam. Untuk itu pasal 88 Kompilasi
Hukum Islam telah secara tegas memberikan ajaran, bahwa “Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat
mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian
harta warisan, bila ada diantara ahli waris lain yang tidak menyetujui
permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan”. Filosofi yang
terkandung dalam pasal tersebut bahwa tidak semua ahli waris harus terlibat dalam
perkara, tetapi cukup diwakili seseorang, sedangkan yang digugat adalah semua
ahli-waris yang menguasai harta-warisan. Ahli waris yang tidak menguasai harta
tidak layak digugat dan tidak ada perlunya dilibatkan sebagai Turut Tergugat.
Hak/bagian warisnya cukup disebutkan (dideklaratir) dalam putusan. Apakah dia
mau ambil kepada haknya Tergugat atau tidak bukanlah hal yang wajib.
Jika
pemikiran tersebut dapat disepakati sebagai dasarpertimbangan, maka ilustrasi penyelesaian
kasus sederhana sebagai tersebut diatas ada dua opsi. Misalnya harta sengketa
(warisan) berupa uang Rp. 600.000.000,- (seratus juta rupiah), maka :
Pertama;
Pengadilan dapat menyatakan porsi hak seluruh ahli waris yaitu :
- Ibu 1/6 (seper enam) = Rp. 100.000.000,-
- Si Nakal dan Si Jujur 5/6 (dua perenam), dibagi sama rata
sehingga masing-masing:
- Si Jujur = Rp.
250.000.000,-
- Si Nakal = Rp.
250.000.000,-
Kemudian
Majelis menghukum kepada Si Nakal, untuk menyerahkan bagian masing-masing,
eksekusinya diserahkan kepada masing-masing ahli waris apa yang mau ambil atau
tidak;
Kedua; Diktum pengadilan menghukum Si Nakal untuk
menyerahkan haknya Si Jujur saja yaitu Rp. 250.000.000,- tanpa menghukum Si
Nakal untuk menyerahkan hak Ibu, karena ibu tidak menuntut.
Dengan kata
lain pengadilan hanya berkewajiban memperhatikan hak Si Jujur, karena dialah
yang meminta keadilan, tidak harus memberikan hak orang yang tidak minta. Hukum
harus memandang bahwa Ibu tersebut adalah nenek yang rendah hati, sabar, ihlas
sehingga tidak dapat dipaksa untuk mengambil haknya.
Dalam
hukum terdapat ketentuan, hakim dilarang memutus melebihi yang diminta (azas ultra petita), apa lagi memaksa
orang untuk tunduk putusan supaya menerima hak warisnya, sangat bertentangan
dengan logika hukum.
Dalam
acara perdata hakim hanya mencari kebenaran sepanjang diminta oleh pihak yang
bersangkutan. Ada
manfaat lain dari azas tersebut, yaitu sengketa-sengketa kewarisan dapat
diselesaikan dengan asas formal prosedur and can be put in motion quickly, atau
sederhana cepat dan biaya ringan.
Kesimpulan
1.
Istilah “turut tergugat” tidak
diketemukan rumusannya dalam hukum acara perdata, istilah itu diperlukan berdasarkan
karena kebutuhan ilmu pengetahuan, karena adanya hubungan hukum sekundair dengan penggugat perdata.
2.
Mendudukkan ahli waris yang
tidak menguasai harta warisan sebagai pihak “turut tergugat” hanya syarat
proforma, bukan kewajiban hukum yang menyebabkan gugatan cacat formil.
3.
Dalam sengketa kewarisan yang
bertindak sebagai penggugat boleh satu orang ahli-waris atau beberapa orang/sebagian
ahli waris;
4.
Dalam sengketa waris, seorang ahli-waris
dapat menuntut haknya sendiri kepada ahli waris yang menguasai harta-warisan,
tidak diharuskan menuntutkan hak ahli-waris lain.
5.
Gugatan waris dinilai sebagai cacat
formil/kurang pihak, jika ternyata ada ahli-waris lain yang menguasai obyek
sengketa (warisan) tidak digugat, sebab hal tersebut akan mempengaruhi nilai
perolehan harta warisan. Ini kurang pihak (prulium litis consortium) yang benar.
6.
Jika penggugat hanya menuntut
bagian haknya sendiri tanpa menuntutkan haknya ahli-waris lainnya, gugatan yang
demikian dapat dibenarkan.
7.
Mendudukkan ahli waris yang tidak
menguasai harta warisan sebagai turut tergugat agar ia/mereka tunduk putusan pengadilan
adalah tuntutan prestasi yang tidak jelas.
Wallahu
a’lam bis-shawaab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar