Kamis, 26 Juli 2012

“MANHAJ” IJTIHAD UMAR BIN AL- KHATHTHAB DALAM PENYELESAIAN MASALAH KEWARISAN

Abstrak
Kebanyakan dalil nash tentang kewarisan bersifat qoth’i sehingga secara methodologis “difahami” bersifat absolut, namun kasus akan tetap lebih berfariasi dan beragam dari keberadaan dalil nash.
Kesenjangan terbatasnya nash dan sifatnya yang absolut disatu sisi  dengan beragamnya kasus waris dipihak lain, melahirkan berbagai perbedaan pendapat dalam penyelesaian sengketa kewarisan.


Umar adalah salah seorang sahabat yang memiliki kemampuan mensinergikan nash dengan maqoshid-asy-syari’ah, demi mewujudkan kemaslahatan dan keadilan sesuai dengan kaidah umum syar’iyah.
Tulisan ini mengungkap beberapa hal penting yang pernah dilakukan oleh Umar dalam penyelesaian sengketa kewarisan, untuk membedah kejelasan pola hubungan antara akal dan nash yang bersifat absolut tersebut guna menemukan formula implementasi ijtihadnya.
Bahwa dengan memahami formulasi ijtihad Umar tersebut maka kita dapat memecahkan persoalan-persoalan hukum kewarisan kontemporer dengan cara yang indah disertai dengan penggunaan ratio, membebaskan pikiran dari unsur taqlid.
Kebijakan Umar tersebut tidak dapat serta merta dikatakan sebagai menyimpangi ayat Al-Qur-an. Dari sinilah Umar sering berbeda dengan para sahabat myang berpegang erat dengan dhahir nash
Sebab itulah, menurut pendapat penulis, bahwa pada dasarnya hukum kewarisan adalah masalah qodla’i yang penyelesaiannya harus mengedepankan prinsip umum syari’ah dengan menggunakan logika keadilan.

Kata kunci : Umar, Ijtihad, Waris, Khimariyah, Kalalah ‘Aul,  Raad.


Pendahuluan

Dari sekian nama orang-orang besar yang pernah dikenal umat Islam adalah Umar bin Al-Khathab. Keagungan namanya telah dikaji oleh para ilmuwan baik dari dimensi kehidupan pribadinya, keadilan dan kretifitasnya dalam berijtihad.
Kejayaan Islam semenjak ia masuk agama Allah ini, serta kepiawaiannya dalam memimpin umat juga merupakan catatan sejarah yang mangagumkan. Beliau dikenal sebagai manusia yang berkemampuan mengimplementasikan tasyri’ Islami dalam kehidupan sehari-hari ditengah umatnya. Selain Nabi, tidak ada seorangpun yang lebih bagus sifat kepribadian sebagaimana Umar. Beliau dikenal sebagai peletak dasar-dasar sistem peradilan yang baik disaat dunia Barat masih mengalami masa kegelapan yang secara jujur harus diakui menjadi dasar-dasar peradilan saat ini, sebagaimana dapat dipelajari dari dua surat beliau kepada dua orang sahabatnya Syuraih sebagai Qadli di Kuffah dan Abu Musa Al-Asy’ari sebagai Qadli di Bashrah.
Ijtihad dan caranya yang indah disertai dengan menggunakan ratio yang sedikit terbuka, ijtihad Umar kerap dibenarkan oleh Nabi dan cocok serta seiring dengan wahyu yang belum turun sekalipun. Sehingga banyak fuqaha’ yang menyimpulkan bahwa manhaj Umar dalam berijtihad dan berfiqih menjadi dasar dan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi adanya ijtihad mustaqil (berdiri sendiri).
Dari padanyalah para qadli (baca hakim) dapat belajar untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kontemporer dengan mengedepankan azas maslahah ammah dalam memahami nash secara tekstual maupun kontekstual dengan benar.
Tentang Umar ini Rusulullah pernah menyatakan dalam nubuwahnya “Kebenaran akan selalu memancar dari Umar”.  Ibnul Qayyim mengatakan bahwa dari manhaj ijtihad Umarlah generasi yang cerdas setelahnya memperoleh pelajaran yang sangat berharga bahwa syari’at Islam yang abadi itu  mampu menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan kontemporer.
Tulisan ini mencoba mengungkap sebagian dari manhaj ijtihad beliau dalam masalah kewarisan. Hal tersebut menjadi amat penting untuk kita jadikan pangkal tolak memahami dalil nash yang bersifat spesifik dan terbatas untuk diterapkan atas kasus kewarisan yang fariatif kejadiannya.
Berangkat dari dasar pemikiran tersebut diatas, kajian ini memberi perhatian secara terbatas hanya pada segi Ijtihad Umar dalam masalah kewarisan tentang musytarokah, kalalah, warisan kakek bersama beberapa saudara, warisan ayah dan ibu bersama janda/duda, saudara perempuan bersama anak perempuan, ‘Aul dan al-akdariyah (masalahyang rumit) dengan mengacu kepada kitab-kitab fiqih bidang faraidl.
1.Al Musytarokah
Istilah Al-Musytarokah dalam fiqih mawaris adalah jika seorang wanita mati meninggalkan suami, ibu, beberapa saudara laki-laki seibu, dan beberapa saudara laki-laki sekandung.
Jika demikian yang terjadi, maka suami mendapatkan ½, ibu mendapatkan 1/6 (sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisaa’), selebihnya adalah 1/3. Jika kita memberikan lebihan itu kepada saudara seibu sesuai dengan Al-Qur-an, “tetapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…” (An-Nisaa’:12), maka beberapa saudara laki-laki kandungnya tidak mendapatkan bagian. Padahal pembagian seperti ini telah sesuai dengan nash-nash yang ada.
Kejadian seperti ini pernah terjadi pada masa Umar, sehingga beberapa saudara laki-laki sekandung yang tidak kebagian jatah itu mengadu pada sang khalifah, “Wahai Amirul mukminin, kita satu bapak dengan mayat, sedangkan mereka (saudara seibu) tidak. Kita juga satu ibu dengan mayat, sebagaimana mereka satu ibu dengannya. Jika anda menahan kami untuk mandapatkan warisan sebab bapaka kita, maka kita seharusnya mendapatkan warisan desebabkan ibu kita, sebagaimana mereka mendapatkan warisan sebab ibu mereka. Dan jika demikian, maka mereka menganggap bapak kita itu “keledai” (menghina bapak kita). Dan tidakkah kita dilahirkan dari rahim yang sama?”.
Mendengar itu, Umar berkata “Kalian benar,! kalian akan bersama-sama membagi 1/3 lebihan harta warisan itu dengan saudara seibu kalian.” Dan diriwayatkan bahwa sebelum kejadian ini, Umar belum pernah membagi dengan isytirak  (bersama-sama).[1]
Pendapat Umar tersebut diikuti oleh sahabat-sahabat lain yaitu Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Mas’ud.[2] Adapun sahabat yang berbeda pendapat dengan Umar adalah Ali, Ibnu Abbas, Abu Musa Al-Asy’ari dan Ubay bin Ka’ab, mereka memberikan 1/3 lebihan itu kepada saudara seibu saja, dengan alasan karena sesuai dengan surat an-Nisa’, kepada saudara sekandung, mereka tidak memberikan bagian apa-apa.
Ketika hal ini dikatakan kepada Ali bin Abi Thalib, maka beliau menjawab, “Bagaimana pendapatmu jika saudara seibu itu seratus orang. Apakah kalian akan menambahkannya dari hanya memberikan 1/3?” “Tidak.” Jawab orang itu. “Saya juga tidak akan mengurangi sedikitpun bagian mereka. Adapun saudara laki-laki maupun saudara perempuan sekandung akan mendapatkan bagian ashabah (sisa).” Timpal Ali.[3]
Diriwayatkan bahwa Umar sebelumnya juga mengeluarkan fatwa/putusan sebagaimana pendapat Ali tersebut. setelah peristiwa tersebut beliau mengeluarkan fatwa/putusan yang kedua yaitu dengan adanya tasyrik. Dikatakan kepadanya, “Pada tahun pertama kamu mengeluarkan fatwa tidak seperti sekarang. Saat itu kamu memberikan 1/3 bagian itu kepada saudara seibu. Dan kenapa kamu sekarang juga memberikan bagian kepada saudara sekandung mayat?” “Keputusan itu adalah keputusan saya kemarin. Dan keputusan yang baru ini adalah keputusan saya sekarang.” Sanggah sang khalifah.[4]
Kedua putusan diatas sama-sama didasarkan pada pemahaman terhadap ayat.. Bagi yang berpegang pada ayat Al-Qur’an secara harfiyah (tekstual), maka akan memberikan lebihan 1/3 itu kepada saudara seibu. Mereka melihat adanya ayat menerangkan hal itu, maka menurut mereka, tidak ada orang yang berhak untuk mengurangi bagian mereka, karena akan bertentangan dengan nash Al-Qur’an. Inilah yang dijadikan dasar pendapat Umar pertama.
Akan tetapi, saudara sekandung dapat dikatakan saudara seibu juga. Bahkan ditambah dengan sebapak. Dan jika ada tambahan hubungan darah dengan mayat, secara otomatis akan menambah bagian mereka, bukan malah menguranginya. Bagaimana mereka tidak mendapatkan bagian 1/3 itu, padahal merekapun seibu dengan mayat? Jika demikian maka adanya sebapak justru sebagai penghalang mereka untuk mendapatkan bagian itu, sehingga mereka menyebut bapak mereka itu laksana “keledai”, sebagaimana perkataan mereka kepada Umar di Atas? Tidak mungkinkah saudara kandung itu dimasukkan ke dalam nash itu, yaitu mereka dimasukkan juga golongan dari saudara seibu.
Rasio tidak bisa menolak kedua pendapat itu, akan tetapi ada satu hal yang menjadi dasar tasyri’ Islami, yaitu asas keadilan. Maka rasa keadilan itu akan terwujud jika saudara sekandung diikutkan untuk bersama-sama mendapatkan warisan dari 1/3 lebihan harta itu, karena merekapun dianggap saudara seibu. Karena kekuatiran tidak adanya keadilan itulah, yang dirasakan Umar ketika saudara saudara sekandung itu menghadap Umar sebagaimana cerita di atas, sehingga akhirnya beliau pun memasukkan mereka ke dalam saudara seibu untuk mendapatkan bagian warisan.

Pendapat Fuqaha’
Dari kalangan fuqaha’ dalam menyelesaikan kasus sebagai tersebut diatas juga  terdapat dua pendapat yang berbeda. Ahli fikih yang sependapat dengan Umar adalah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Ats-Tsauri. Sedangkan yang tidak sependapat adalah, Imam Abu Hanifah, Ibnu Abi Laila, Imam ahmad, Abu Tsaur dan Dawud.[5]
Alasan kelompok pertama adalah, saudara sekandung isytirak (bersama-sama) dengan saudara seibu karena mereka memiliki hak untuk mendapatkan warisan, yaitu dengan adanya ibu. Oleh karena adanya ibu, maka mereka tidak dihapus hak warisnya oleh orang yang lebih jauh hubungan kekerabatannya dengan mayat. Dan jika saudara seibu mendapatkan warisan karena ibu, maka merekapun harus mendapatkannya, karena alasan untuk mendapatkan warisan dengan mereka adalah sama. Yaitu adanya si ibu.
Adapun alasan kelompok kedua, saudara sekandung bagiannya adalah ashabah (lebihan). Jika orang-orang yang mempunyai bagian warisan sudah membagi habis harta warisan, maka mereka (yang dapat bagian ashabah) tidak berhak untuk mendapatkan warisan apa-apa. Kejadian ini dapat disamakan dengan kasus, jika ada orang mati meninggalkan suami, ibu, satu saudara seibu, dan saudara sekandung sepuluh atau lebih. Dalam kasus ini suami mendapatkan ½, ibu mendapatkan 1/6, satu saudara seibu mendapatkan bagian utuh, yaitu 1/6, sedangkan sisanya yaitu 1/6 dibagi kan kepada sepuluh atau lebih saudara kandungnya;
Al-Jasshash, seorang yang bermadzhab Hanafi - dalam membenarkan kelompok kedua berdasar ayat kalalah surat An-Nisa’ ayat 12;
وإن كان رجل يورث كللة او امرأة وله أخ أو أخت فلكل واحد منهما السدس فإن كانوا أكثر من دلك فهم شركاء في الثلث. { النساء : 12}
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja), atau mempunyai saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka bersekutu dalam yang sepertiga itu,” (An-Nisaa’ : 12).

Bahwa ayat tersebut berkaitan dengan bagian “saudara seibu”, sedangkan ayat kalalah dalam An-Nisa’ 176 :
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah,n’Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu); jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang  laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara permpuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika sudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga  dari harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang  saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan.” (An-Nisaa’ 176) 
Ayat Ini  tidak menerangkan dengan jelas bagian saudara sekandung. Bahkan di situ hanya disebutkan bahwa mereka mendapatkan bagian ashabah, yaitu seorang laki-laki akan mendapatkan dua bagian perempuan.
Disamping itu Al-Jasshash juga berpendapat; bahwa ayat itu secara zhahir (eksplisit), menafikan adanya isytarak. Karena ahli waris yang mendapatkan bagian fardhu (pasti) tidak disebutkan dalam ayat ini. Di samping itu, ia juga berpegang pada hadits,
Berikanlah bagian fardhu (pasti) kepada ahlinya (yang berhak mendapatkannya). Dan ketika bagian fardhu masih tersisa, maka yang lebih baik adalah memberikannya pada golongan laki-laki ashabah.”
Mekanisme pembagian waris menurut hadits ini adalah harta warisan diberikan dulu kepada penerima dzawil furud atau dzawil as-siham (orang-orang yang berhak mendapat bagian pasti), maka sisanya diberikan kepada ashabah. Oleh karena itu, barangsiapa memberikan mereka bagian isytarak, maka ia telah melanggar sunnah. Demikianlah pendapat Al-Jashshas.[6]
Meskipun dalil-dalil kelompok kedua ini sudah jelas, namun ruh (spirit) dan tujuan tasyri’ tidak menyamakan antara saudara sekandung dengan saudara seibu. Tidakkah alasan mereka untuk mendapat warisan adalah karena adanya ibu mereka, yang juga ibu saudara sekandung ? Bagaimana tambahan hubungan kekerabatan (adanya ayah) malah menahan mereka untuk memperoleh warisan ? adalah sesuaitu yang susah untuk diterima oleh akal.
Bahwa dalam memahami suatu nash hukum kadang lebih tepat dan harus dupahami secara tekstual tetapi kadang justru hal tersebut dirasa tidak sesuai dengan rasa keadilan, oleh karena itu suatu saat dalil nash harus kita pahami secara kontekstual sosiologis. Bagaimana jika kita meyakini nash secara eksplisit, padahal yang diharapkan untuk memahaminya adalah dengan cara implisit ?
Sebab itulah, menurut pendapat penulis, bahwa pada dasarnya hukum kewarisan adalah masalah qodla’i  yang  harus mengedepankan logika keadilan tanpa harus bertentangan secara diameteral terhadap ayat yang qoth’i.
Pendapat yang mengatakan bahwa isytarak adalah pemahaman yang keluar dari ayat dan berseberangan dengan sunnah adalah pendapat yang tidak tepat.  Karena kasus tersebut harus dipahami sebagai masalah ijtihadi. Dan dua ayat dalam surah An-Nisaa’ di atas (ayat 12 dan ayat 176) adalah ayat yang menerangkan tentang kalalah, yang hal itu ada hadits-hadits yang membahasnya secara khusus, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Umar dalam bab kalalah berikut.
2. Al-Kalalah
Kalalah dalam ilmu faraidl mempunyai banyak pengertian, tetapi yang masyhur diartikan seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah. Pengertian tersebut yang diikuti oleh Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tertuang dalam pasal 181 dan pasal dan pasal 182.  
Pada tahun di mana Umar meninggal karena kena tikam, ia berkata, “Aku tidak meninggalakan sesuatu yang sangat penting bagiku melebihi kalalah. Aku tidak pernah beradu argumen dengan Rasulullah dalam masalah apapun, sebagaimana yang terjadi ketika membahas maslah kalalah. Perkara yang paling aku anggap berat selama aku menyertai Rasulullah adalah masalah ini, sampai-sampai ketika membahas perkara ini, Rasulullah mencubit perutku dengan jari-jari beliau sambil bersabda, “Cukuplah kamu dengan ayat terakhirsurat An-Nisa’. Dan selama hidupmu, jika kamu dihadapkan masalah ini, maka putuskanlah masalah ini sesuai dengan ayat itu, baik kepada orang yang membacanya ataupun kepada orang yang tidak membacanya.” Sang khalifah ketika ditikam juga berkata, “Ketahuilah, bahwa aku tidak berkomentar apapun dalam masalah kalalah.”[7]
Diriwayatkan oleh Al-Jasshash, bahwa Umar pernah bertanya kepada Rasulullah, “Bagaimana pembagian warisan kalalah?” Rasulullah bersabda, “Tidakkah Allah telah menjelaskannya?” lalu beliau membacakan ayat,
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun permpuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara permpuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu..”
(An-Nisaa’ : 12)
Allah kemudian menurunkan ayat,
يستفتونك قل الله يفتيكم في الكللة { النساء : 176}
”Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, ‘allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah.”
(An-Nisaa’ : 176)
Karena Umar seakan belum juga paham dengan ayat tersebut, ia lalu berkata kepada Hafsah putrinya, “Jika kamu melihat Rasulullah dalam keadaan tidak gundah, maka tanyakan kepadanya tentang kalalah.” Dan ketika Hafsah melihat bahwa Rasulullah sedang santai, maka ia menanyakan sebagaimana yang dipesankan bapaknya itu. Rasul menjawab, “Apakah  bapakmu menulis pertanyaan ini? bapakmu tidak akan tahu selamanya.” Mendengar itu Umar lantas berkata, “Saya tidak akan mengetahuinya selamanya, karena Rasulullah telah bersbda demikian.” Umar kemudian berkata, “Tiga perkara yang jika Rasul mau menjelaskannya kepadaku, maka hal itu lebih membuatku gembira daripada aku diberikan dunia dan semua isinya. Tiga perkara itu adalah; kalalah, khilafah dan riba.”
Said bin Al-Musayyib berkata, “Umar mempunyai sebuah catatan tentang kalalah. Namun ketika akan meninggal, ia berkata, “Sebaiknya dalam menanggapi catatan itu, kalian menggunakan pendapat kalian sendiri.”[8]
Ibnul Qayyim berkata, “Umar telah berikrar, bahwa dirinya tidak menetapkan apapun tentang kalalah. Dan ia pun telah mengaku bahwa dirinya tidak faham tentang masalah ini.”[9]
Diriwayatkan dari Umar juga, bahwa selama beberapa saat masa kekhalifahannya, dalam masalah kalalah, ia mengikuti pendapat Abu Bakar.
Ibnul Qayyim berkata, “Abu Bakar telah mengatakan; pendapat saya dalam masalah ini berasal dari ijtihad saya. Jika benar itu adalah dari Allah, dan jika salah maka itu berasal dari saya sendiri dan dari setan. Kalalah menurut saya sendiri adalah mayat tidak meninggalkan orang tua dan anak.” Dan ketika Umar diangkat menjadi khalifah, ia berkata, “saya benar-benar malu kepada Allah, jika menolak sesuatu yang berasal dari apa yang telah dikatakan abu Bakar.”[10]
Riwayat ini menunjukkan bahwa menurut Umar, kalalah adalah mayat yang tidak meninggalkan orangtua dan anak. Ayat pertama (An-Nisa:12) menunjukkan tentang bagian warisan saudara seibu, sedangkan ayat kedua (An-Nisa:176) menunjukkan warisan saudara sekandung atau saudara sebapak, ketika ia meninggal dan tidak meninggalkan orangtua dan anak.
Diriwayatkan Al-Jasshash, bahwa sebagian sahabat mengatakan, “Kalalah adalah orang mati yang tidak meninggalkan anak.” Riwayat ini berasal dari Umar. Namun ada juga beberapa riwayat lain yang mengatakan bahwa lafazh kalalah berarti “sebagian ahli waris.”[11]
Selanjutnya Al-Jasshash mengatakan, “Ketika di kalangan ulama salaf terdapat banyak perdebatan dalam menentukan arti kalalah, dan ketika Umar bertanya kepada baginda Rasulullah tentang makna kalalah, yang kemudian Nabi tidak menjawabnya, bahkan menyuruh Umar untuk mengkajinya sendiri dari ayat kalalah di atas, padahal Umar adalah seorang yang ahli dalam masalah linguistik, yang tidak mungkin ia tidak tahu arti harfiyah kalalah, maka dari situ dapat disimpulkan; bahwa istilah kalalah tidaklah bisa dipahami dari segi bahasa, karena istilah ini adalah bagian dari ayat yang mutasyabihat (tidak ada yang bisa memastikannya kecuali Allah), yang untuk memahaminya, Allah telah memerintahkan pada kita untuk mengartikannya secara hukmiyah (tidak bisa menentukan kebenarannya dengan kaidah). Oleh karena itu, Nabi tidak menjawab pertanyaan Umar, bahkan beliau menyuruh Umar untuk berijtihad sendiri. Hal ini karena masalah kalalah, saat ditanyakan belum terjadi, sehingga tidak harus dicari jawaban hukumnya seketika itu juga. Karena jika tidak demikian, maka niscaya Nabi akan menjawabnya.
 Dan karena pertanyaan yang diajukan Umar itu adalah untuk mencari tahu saja, maka Nabi memberi keleluasaan kepada Umar untuk berijtihad sendiri dalam memahami ayat warisan.[12]
Tidak hanya para sahabat yang berbeda pendapat tentang makna kalalah, para ahli lughah (linguistik) dan ahli tafsir pun berbeda pendapat dalam masalah ini. Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna berkata, “Setiap mayat yang tidak meninggalkan ahli waris anak dan orang tuanya, maka hal ini di kalangan orang Arab dinamakan kalalah.” Kemudian ia menjelaskan lafazh kalalah ditinjau makna linguistiknya sebagaimana terdapat dalam syair-syair Arab.[13]
Menurut Al-Qurhubi, kalalah sebagaimana terdapat dalam dua ayat di atas adalah, saudara seibu, saudara sekandung atau sebapak. Hal ini dijelaskannya ketika menafsiri ayat pertama, “Di dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan kalalah di dua tempat. Yaitu di akhir surat dan di sini. Keduanya mengidentifikasikan bahwa kalalah yang dimaksud adalah saudara orang yang meninggal. Adapun di dalam ayat ini, para ulama telah bersepakat bahwa saudara yang dimaksud adalah, saudara seibu, sesuai dengan firman Allah, “Tetapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.”(An-Nisa’:12)
Bahkan Sa’ad bin abi Al-Waqqash membaca ayat ini dengan, “Dan si mayat mempunyai saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu.”
Karena hal ini, semua ulama sepakat bahwa saudara sekandung atau saudara sebapak tidak masuk dalam kategori kalalah. Dan ijma’ mereka ini menunjukkan bahwa ikhwah yang dimaksud di akhir surat itu adalah saudara si mayat yang sekandung dan saudara mayat yang sebapak, sesuai dengan firman Allah, “Dan jika mereka (ahli waris terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang  saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan.” (An-Nisaa’ 176)
Mereka juga telah bersepakat bahwa warisan saudara seibu tidaklah demikian, karena kedua ayat itu menunjukkan bahwa semua ikhwah adalah kalalah.[14]
Dari sini dapat kita simpulkan; pertama, bahwa dua ayat kalalah di atas mencakup semua ikhwah, baik saudara seibu, saudara sekandung ataupun saudara sebapak. Kedua, bahwa penafsiran lafazh kalalah sangatlah banyak. Dan barangkali sebagiannya telah disebutkan Umar pada awal-awal keputusannya. Namun ia sendiri tidak yakin kebenaran tafsiran itu, sehingga ia terus berharap untuk dapat menemukan kepastiannya, maka di akhir hayatnya Umar mengatakan bahwa dalam masalah ini, ia tidak berkomentar apapun. Bahkan sang khalifah berkata, “Dalam masalah ini, sebaiknya kalian memetuskannya dengan pendapat kalian sendiri. Karena setiap keputusan seseorang, baik dalam masalah agama maupun masalah dunia akan dimintai pertanggungjawaban.”
Keputusan Umar dalam masalah kalalah berhubungan erat dengan keputusannya dalam masalah al-jad wa al-ikhwah (warisan kakek dan saudara). Tidaklah kalalah adalah bagaimana ikhwah mendapatkan warisan? Dan Jad ketika mewaris bersama-sama ikhwah, sama halnya dengan mewarisnya ikhwah.
Adanya korelasi antara keduanya ini, juga dapat kita ketahui dari perkataan Ibnul Qayyim, “Keputusan Umar dalam masalah ini terombang-ambing dalam menentukan bagian jad.  Sebenarnya dia telah menulis sebuah catatan tentang bagaimana jad harus mewaris. Namun karena ia masih ragu, maka catatan itu kemudian dihapusnya. Bahkan ia juga berkata, “Saya tidak memutuskan bagian jad (kakek) apapun.”[15]
Diriwayatkan Ibnu Sa’ad, “Ketiak Umar ditikam, ia berkata, ‘Wahai hamba Allah, berikan padaku catatan-catatan tentang jad yang aku tulis kemarin. Jika Allah menginginkan untuk menyempurnakan masalah ini, maka masalah ini pasti akan sempurna.” Kemudian sang khalifah memegang catatan-catatan itu, lalu dengan tangannya sendiri ia menghapusnya. Ia bahkan menolak, ketika ada seseorang yang menawarkan diri untuk menghapuskan catatan itu.”[16] Dan ini juga yang Umar lakukan dalam masalah kalalah.”
Menanggapi perkataan Umar ini menunjukkan bahwa Umar dalam masalah ini tidak berpendapat. Dan sang khalifah masih belum jelas dalam memahami makna dan maksud hadits ini.”
3. Kakek mewaris bersama saudara
Karena tidak ada dalil yang tegas baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, masalah kakek mewaris bersama saudara, sampai sekarang masih merupakan masalah yang diperdebatkan fuqaha’. Hampir tidak kita temukan adanya ijtihad dalam tasyri’ Islami, yang jumlah perbedaan pendapat dan interpretasinya melebihi masalah ini. Asy-Syaukani berkata, “Benar-benar tejadi perdebatan panjang antara para sahabat dengan masalah ini.” Dalam Shahih Bukharipun terdapat riwayat bahwa  telah terjadi perdebatan panjang antara Ali, Umar, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Mas’ud dalam masalah kakek kitika mewaris bersama dengan saudara.”
Dr. Ahmad Ibrahim dalam salah satu makalahnya,[17] telah membahas semua pendapat dan dalil-dalil dalam masalah ini. pada pembukaan makalah itu dikatakan, “Adanya perbedaan pendapat (khilafiyah) tidak seramai yang terjadi pada masalah warisan jad ma’a ikhwah (kakek bersema para sudara), dari mulai zaman sahabat sampai sekarang. Sampai-sampai dari seorang sahabat saja, ada yang mengeluarkan beberapa pendapat yang berbeda-beda, dan ada dari sekian ulama-ulama besar yang ada, meninggal dunia sebelum mengeluarkan statemen tertentu dalam masalah ini.”
Umar pernah menyatakan “Dalam masalah jad saya memutuskan tujuh puluh putusan. Dan saya tidak tahu apakah dari sekian putusan itu ada yang benar atau tidak.” Diriwayatkan darinya juga, “Kenapa dulu Nabi tidak memutuskan masalah jad dengan keputusan yang pasti?”[18]
Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, ia pernah bertanya kepada Abu Ubaidah, “Apa yang kamu putuskan tentang jad? Setelah kamu hafal seratus keputusan Umar dalam masalah ini, yang satu dalam masalah lainnya saling bertentangan.” (Seratus adalah untuk muballaghah).
Keputusan akhir Umar dalam masalah jad ini, sama dengan keputusannya dala masalah kalalah. Dalam artian ijtihad dan pertimbangannya terhadap nash-nash yang ada, tidak sampai menimbulkan konklusi dan keputusan final. Ia menyerahkan keputusan masalah ini kepada orang-orang muslimin setelahnya.
Akan tetapi, suatu hal yang tidak mungkin disanggah lagi, bahwa sang khalifah (Umar) telah condong ke pendapat yang berubah-rubah, setelah itu beliaupun tawaquf (berhenti dan tidak mengambil keputusan tertentu).
Dari sini, kita dapat saja memegang ‘salah satu’ pendapat yang di nisbatkan pada Umar itu. Kita katakan ‘salah satu’ karena sebagaimana kita ketahui, bahwa ia telah berpendapat (lebit dari tujuh puluh bahkan seratus pendapat) dalam masalah ini, yang antara satu dan lainnya saling berbeda.
Driwayatkan oleh Imam As-Syafi’i; bahwa Umar memberikan bagian warisan kepada ikhwah meskipun bersama-sama dengan jad. Padahal Abu Bakar dan sebagian sahabat, tidak memberikan warisan kepada ikhwah  ketika bersama-sama dengan jad karena jad sama dengan bapak sehingga ia menghijab ikhwah.[19] Demikian juga pendapat Al-Jasshash; “bahwa orang-orang yang berpendapat bahwa jad adalah sama dengan bapak, - sehingga menutupi dan menggugurkan bagian ikhwah – berpedoman pada dalil ayat, “Dan aku mengikuti agama bapak bapakku, yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’kub.” (Yusuf:38), yang di ayat itu jad dikatakan aba’ (bapak / orangtua).[20]
Diriwayatkan oleh Imam Malik, bahwa Umar dan beberapa sahabat lainnya memberikan bagian sepertiga kepada jad, ketika bersama ikhwah.[21]
Dari beberapa pendapat ini, dapat ditarik satu kongklusi bahwa dalam maslah jad ma’a al-ikhwah ini ada beberapa pendapat, yang diantaranya:
Pertama; tawaqquf (tidak ada keputusan tertentu) terhadap masalah ni. Hal ini adalah keputusan Umar yang terakhir.
Kedua; Ikhwah lebih berhak untuk mewaris, sehingga mereka menggugurkan bagian jad.
Ketiga; Jad dapat mewaris, akan tetapi ia tidak mendapatkan bagian tertentu. Karena bagiannya akan di tentukan hakim. Berapa selayaknya ia mendapatkan warisan adalah menjadi keputusan hakim.
Keempat; Jad akan isytirak (bersekutu) dengan saudara laki-laki dan saudara permpuan, baik yang sekandung maupun yang sebapak.
Kelima; Jad dapat menggugurkan bagian ikhwah (beberapa saudara laki-laki) dan akhwat (beberapa saudara perempuan). Sehinnga jika mereka mewaris bersama-sama dengan jad, maka mereka semuanya tidak akan mendapat bagian warisan sama sekali.[22]
Dari semua itu, dapat disimpulkan; bahwa Umar dalam masalah ini telah mengambil satu keputusan yang sama dengan keputusannya dalam masalah kalalah, yaitu tawaqquf. Dan sebagaimana disebut dalam satu riwayat, bahwa sebelum kematiannya ia berhara kepada Nabi untuk memberikan satu keputusan sehingga tidak menimbulkan banyak pendapat dan perdebatan.
Semua pendapat di atas berdasar pada nash-nash yang berbeda-beda, di dasarkan pada ta’wil yang satu sama lain tidak sama, dan diqiyaskan (analogikan) dengan rasio yang bermacam-macam, yang tujuannya adalah satu, yaitu untuk mendapatkan keputusan yang jelas dalam masalah ini.
Di samping beberapa riwayat di atas, ada beberapa khabar gharib (riwayat yang kurang di kenal) yang di sandarkan dari Rasulullah, dan hal inilah yang mungkin menyebabkan Umar tawaqquf dalam memutuskan masalah ini. Dari Ibnu Hazm, bahwa Umar bertanya kepada orang banyak, “Siapakah dari kalian yang pernah mendengar Rasulullah memberikan bagian tertentu dalam masalah jad?” Salah satu dari mereka (orang yang berkumpul di situ) menjawab, “Rasulullah memberikannya bagian seperenam (sudus).” Yang lain menjawab, “Rasulullah memberikannya setengah” Dan  yang lain menjawab, “Rasulullah memberikan semua harta mayat kepada jad” Dan tak satupun dari mereka yang tahu, pada saat itu (pada saat Rasulullah memberikan bagian itu) jad mewaris bersama siapa.”[23]
4. Kedua Orangtua Janda atau Duda
Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan warisan kedua orangtua dalam Surat An-Nisa’ ayat 11:
ولأ بويه لكل و احد منهما السدس مما ترك إن كان له, ولد فإن لم يكن له, ولد وورثه, أبواه فلأمه الثلث. [النسأ:11]
“dan untuk dua orangtua ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mepunyai anak. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibi bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.”(An-Nisaa’ : 11)
Dari ayat ini, seorang ibu mendapat bagian sepertiga dari harta warisan, dan bapak mendapatkan ashabah (sisa)nya, jika orang yang mati tidak meninggalkan anak, dan yang mewaris hanya kedua orangtuanya. Akan tetapi bagaimana jika kedua orangtua itu mewaris bersama-sama dengan salah satu suami atau istri mayat (janda atau duda)?
Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit menetapkan, suami atau istri mendapat bagian pasti, ibu mendapat bagian sepertiga dari sisa, sedangkan sisanya untuk bapak.
Adapun Ibnu Abbas menetapkan, Suami dan Istri mendapatkan bagiannya, bagi ibu sepertiga dari warisan, tidak sepertiga dari sisa, selebihnya bagian bapak. Beliau mengatakan, “Saya tidak menemukan dalam kitab Allah (Al-Qur’an) bagian sepertiga dari sisa.” Pendapat ini diikuti oleh Tabi’in Ibnu Sirin.[24]
Kedua pendapat tersebut didasarkan pada firman Allah di atas. Pendapat pertama didasarkan pada pedoman yang mengatakan; bahwa bapak-ibu bersama-sama mendapatkan sepertiga (mesing-masing seperenam). Baik bersama janda/duda ataupun tidak. Jika bersama-sama mereka ada janda/duda, maka janda/duda berhak mengambil bagiannya dahulu. Kemudian ibu-bapak mendapatkan sepertiga dari harta yang menjadi bagian ibu bapak, sebagaimana yang termaktub dalam nash.
Adapun pendapat kedua, yaitu pendapat Ibnu Abbas, didasarkan pada ketentuan yang mengatakan; bahwa ibu mendapatkan bagian sepertiga dari harta warisan sebagaimana ditetapkan oleh nash. Maka ibu berhak mendapatkan sepertiga dari harta warisan, meskipun ibu bapak bersama-sama dengan janda atau duda. Sedangkan sepertiga sisanya sebagaimana di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan untuk siapa bagian itu.
Masing-masing dari dua pendapat di atas, mempunyai alasan yang masuk akal dan sesuai dengan ta’wil nash. Menurut pendapat pertama, yaitu yang dikatakan oleh jumhur sahabat, diikuti oleh jumhur tabiin dan kaum muslimin menganggap sepertiga dari sisa tidaklah bagian yang di maksud dalam Al-Qur’an. Dari sini mereka menganggap bahwa pendapat mereka itu berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah, dalam masalah yang tidak mempunyai nash khusus.[25]
Al-Qurthubi dalam menafsirkan ayat-ayat warisan, mengemukakan hadits riwayat Abu Dawud dan Ad-Daraquthni, bahwa Rasulullah pernah bersabda,
“Ilmu itu ada tiga, sedangkan selebihnya adalah ‘kemuliaan’; ayat mahkamah, sunnah yang jelas dan warisan yang adil.” Ayat mahkamah adalah ayat yang sudah jelas dalam Al-Qur’an yang tidak di nasakh. Sunnah yang jelas adalah sunnah yang benar-benar berasal dari Rasulullah, dan warisan yang adil mengandung dua kemungkinan; pertama, adil dalam membaginya, yaitu sesuai dengan ketetapan Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, agar putusan itu didasarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah atau dari makna keduanya. Dan dianggap bedasarkan Al-Qur’an dan Sunnah jika maknanya atau maksudnya sama dengan nash.
Diriwayatkan Ikrimah, “Ibnu Abbas mengutus seseorang kepada Zaid bin Tsabit untuk menanyakan pembagian harta seorang perempuan yang mati meninggalkan suami dan kedua orangtuanya. “Zaid menjawab, “Suami mendapatkan setengah, sedangkan ibu mendapatkan sepertiga dari sisa.” Ikrimah lalu bertanya, “Hal ini berdasarkan Al-Qur’an atau berasal dari ijtihadmu?” “Ini berasal dari pendapatku karena aku tidak mengunggulkan (menganggap lebih tinggi) ibu daripada bapak.” Jawab Ibnu Abbas.
Cara seperti ini adalah untuk membagi warisan secara adil jika tidak ditemukan nashnya. Ini disamakan dengan bagian yang telah ada nashnya, yaitu sesuai dengan firman Allah,“Dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.” (An-Nisaa’:11) Dan ketika ditemukan bagian ibu adalah sepertiga, sedangkan sisanya adalah dua pertiga, adalah bagian bapak, maka setengah lebihan/sisa harta setelah bagian bapak ini diqiyaskan dengan jumlah semua harta warisan, jika bersama ibu bapak tidak ada anak atau orang lain yang berhak mendapatkan warisan. Jika demikian yang terjadi, maka harta itu dibagi menjadi tiga bagian; satu bagian untuk ibu, dan dua bagian, atau selebihnya untuk bapak. Ini lebih adil, daripada ibu diberi setengah dari sisa, bukan dari harta atau warisan pokok. Sedangkan bapak mendapatkan seperenam, dan yang selebihnya ditambahkan kepada ibu. Meskipun ibu asal bagiannya lebih sedikit daripada bapak, namun dalam mendapatkan warisan, nyatanya ia lebih banyak daripada bapak, yang dalam hal ini asalnya harus mendapatkan bagian terlebih dahulu dan harus lebih banyak dibanding ibu.”
Ini keadilan yang dijadikan rujukan oleh Ibnu Abbas, yaitu dengan memberikan bagian sepertiga kepada ibu dan memberikan hak-hak bapak yaitu untuk mendapatkan seperenam.[26]
Dalam menanggapi qiyas yang dikatakan golongan pertama, Al-Qurthubi berkata, “Di antara hujjah atau dalil yang bisa mereka utarakan kepada Ibnu Abbas bahwa, jika kedua orangtua isytirak dalam mawaris, dan tidak ada ahli waris lain, maka ibu mendapatkan sepertiga, sedangkan bapak mendapatkan dua pertiga. Begitu juga, jika mereka isytirak pada bagian setengah, yaitu lebihan dari bagian suami, maka ibu dan bapak tetap mendapatkan bagiannya sepertiga dan dua pertiga. Jadi pendapat ini sesuai dengan rasio dan qiyas.”[27]
Pendapat pertama yang didasarkan sebagai pendapat Umar, didasarkan pada dalil aqli (rasio) dan qiyas terhadap ayat. Sedangkan Ibnu Abbas berpedoman pada arti harfiyah lafazh ‘tsuluts’ dalam ayat itu, yaitu sepertiga harta warisan, dengan tidak membeda-bedakan, apakah dalam mewaris itu, kedua orangtua bersama suami atau istri mayat (menantu) atau tidak.”
Berdasarkan zhahir (luar) ayat tentang warisan beberapa anak laki-laki bersama perempuan, beberapa saudara sekandung atau sebapak mewaris bersama beberapa saudara perempuan, menguatkan hujjah golongan pertama (pendapat Umar). Baik dalil qiyas maupun rasio yang mengatakan; bagian kedua orang tua (ibu-bapak) adalah sepertiga-sepertiga, sebagaimana bagian anak laki-laki jika bersama anak-anak perempuan dalam ayat, “Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.” (An-Nisaa’:11), dan diantara saudara laki-laki dengan saudara perempuan di dalam ayat, “Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan permpuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan,”(An-Nisaa’:176)
Dan jika salah satu suami atau istri bersama-sama dengan anak laki-laki atau anak perempuan, setelah salah satu dari mereka berdua mengambil bagiannya, maka sisanya di bagi antara anak laki-laki dan perempuan, sebagaimana mereka ini berdua ini mendapat mendapat bagian jika tidak ada bapak dan ibu. Yaitu jika seorang laki-laki mendapatkan dua bagian perempuan.
Begitu juga jika ada saudara laki-laki dan perempuan  berkumpul, maka bagian laki-laki dua kali dibandiang bagian perempuan, baik mereka hanya berduaan ataupun harus isytirak dengan salah satu suami atau istri mayat.
Dengan begitu, adanya hak suami atau istri untuk mengambil bagiannya, otomatis mengharuskan sisa harta itu deberikan kepada ibu-bapak, yang mereka ini berhak untuk mendapatkan sepertiga-sepertiga sebelum adanya suami atau istri mayat (mertua). Mereka berdua itu bagaikan orang yang bersekutu untuk membagi harta, yang jika salah satunya tidak berhak mendapatkannya, maka begitu pula dengan yang lainnya.
Tidak diragukan lagi, bahwa mengambil dalil dari bagaimana warisan anak-anak laki dan beberapa saudara, menambah kuatnya alasan pendapat Umar. Terlebih lagi ketika ada perubahan, bagian ibu mendapat lebih banyak dibanding bagian bapak jika ada suami, yang dalam hal ini ibu mendapatkan bagian dua kali lipat bagian bapak.
Ini jelas bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an mengenai masalah anak-anak dan saudara-saudara di atas (bagian satu orang laki-laki berbanding dua dari bagian  perempuan), dan bertentangan pula dengan kaidah dalam masalah suami istri, yang mengatakan bahwa seorang perempuan (istri) tidak akan lebih banyan dari bagian laki-laki (suami).
5. Saudara Perempuan Bersama Anak Perempuan
Yang termasuk dalam permasalahan warisan yang diperdebatkan oleh kalangan sahabat, di mana Umar mempunyai pendapat tersendiri, yang masing-masing pendapat itu berdasarkan ta’wil ayat-ayat Al-Qur’an tentang warisan, adalah warisan saudara perempuan jika bersama-sama dengan anak perempuan.
Dalam salah satu riwayat; ada seorang laki-laki mati meninggalkan satu anak perempuan, satu saudara perempuan sekandung dan satu orang yang mempunyai bagian ashabah. Dalam pembagian warisan di antara mereka ini, Ali, Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, dan Mu’ad bin Jabal berkata, “Anak perempuan mendapatkan setengah dan selebihnya adalah bagian saudara perempuan. Setelah itu, berikan ashabah kepadanya (saudara) bersama-sama dengan anak perempuan.”
Setelah mendengar keputusan itu, Ibnu Abbas berkata, “Anak perempuan mendapatkan setengah. Dan sisanya adalah bagian ahli waris yang memiliki bagian ashabah, meskipun nasabnya jauh. Sedangkan saudara perempuan tidak mendapatkan bagian sama sekali, karena ia bersama-sama dengan anak perempuan”
Ketika pendapatnya ini ditentang, Ibnu Abbas berkata, “Apakah kalian lebih tahu dari Allah? Padahal Allah telah berfirman, ‘jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.’ (An-Nisa’ : 176) dan kalian memberikan bagian setengah kepada saudara perempuan meskipun ada anak.”[28]
Pendapat Ibnu Abbas ini didasarkan pada pemahamannya terhadap zhahir nash, yang di situ ditetapkan bahwa sudara perempuan (tidak hanya saudara seibu saja) akan mendapat setengah dari harta warisan mayat, “jika tidak ada anak”.
Bagaimana saudara perempuan ini mengambil setengah, padahal si mayat mempunyai anak? Menurutnya lafazh “walad” itu meliputi anak laki-laki ataupun anak perempuan. Oleh karena itu, maka Ibnu Abbas menggugurkan bagian saudara perempuan jika ada anak perempuan. Pendapat Ibnu Abbas tersebut sekarang yang diikuti oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Al-Jasshash mengcounter dalil-dalil nash yang menetapkan kebenarkan  pendapat golongan pertama, yang mengatakan saudara perempuan mendapatkan bagian ashabah, jika bersama anak perempuan. Pendapat ini juga dapat meolak dalil Ibnu Abbas dari zhahir nash di atas, dan sekaligus sebagai penjelas bahwa dalil itu tidak dapat menguatkan pendapat Ibnu Abbas, yang mengatakan bahwa bagian saudara perempuan terhalang atau gugur, karena Allah berfirman,
للرجال نصيب مما ترك الولدان والأ قربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والأ قربون مما قل منه أو كثر نصيبا مفروضا .[ النساء : 7 ]
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”
(An-Nisa’ : 7)
Zhahir ayat ini mengatakan; dapat mewarisnya saudara perempuan, meskipun ia bersama dengan anak perempuan, adalah karena si mayat masih termasuk saudaranya.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi Muhammad pernah memutuskan masalah warisan saudara perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan perempuan mayat), dan saudara perempuan kandung. Dalam putusan itu, anak perempuan mendapatkan setengah, keponakan perempuan mendapatkan seperenam agar genap dua pertiga, sedangkan sisanya diberikan kepada saudara perempuan. Karena dalam kasus ini, ia sebagai ahli waris yang mendapatkan bagian ashabah karena bersama anak perempuan.[29]
Adapun mengambil dalil ayat “Tidak mempunyai anak”, maka dalam ayat itu telah di nash, bagian saudara permpuan jika tidak ada anak, dan bahwa warisannya tidak digugurkan, meskipun ada anak.
Ketika dalam ayat itu disebutkan, “Mendapatkan seperdua jika tidak ada anak,” tidak dapat dijadikan dalil pengguguran bagian saudara perempuan jika ada anak. Karena maksud ayat itu yang paling sesuai adalah, “Jika seseorang mati tidak meninggalkan anak laki-laki,” dengan alasan firman Allah, “Dan saudaranya yang laki-laki memusakai (seluruh harta saudara perempuan).”[30]
Dan tidak diragukan lagi, bahwa apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud dari Nabi sebagai hujjah pendapat pertama. Atsar dari Ibnu Mas’ud ini telah diriwayatkan oleh Al-Qurthubi dari Al-Bukhari, dari Adam dari Syu’bah, dari Abu Qais, ia berkata, “Saya telah mendengar Hudzail bin Syuraih berkata, “Abu Musa pernah ditanya tentang warisan anak perempuan, anak perempuan anak laki-laki (cucu perempuan), dan saudara perempuan. Maka ia menjawab, “Anak perempuan mendapatkan setengah, dan setengah sisanya untuk saudara perempuan. Datanglah kepada Ibnu Mas’ud, ia pasti akan mengikutiku.”
Setelah Ibnu Mas’ud didatangi dan dikabari tentang ucapan Abu Mussa itu, ia berkata, “Kalau begitu, selama ini saya salah. Dan selama ini pula berarti saya termasuk orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk. Selama ini, saya memutuskan perkara seperti itu sebagaimana Nabi telah memutuskannya, yaitu memberikan kepada anak perempuan setengah, cucu perempuan (dari anak laki-laki mayat) seperenam untuk menggenapi dua pertiga, dan selebihnya saya bagikan kepada saudara perempuan.”[31]
Sepertinya Ibnu Mas’ud dan sahabat-sahabat yang sependapat dengannya –termasuk Umar , ketika mereka melihat Nabi memberikan sisa bagian anak permpuan dan cucu perempuan kepada saudara perempuan, mereka lantas memberikan bagian kepada saudara perempuan setelah bagian anak perempuan terpenuhi, ketika dalam masalah ini, cucu tidak mendapatkan seperenam. Mereka juga berpendapat; bahwa memberikan bagian setengah kepada saudara perempuan, dengan jalan ashabah bersama anak perempuan tidaklah bertentangan dengan ayat berikut, “ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,”An-Nisa’ :176) sebagaimana penjelasan Al-Jasshash di atas.
6.Aul dalam Faraidh
Aul adalah; habisnya harta warisan sebelum semua ahli waris yang berhak mendapatkan warisan (ashhabul furudl) mendapatkan bagiannya. Aul di dalam faraidh dibicarakan ketika orang-orang yang berhak untuk mewaris kelebihan jumlahnya.
Contoh dari aul adalah; jika masing-masing ahli waris mendapatkan bagian setengah, setengah dan sepertiga. Jika demikian adanya, bagaimana pembagian warisnya? Siapa yang berhak untuk tetap diberi, dan siapa pula yang harus digugurkan?
Umar adalah orang yang pertama kali membagi warisan dengan aul. Ia berkata, “Demi Allah, saya tidak tahu, siapa dari kalian yang tetap mendapatkan bagian sesuai dengan ketentuan Allah, dan siapa dari kalian yang harus dikurangi?” Umar  kemudian membagi warisan itu dengan cara memberikan bagiannya masing-masing. Lalu mengurangi masing-masing mereka dengan cara memprosentasinya. Ahli waris yang berhak mendapatkan setengah mandapatkan kurang dari setengah harta warisan, dan selanjutnya seluruh ahli waris bagiannya dikurangi dengan prosentase yang sama. Atas keputusan Umar tersebut, jumhur sahabat menyetujuinya, kecuali Ibnu Abbas.[32]
Ibnu Abbas tidak berkomentar atas putusan Umar, kecuali setelah Umar meninggal, hal ini terbukti dengan perkataanya, “Jika Umar mendahulukan orang yang telah didahulukan Allah, maka ia tidak akan membagi aul pada orang yang mempunyai bagian warisan.” Kemudian ditanyakan pada Ibnu Abbas, “Lantas, siapa yang didahulukan Allah? Dan siapa yang diakhirkan-Nya?” Putra paman Nabi itu menjawab, “Setiap bagian yang harus selalu mendapat bagiannya adalah yang didahulukan Allah. Sedangkan bagian yang dapat gugur dari bagiannya, yang tidak mendapatkan bagian kecuali hanya sisa saja, maka itulah yang diakhirkan oleh Allah. Adapun yang didahulukan adalah suami, istri, ibu, anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan, yang mereka ini akan gugur bagian fardhunya (bagian pasti) menjadi bagian ashabah, jika bersama dengan anak-anak laki dan saudara-saudara laki).
Sistem pembagian menurut Ibnu Abbas ini dikenal dengan sistem taqdim dan ta’khir; Pertama-tama kita memberikan bagian warisan kepada orang yang berhak untuk mendapatkan warisan, jika harta warisan sudah habis terbagi, maka orang yang mempunyai bagian ashabah akan dirugikan (dalam hal ini tidak akan kebagian harta warisan sama sekali). Dengan artian, jika kedua kelompok ini berkumpul, maka yang didahulukan adalah yang didahulukan Allah. Dan jika masih ada sisa, baru siasa itu dibagikan kepada kelompok yang diakhirkan oleh Allah. Akan tetapi jika tidak ada sisa, maka kelompok yang di akhirkan itu tidak mendapatkan  bagian apa-apa.
Dengan menggunakan alasan yang sangat rasional, dan mengqiaskannya dengan dalil-dalil nash yang valid, dalam upayanya untuk menguatkan pendapat Umar dalam masalah ini, Al-Jasshash mencounter pendapat Ibnu Abbas ini dan berkata, “Allah telah memberikan bagian warisan kepada suami setengah, saudara perempuan kandung setengah, dan kepada beberapa saudara laki-laki sepertiga, dengan tidak membeda-bedakan apakah mewarisnya mereka bersama-sama (isytirak) atau sendirian), maka jika mereka memang sendirian, maka masing-masing ahli waris tersebut harus diberi bagian sesuai dengan ayat warisan (di atas). Dan jika ternyata harta warisan tidak cukup untuk dibagi antara mereka sesuai dengan bagiannya masing-masing, maka mereka akan mendapatkan bagian seadanya (dibagi rata). Jika mereka berkumpul, dan ada salah satu dari mereka yang seharusnya kebagian ternyata tidak kebagian, maka harus digunakan hukum ayat warisan, yaitu bagian satu orang laki-laki sebanding dengan bagian dua orang perempuan.
Dengan demikian, yaitu dengan memberikan sebagian warisan kepada salah satu ahli waris dan menggugurkan sebagian ahli waris yang lain, atau dengan mengurangi bagian salah satu dari mereka dan tidak mengurangi kepada yang lain, maka hal ini merupakan satu perbuatan aniaya (tidak adil).
Al-Jasshash menentang dasar-dasar tasyri’ yang digunakan hujjah Ibnu Abbas dalam membagi warisan di atas, karena jika ada lebihan satu ahli waris (satu ahli waris yang tidak kebagian warisan), yang membutuhkan aul, mereka semuanya masih mendapatkan bagian fardhu, tidak dengan bagian ashabah. Sehingga jika demikian adanya, maka tidak boleh dikatakan adanya taqdim (mendahulukan salah satunya) atau ta’khir (mengakhirkan salah satunya).
Dari itu, jika ada saudara perempuankandung bersama-sama dengan suami dan beberapa saudara perempuan seibu, maka tidak wajib–karena Allah mengugurkan bagiannya dan memberikannya bagian yang tidak semestinya- menggugurkan bagian saudara sekandung sesuai dengan penjelasan nash.
Pendapat ini adalah yang paling jauh dari kebenaran maksud ayat, yang mengatur bagian-bagian ahli waris. Karena ayat itu tetap tidak memberikan bagian setengah, setengah dan sepertiga dengan jalan mudharabah (saling menguntungkan dengan asas pemerataan).
Pendapat Ibnu Abbas itu perlu dikaji lagi, karena jika misalnya harta warisan itu berjumlah satu milyard, padahal si mayat mempunyai hutang kepada orang pertama satu milyard, orang kedua satu milyard dan orang ketiga setengah milyard, maka seluruh harta warisan di atas dibagi rata tiga orang di atas sesuai dengan prosentase hutang mayat. Hal ini sama dengan hukum melaksanakan  wasiat, jika wasiatnya bermacam-macam, padahal harta untuk melaksanakan wasiat tersebut terbatas, sesuai dengan firman Allah, “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah di bayar hutangnya.” (An-Nisaa’ : 12)
Pendapat Ibnu Abbas di atas dilalahnya belum qath’i (paten), karena masih ada kemungkinan mendiskusikan dan mencounternya. Oleh karena itu, seorang ahli waris yang telah disebutkan dalam nash-nash yang qath’i untuk mendapatkan bagian warisan  tertentu tidak boleh digugurkan haknya.
Adapun keputusan Umar, maka ia telah mengerahkan seluruh kemampuannya –diikuti oleh para sahabat- untuk memberikn kepada semua orang haknya, sebagaimana yang telah ditetapkan haknya oleh Allah, dan unutuk tujuan keadilan.
Dan ketika semua ahli waris yang ada mempunyai bagian fardhu sama, yang salah satu dari mereka tidak ada yang dapat digugurkan, maka Umar merasa berkewajiban untuk menggunakan rasionya, agar mereka dapat kebagian semuanya, meskipun bagiannya kurang dari yang seharusnya, sesuai dengan ketetapan Allah. Hal ini Umar lakukan, karena ia merasa tidak ada solusi lain yang dapat mengantarkannya untuk memutuskan maslah ini secara adil, dan dalam waktu yang bersamaan ia harus menetapkan nash-nash yang ada.
Masalah Al-Akhdariyah
Al-Akhdariyah dari segi bahasa mempunyai arti “masalah yang rumit”. Dari sekian permasalahan tentang warisan, seperti aul dan warisan kakek bersama saudara-saudara, ada satu masalah yang terkenal dengan istilah al-akdariyah, Yaitu jika ahli waris terdiri dari suami, ibu, saudara permpuan kanung, dan kakek, dalam kasus seperti ini, Umar dan Ibnu Mas’ud memberikan bagian setengah kepada suami, sepernam kepada ibu (supaya tidak melebihi bagian kakek), saudara perempuan setengah, dan kepada kakek seperenam dengan jalan aul.
Abu Bakar As-Shiddiq memberikan bagian setengah kepada suami, sepertiga kepada ibu, saudara kandung tidak mendapatkan bagian, sedangkan kakek menerima bagian sisa (ashabah). 
Namun Ali dan  Zaid mengatakan, “suami mendapat setengah, ibu sepertiga, saudara permpuan setengah, dan kakek mendapatkan sepernam bagian fardhu. Kemudian Zaid mengumpulkan bagian saudara perempuan dan kakek, dan membaginya (muqasamah) dengan pembagian laki-laki mendapatkan dua bagian perempuan. Logika yang mendasari pembagian ini adalah bahwa saudara perempuan kandung itu tidak dapat mempunyai hak mewarisi bila bersama dengan kakek selain dengan muqasamah.
Kesimpulan
Masalah waris telah ditentukan secara rinci/detail oleh nash-nash Al-Qur’an, namun kasus akan tetap lebih berfariasi dari keberadaan ayat. Oleh karena itu Implementasi/tathbiq dari para sahabat patut untuk dikaji. Dengan alasan, untuk mempraktekkan Al-Qur’an dan hadits-hadits dalam masalah ini tidaklah gampang.
Dari kalangan sahabat sendiri ternyata banyak menemui kesulitan dalam memberikan putusan dalam membagi harta warisan. Sehingga melahirkan pendapat yang berbeda karena perbedaan pemahaman dan interpretasi terhadap nash.
Ketika menemukan perbedaan itu, mereka kemudian memasukkan faktor-faktor lain untuk memperkuat pendapatnya, seperti faktor rasa keadilan, ada juga yang menempuh manhaj analogis (qiyash) dengan nash-nash lain, mengimplementasikan kaidah-kaidah umum, menyingkap illat (alasan) dan hikmah nash dan sebagainya.
Umar adalah salah seorang sahabat yang memiliki kemampuannya untuk mensinergikan seluruh pengetahuannya tentang nash itu, demi mewujudkan kemaslahatan umum dan keadilan yang sesuai dengan kaidah syar’iyah umum.
Bahwa dalam memahami suatu nash hukum kadang lebih tepat dan harus dupahami secara tekstual tetapi jika hal tersebut justru dirasa tidak sesuai dengan rasa keadilan maka dalil nash tersebut harus dipahami secara kontekstual sosiologis. Kebijakan tersebut tidak dapat serta merta dikatakan sebagai menyimpangi ayat. Bagaimana jika kita meyakini nash secara eksplisit, padahal yang diharapkan untuk memahaminya adalah dengan cara implisit. Sebab itulah, menurut pendapat penulis, bahwa pada dasarnya hukum kewarisan adalah masalah qodla’i  yang  harus mengedepankan logika keadilan.
Dalam menyelesaikan sengketa wari, Umar telah mengerahkan seluruh kemampuannya diikuti oleh para sahabat untuk memberikan kepada semua orang haknya, sebagaimana yang telah ditetapkan haknya oleh Allah, dan untuk tujuan keadilan. Dan ketika semua ahli waris yang ada mempunyai bagian fardhu sama, yang salah satu dari mereka tidak ada yang dapat digugurkan, maka Umar merasa berkewajiban untuk menggunakan rasionya, agar mereka dapat kebagian semuanya, meskipun bagiannya kurang dari yang seharusnya, sesuai dengan ketetapan Allah. Hal ini Umar lakukan, karena ia merasa tidak ada solusi lain yang dapat mengantarkannya untuk memutuskan maslah ini secara adil, dan dalam waktu yang bersamaan ia harus menetapkan nash-nash yang ada.
Umar tawqquf (berhenti) untuk mengeluarkan satu keputusan, jika ijtihad dan usahanya menemui jalan buntu, meskipun ia tetap berusaha untuk mencari kejelasan hukum masalah-masalah tersebut. Hal ini yang seperti yang ia lakukan dalam memutuskan masalah kalalah, jad ma’al al-ikhwah (kakek bersama dengan beberapa saudara laki-laki), karena sang khalifah mempunyai sifat tanggung jawab yang tinggi. Adapun ketika beliau harus mengeluarkan satu putusan yang jelas, maka saat itu ia telah berhasil menemukan satu penilaian positif, baik dari segi rasio, tujuan tasyri’ dan demi mewujudkan maslahat umum, dari pada harus mengambil dhahir nash (tekstual). Hal ini dapat kita lihat dengan jelas ketika Umar memutuskan masalah isytirak antara kedua orangtua dengan salah satu suami atau istri (menantu), masalah aul dalam faraidh.
Wallahu’alam bishshawaab.


[1] Bakar Ahmad bin Ali Ar-Razi Al-Jasshash Al-Hanafi, Ahkam Al-Qur’an, Juz II, hal. 111; 
[2] Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Rosyad Al-Qurthubi Al- Andalusi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid,, Juz II, hlm 289;
[3] Ahkam Al-Qur’an, Juz II hlm 111;
[4] Opcit.
[5] Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz II hal 157.
[6] Ibid, hlm. 112
[7] Muhammad bin Sa’ad, Ath-Thabaqat Al-Kubra, Juz III, hlm 243; Anas bin Malik, Al-Muwaththa’, Juz II, hlm 8;
[8] Ahkam Al-Qur’an, Juz II, hlm 105-106;
[9] Ibnu Al-Qayyim Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub, : A’lam Al-Muwaqi’in, Juz II,h.326;
[10] Opcit, Juz I, hlm 246;
[11] Opcit, hlm, 105
[12] Opcit, hlm 106;
[13] Ahkamu Al-Qur’an, hlm 107-109
[14] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an , Juz V, hlm 78;
[15] A’lam Al-Muwaqi’in, Juz II hlm 78-79
[16] At-Thabaqat Al-Kabir, Juz III hlm. 247
[17] Diterbitkan dalam Majalah Qonun Wa Al-Iqtishad, Vol VIII, Edisi Muharram 1357 H.
[18] Majalah Al-Qanun Wa al-Iqtishad, hlm 316 Tahun 1357;
[19] Muhammad bin Idris As-Syafi’I, Ar-Risalah, Maktabah Al-Bab Al-Halabi, hlm. 591;
[20] Ahkamu Al-Qur’an, Juz I hlm. 94;
[21] Anas bin Malik, Al-Muwaththa’, Juz II, hlm 6;
[22] Makalah Dr. Ahmad Ibrahim di majalah Al- Qanun Wa Al-Iqthishad.hlm 216
[23] Dr. Ibrahim, Majalah Al-Qanun Wa Al-Iqtishad,, Vol VIII. Hlm 16. 
[24] Tafsir Al-Qurthubi, Juz V, hlm 56-57;
[25] Opcit
[26] Al-Qurthubi Juz V, hlm 56-58
[27] Ibid.
[28] Al- Jasshash, Ahkam al-Qur-an, Al-Bahiyah, Mesir, Juz II. Hlm .64;
[29] Ibid.
[30] Ibid. hlm. 113;
[31] Tafsir Al-Qurthubi, Juz V, hlm 64.
[32] Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid, Juz II, hlm 292;

1 komentar: