Abstrak
Kebanyakan dalil nash
tentang kewarisan bersifat qoth’i sehingga secara methodologis “difahami”
bersifat absolut, namun kasus akan tetap lebih berfariasi dan beragam dari
keberadaan dalil nash.
Kesenjangan terbatasnya nash
dan sifatnya yang absolut disatu sisi
dengan beragamnya kasus waris dipihak lain, melahirkan berbagai
perbedaan pendapat dalam penyelesaian sengketa kewarisan.
Umar adalah salah seorang sahabat yang memiliki kemampuan mensinergikan nash
dengan maqoshid-asy-syari’ah, demi mewujudkan kemaslahatan dan keadilan
sesuai dengan kaidah umum syar’iyah.
Tulisan ini mengungkap beberapa hal penting yang pernah dilakukan oleh
Umar dalam penyelesaian sengketa kewarisan, untuk membedah kejelasan pola
hubungan antara akal dan nash yang bersifat absolut tersebut guna
menemukan formula implementasi ijtihadnya.
Bahwa dengan
memahami formulasi ijtihad Umar tersebut maka kita dapat memecahkan
persoalan-persoalan hukum kewarisan kontemporer dengan cara yang indah disertai
dengan penggunaan ratio, membebaskan pikiran dari unsur taqlid.
Kebijakan
Umar tersebut tidak dapat serta merta dikatakan sebagai menyimpangi ayat
Al-Qur-an. Dari sinilah Umar sering berbeda dengan para sahabat myang berpegang
erat dengan dhahir nash
Sebab itulah, menurut pendapat penulis, bahwa pada dasarnya hukum
kewarisan adalah masalah qodla’i yang penyelesaiannya harus mengedepankan
prinsip umum syari’ah dengan menggunakan logika keadilan.
Kata kunci : Umar, Ijtihad, Waris, Khimariyah,
Kalalah ‘Aul, Raad.
Pendahuluan
Dari sekian nama orang-orang besar
yang pernah dikenal umat Islam adalah Umar bin Al-Khathab. Keagungan namanya
telah dikaji oleh para ilmuwan baik dari dimensi kehidupan pribadinya, keadilan
dan kretifitasnya dalam berijtihad.
Kejayaan Islam semenjak ia masuk
agama Allah ini, serta kepiawaiannya dalam memimpin umat juga merupakan catatan
sejarah yang mangagumkan. Beliau dikenal sebagai manusia yang berkemampuan
mengimplementasikan tasyri’ Islami dalam kehidupan sehari-hari ditengah
umatnya. Selain Nabi, tidak ada seorangpun yang lebih bagus sifat kepribadian
sebagaimana Umar. Beliau dikenal sebagai peletak dasar-dasar sistem peradilan
yang baik disaat dunia Barat masih mengalami masa kegelapan yang secara jujur
harus diakui menjadi dasar-dasar peradilan saat ini, sebagaimana dapat
dipelajari dari dua surat beliau kepada dua orang sahabatnya Syuraih sebagai Qadli
di Kuffah dan Abu Musa Al-Asy’ari sebagai Qadli di Bashrah.
Ijtihad dan caranya yang indah
disertai dengan menggunakan ratio yang sedikit terbuka, ijtihad Umar kerap
dibenarkan oleh Nabi dan cocok serta seiring dengan wahyu yang belum turun
sekalipun. Sehingga banyak fuqaha’ yang menyimpulkan bahwa manhaj
Umar dalam berijtihad dan berfiqih menjadi dasar dan sumber inspirasi yang
tidak pernah kering bagi adanya ijtihad mustaqil (berdiri sendiri).
Dari padanyalah para qadli
(baca hakim) dapat belajar untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
kontemporer dengan mengedepankan azas maslahah ammah dalam memahami nash
secara tekstual maupun kontekstual dengan benar.
Tentang Umar ini Rusulullah pernah
menyatakan dalam nubuwahnya “Kebenaran akan selalu memancar dari Umar”. Ibnul Qayyim mengatakan bahwa dari manhaj
ijtihad Umarlah generasi yang cerdas setelahnya memperoleh pelajaran yang
sangat berharga bahwa syari’at Islam yang abadi itu mampu menghadapi dan memecahkan
persoalan-persoalan kontemporer.
Tulisan ini mencoba mengungkap
sebagian dari manhaj ijtihad beliau dalam masalah kewarisan. Hal
tersebut menjadi amat penting untuk kita jadikan pangkal tolak memahami dalil nash
yang bersifat spesifik dan terbatas untuk diterapkan atas kasus kewarisan yang
fariatif kejadiannya.
Berangkat dari dasar pemikiran
tersebut diatas, kajian ini memberi perhatian secara terbatas hanya pada segi
Ijtihad Umar dalam masalah kewarisan tentang musytarokah, kalalah, warisan kakek bersama beberapa saudara,
warisan ayah dan ibu bersama janda/duda, saudara perempuan bersama anak
perempuan, ‘Aul dan al-akdariyah (masalahyang rumit) dengan mengacu
kepada kitab-kitab fiqih bidang faraidl.
1.Al
Musytarokah
Istilah Al-Musytarokah dalam fiqih
mawaris adalah jika seorang wanita mati meninggalkan suami, ibu, beberapa
saudara laki-laki seibu, dan beberapa saudara laki-laki sekandung.
Jika demikian yang terjadi, maka
suami mendapatkan ½, ibu mendapatkan 1/6 (sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisaa’),
selebihnya adalah 1/3. Jika kita memberikan lebihan itu kepada saudara seibu
sesuai dengan Al-Qur-an, “tetapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…” (An-Nisaa’:12),
maka beberapa saudara laki-laki kandungnya tidak mendapatkan bagian. Padahal
pembagian seperti ini telah sesuai dengan nash-nash yang ada.
Kejadian seperti ini pernah terjadi
pada masa Umar, sehingga beberapa saudara laki-laki sekandung yang tidak
kebagian jatah itu mengadu pada sang khalifah, “Wahai Amirul mukminin, kita
satu bapak dengan mayat, sedangkan mereka (saudara seibu) tidak. Kita juga satu
ibu dengan mayat, sebagaimana mereka satu ibu dengannya. Jika anda menahan kami
untuk mandapatkan warisan sebab bapaka kita, maka kita seharusnya mendapatkan
warisan desebabkan ibu kita, sebagaimana mereka mendapatkan warisan sebab ibu
mereka. Dan jika demikian, maka mereka menganggap bapak kita itu “keledai”
(menghina bapak kita). Dan tidakkah kita dilahirkan dari rahim yang sama?”.
Mendengar itu, Umar berkata “Kalian
benar,! kalian akan bersama-sama membagi 1/3 lebihan harta warisan itu dengan
saudara seibu kalian.” Dan diriwayatkan bahwa sebelum kejadian ini, Umar belum
pernah membagi dengan isytirak (bersama-sama).[1]
Pendapat Umar tersebut diikuti oleh
sahabat-sahabat lain yaitu Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin
Mas’ud.[2]
Adapun sahabat yang berbeda pendapat dengan Umar adalah Ali, Ibnu Abbas, Abu
Musa Al-Asy’ari dan Ubay bin Ka’ab, mereka memberikan 1/3 lebihan itu kepada
saudara seibu saja, dengan alasan karena sesuai dengan surat an-Nisa’,
kepada saudara sekandung, mereka tidak memberikan bagian apa-apa.
Ketika hal ini dikatakan kepada Ali
bin Abi Thalib, maka beliau menjawab, “Bagaimana pendapatmu jika saudara seibu
itu seratus orang. Apakah kalian akan menambahkannya dari hanya memberikan
1/3?” “Tidak.” Jawab orang itu. “Saya juga tidak akan mengurangi sedikitpun
bagian mereka. Adapun saudara laki-laki maupun saudara perempuan sekandung akan
mendapatkan bagian ashabah (sisa).” Timpal Ali.[3]
Diriwayatkan bahwa Umar sebelumnya
juga mengeluarkan fatwa/putusan sebagaimana pendapat Ali tersebut. setelah
peristiwa tersebut beliau mengeluarkan fatwa/putusan yang kedua yaitu dengan
adanya tasyrik. Dikatakan kepadanya, “Pada tahun pertama kamu
mengeluarkan fatwa tidak seperti sekarang. Saat itu kamu memberikan 1/3 bagian
itu kepada saudara seibu. Dan kenapa kamu sekarang juga memberikan bagian
kepada saudara sekandung mayat?” “Keputusan itu adalah keputusan saya kemarin.
Dan keputusan yang baru ini adalah keputusan saya sekarang.” Sanggah sang
khalifah.[4]
Kedua putusan diatas sama-sama
didasarkan pada pemahaman terhadap ayat.. Bagi yang berpegang pada ayat
Al-Qur’an secara harfiyah (tekstual), maka akan memberikan lebihan 1/3
itu kepada saudara seibu. Mereka melihat adanya ayat menerangkan hal itu, maka
menurut mereka, tidak ada orang yang berhak untuk mengurangi bagian mereka,
karena akan bertentangan dengan nash Al-Qur’an. Inilah yang dijadikan dasar
pendapat Umar pertama.
Akan tetapi, saudara sekandung dapat
dikatakan saudara seibu juga. Bahkan ditambah dengan sebapak. Dan jika ada
tambahan hubungan darah dengan mayat, secara otomatis akan menambah bagian
mereka, bukan malah menguranginya. Bagaimana mereka tidak mendapatkan bagian
1/3 itu, padahal merekapun seibu dengan mayat? Jika demikian maka adanya
sebapak justru sebagai penghalang mereka untuk mendapatkan bagian itu, sehingga
mereka menyebut bapak mereka itu laksana “keledai”, sebagaimana perkataan
mereka kepada Umar di Atas? Tidak mungkinkah saudara kandung itu dimasukkan ke dalam
nash itu, yaitu mereka dimasukkan juga golongan dari saudara seibu.
Rasio tidak bisa menolak kedua
pendapat itu, akan tetapi ada satu hal yang menjadi dasar tasyri’ Islami,
yaitu asas keadilan. Maka rasa keadilan itu akan terwujud jika saudara sekandung
diikutkan untuk bersama-sama mendapatkan warisan dari 1/3 lebihan harta itu,
karena merekapun dianggap saudara seibu. Karena kekuatiran tidak adanya
keadilan itulah, yang dirasakan Umar ketika saudara saudara sekandung itu
menghadap Umar sebagaimana cerita di atas, sehingga akhirnya beliau pun
memasukkan mereka ke dalam saudara seibu untuk mendapatkan bagian warisan.
Pendapat
Fuqaha’
Dari kalangan fuqaha’ dalam
menyelesaikan kasus sebagai tersebut diatas juga terdapat dua pendapat yang berbeda. Ahli fikih
yang sependapat dengan Umar adalah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan
Ats-Tsauri. Sedangkan yang tidak sependapat adalah, Imam Abu Hanifah, Ibnu Abi
Laila, Imam ahmad, Abu Tsaur dan Dawud.[5]
Alasan kelompok pertama adalah,
saudara sekandung isytirak (bersama-sama) dengan saudara seibu karena
mereka memiliki hak untuk mendapatkan warisan, yaitu dengan adanya ibu. Oleh
karena adanya ibu, maka mereka tidak dihapus hak warisnya oleh orang yang lebih
jauh hubungan kekerabatannya dengan mayat. Dan jika saudara seibu mendapatkan
warisan karena ibu, maka merekapun harus mendapatkannya, karena alasan untuk
mendapatkan warisan dengan mereka adalah sama. Yaitu adanya si ibu.
Adapun alasan kelompok kedua,
saudara sekandung bagiannya adalah ashabah (lebihan). Jika orang-orang
yang mempunyai bagian warisan sudah membagi habis harta warisan, maka mereka
(yang dapat bagian ashabah) tidak berhak untuk mendapatkan warisan
apa-apa. Kejadian ini dapat disamakan dengan kasus, jika ada orang mati
meninggalkan suami, ibu, satu saudara seibu, dan saudara sekandung sepuluh atau
lebih. Dalam kasus ini suami mendapatkan ½, ibu mendapatkan 1/6, satu saudara
seibu mendapatkan bagian utuh, yaitu 1/6, sedangkan sisanya yaitu 1/6 dibagi
kan kepada sepuluh atau lebih saudara kandungnya;
Al-Jasshash, seorang yang bermadzhab
Hanafi - dalam membenarkan kelompok kedua berdasar ayat kalalah surat
An-Nisa’ ayat 12;
وإن كان رجل يورث كللة او امرأة وله أخ أو أخت
فلكل واحد منهما السدس فإن كانوا أكثر من دلك فهم شركاء في الثلث. { النساء : 12}
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara
laki-laki (seibu saja), atau mempunyai saudara perempuan (seibu saja), maka
bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka bersekutu dalam yang
sepertiga itu,” (An-Nisaa’
: 12).
Bahwa ayat
tersebut berkaitan dengan bagian “saudara seibu”, sedangkan ayat kalalah
dalam An-Nisa’ 176 :
“Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang
kalalah). Katakanlah,n’Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu);
jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara permpuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi
jika sudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris terdiri dari) saudara
laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan.” (An-Nisaa’
176)
Ayat
Ini tidak menerangkan dengan jelas
bagian saudara sekandung. Bahkan di situ hanya disebutkan bahwa mereka
mendapatkan bagian ashabah, yaitu seorang laki-laki akan mendapatkan dua
bagian perempuan.
Disamping itu Al-Jasshash
juga berpendapat; bahwa ayat itu secara zhahir (eksplisit), menafikan
adanya isytarak. Karena ahli waris yang mendapatkan bagian fardhu
(pasti) tidak disebutkan dalam ayat ini. Di samping itu, ia juga berpegang pada
hadits,
“Berikanlah
bagian fardhu (pasti) kepada ahlinya (yang berhak mendapatkannya). Dan ketika
bagian fardhu masih tersisa, maka yang lebih baik adalah memberikannya pada
golongan laki-laki ashabah.”
Mekanisme pembagian waris menurut
hadits ini adalah harta warisan diberikan dulu kepada penerima dzawil furud
atau dzawil as-siham (orang-orang yang berhak mendapat bagian pasti),
maka sisanya diberikan kepada ashabah. Oleh karena itu, barangsiapa
memberikan mereka bagian isytarak, maka ia telah melanggar sunnah.
Demikianlah pendapat Al-Jashshas.[6]
Meskipun dalil-dalil kelompok kedua
ini sudah jelas, namun ruh (spirit) dan tujuan tasyri’ tidak menyamakan
antara saudara sekandung dengan saudara seibu. Tidakkah alasan mereka untuk
mendapat warisan adalah karena adanya ibu mereka, yang juga ibu saudara
sekandung ? Bagaimana tambahan hubungan kekerabatan (adanya ayah) malah menahan
mereka untuk memperoleh warisan ? adalah sesuaitu yang susah untuk diterima
oleh akal.
Bahwa dalam memahami suatu nash
hukum kadang lebih tepat dan harus dupahami secara tekstual tetapi kadang
justru hal tersebut dirasa tidak sesuai dengan rasa keadilan, oleh karena itu
suatu saat dalil nash harus kita pahami secara kontekstual sosiologis.
Bagaimana jika kita meyakini nash secara eksplisit, padahal yang
diharapkan untuk memahaminya adalah dengan cara implisit ?
Sebab itulah, menurut pendapat
penulis, bahwa pada dasarnya hukum kewarisan adalah masalah qodla’i yang
harus mengedepankan logika keadilan tanpa harus bertentangan secara
diameteral terhadap ayat yang qoth’i.
Pendapat yang mengatakan bahwa
isytarak adalah pemahaman yang keluar dari ayat dan berseberangan dengan
sunnah adalah pendapat yang tidak tepat.
Karena kasus tersebut harus dipahami sebagai masalah ijtihadi.
Dan dua ayat dalam surah An-Nisaa’ di atas (ayat 12 dan ayat 176) adalah ayat
yang menerangkan tentang kalalah, yang hal itu ada hadits-hadits yang
membahasnya secara khusus, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Umar dalam bab kalalah
berikut.
2. Al-Kalalah
Kalalah dalam ilmu faraidl mempunyai
banyak pengertian, tetapi yang masyhur diartikan seorang meninggal tanpa
meninggalkan anak dan ayah. Pengertian tersebut yang diikuti oleh Kompilasi
Hukum Islam sebagaimana tertuang dalam pasal 181 dan pasal dan pasal 182.
Pada tahun di mana Umar meninggal
karena kena tikam, ia berkata, “Aku tidak meninggalakan sesuatu yang sangat
penting bagiku melebihi kalalah. Aku tidak pernah beradu argumen dengan
Rasulullah dalam masalah apapun, sebagaimana yang terjadi ketika membahas
maslah kalalah. Perkara yang paling aku anggap berat selama aku
menyertai Rasulullah adalah masalah ini, sampai-sampai ketika membahas perkara
ini, Rasulullah mencubit perutku dengan jari-jari beliau sambil bersabda, “Cukuplah
kamu dengan ayat terakhirsurat An-Nisa’. Dan selama hidupmu, jika kamu
dihadapkan masalah ini, maka putuskanlah masalah ini sesuai dengan ayat itu,
baik kepada orang yang membacanya ataupun kepada orang yang tidak membacanya.”
Sang khalifah ketika ditikam juga berkata, “Ketahuilah, bahwa aku tidak
berkomentar apapun dalam masalah kalalah.”[7]
Diriwayatkan oleh Al-Jasshash, bahwa
Umar pernah bertanya kepada Rasulullah, “Bagaimana pembagian warisan kalalah?”
Rasulullah bersabda, “Tidakkah Allah telah menjelaskannya?” lalu beliau
membacakan ayat,
“Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun permpuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara permpuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu..”
(An-Nisaa’
: 12)
Allah kemudian menurunkan ayat,
يستفتونك قل الله يفتيكم في الكللة
{ النساء : 176}
”Mereka meminta
fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, ‘allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah.”
(An-Nisaa’
: 176)
Karena Umar seakan belum juga paham
dengan ayat tersebut, ia lalu berkata kepada Hafsah putrinya, “Jika kamu
melihat Rasulullah dalam keadaan tidak gundah, maka tanyakan kepadanya tentang kalalah.”
Dan ketika Hafsah melihat bahwa Rasulullah sedang santai, maka ia menanyakan
sebagaimana yang dipesankan bapaknya itu. Rasul menjawab, “Apakah bapakmu menulis pertanyaan ini? bapakmu tidak
akan tahu selamanya.” Mendengar itu Umar lantas berkata, “Saya tidak akan
mengetahuinya selamanya, karena Rasulullah telah bersbda demikian.” Umar
kemudian berkata, “Tiga perkara yang jika Rasul mau menjelaskannya kepadaku,
maka hal itu lebih membuatku gembira daripada aku diberikan dunia dan semua
isinya. Tiga perkara itu adalah; kalalah, khilafah dan riba.”
Said bin Al-Musayyib berkata, “Umar
mempunyai sebuah catatan tentang kalalah. Namun ketika akan meninggal,
ia berkata, “Sebaiknya dalam menanggapi catatan itu, kalian menggunakan
pendapat kalian sendiri.”[8]
Ibnul Qayyim berkata, “Umar telah
berikrar, bahwa dirinya tidak menetapkan apapun tentang kalalah. Dan ia
pun telah mengaku bahwa dirinya tidak faham tentang masalah ini.”[9]
Diriwayatkan dari Umar juga, bahwa
selama beberapa saat masa kekhalifahannya, dalam masalah kalalah, ia
mengikuti pendapat Abu Bakar.
Ibnul Qayyim berkata, “Abu Bakar
telah mengatakan; pendapat saya dalam masalah ini berasal dari ijtihad saya.
Jika benar itu adalah dari Allah, dan jika salah maka itu berasal dari saya
sendiri dan dari setan. Kalalah menurut saya sendiri adalah mayat tidak
meninggalkan orang tua dan anak.” Dan ketika Umar diangkat menjadi khalifah, ia
berkata, “saya benar-benar malu kepada Allah, jika menolak sesuatu yang berasal
dari apa yang telah dikatakan abu Bakar.”[10]
Riwayat ini menunjukkan bahwa
menurut Umar, kalalah adalah mayat yang tidak meninggalkan orangtua dan
anak. Ayat pertama (An-Nisa:12) menunjukkan tentang bagian warisan
saudara seibu, sedangkan ayat kedua (An-Nisa:176) menunjukkan warisan
saudara sekandung atau saudara sebapak, ketika ia meninggal dan tidak
meninggalkan orangtua dan anak.
Diriwayatkan Al-Jasshash,
bahwa sebagian sahabat mengatakan, “Kalalah adalah orang mati yang tidak
meninggalkan anak.” Riwayat ini berasal dari Umar. Namun ada juga beberapa
riwayat lain yang mengatakan bahwa lafazh kalalah berarti
“sebagian ahli waris.”[11]
Selanjutnya Al-Jasshash
mengatakan, “Ketika di kalangan ulama salaf terdapat banyak perdebatan dalam
menentukan arti kalalah, dan ketika Umar bertanya kepada baginda
Rasulullah tentang makna kalalah, yang kemudian Nabi tidak menjawabnya,
bahkan menyuruh Umar untuk mengkajinya sendiri dari ayat kalalah di
atas, padahal Umar adalah seorang yang ahli dalam masalah linguistik, yang
tidak mungkin ia tidak tahu arti harfiyah kalalah, maka dari situ dapat
disimpulkan; bahwa istilah kalalah tidaklah bisa dipahami dari segi
bahasa, karena istilah ini adalah bagian dari ayat yang mutasyabihat
(tidak ada yang bisa memastikannya kecuali Allah), yang untuk memahaminya,
Allah telah memerintahkan pada kita untuk mengartikannya secara hukmiyah
(tidak bisa menentukan kebenarannya dengan kaidah). Oleh karena itu, Nabi tidak
menjawab pertanyaan Umar, bahkan beliau menyuruh Umar untuk berijtihad sendiri.
Hal ini karena masalah kalalah, saat ditanyakan belum terjadi, sehingga
tidak harus dicari jawaban hukumnya seketika itu juga. Karena jika tidak
demikian, maka niscaya Nabi akan menjawabnya.
Dan karena pertanyaan yang diajukan Umar itu
adalah untuk mencari tahu saja, maka Nabi memberi keleluasaan kepada Umar untuk
berijtihad sendiri dalam memahami ayat warisan.[12]
Tidak hanya para sahabat yang
berbeda pendapat tentang makna kalalah, para ahli lughah
(linguistik) dan ahli tafsir pun berbeda pendapat dalam masalah ini. Abu
Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna berkata, “Setiap mayat yang tidak meninggalkan
ahli waris anak dan orang tuanya, maka hal ini di kalangan orang Arab dinamakan
kalalah.” Kemudian ia menjelaskan lafazh kalalah ditinjau
makna linguistiknya sebagaimana terdapat dalam syair-syair Arab.[13]
Menurut Al-Qurhubi, kalalah
sebagaimana terdapat dalam dua ayat di atas adalah, saudara seibu, saudara
sekandung atau sebapak. Hal ini dijelaskannya ketika menafsiri ayat pertama,
“Di dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan kalalah di dua tempat. Yaitu di
akhir surat dan di sini. Keduanya mengidentifikasikan bahwa kalalah yang
dimaksud adalah saudara orang yang meninggal. Adapun di dalam ayat ini, para ulama
telah bersepakat bahwa saudara yang dimaksud adalah, saudara seibu, sesuai
dengan firman Allah, “Tetapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.”(An-Nisa’:12)
Bahkan Sa’ad bin abi Al-Waqqash
membaca ayat ini dengan, “Dan si mayat mempunyai saudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu.”
Karena hal ini, semua ulama sepakat
bahwa saudara sekandung atau saudara sebapak tidak masuk dalam kategori kalalah.
Dan ijma’ mereka ini menunjukkan bahwa ikhwah yang dimaksud di akhir
surat itu adalah saudara si mayat yang sekandung dan saudara mayat yang
sebapak, sesuai dengan firman Allah, “Dan jika mereka (ahli waris terdiri
dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan.” (An-Nisaa’ 176)
Mereka juga telah bersepakat bahwa
warisan saudara seibu tidaklah demikian, karena kedua ayat itu menunjukkan
bahwa semua ikhwah adalah kalalah.[14]
Dari sini dapat kita simpulkan; pertama,
bahwa dua ayat kalalah di atas mencakup semua ikhwah, baik saudara
seibu, saudara sekandung ataupun saudara sebapak. Kedua, bahwa
penafsiran lafazh kalalah sangatlah banyak. Dan barangkali sebagiannya
telah disebutkan Umar pada awal-awal keputusannya. Namun ia sendiri tidak yakin
kebenaran tafsiran itu, sehingga ia terus berharap untuk dapat menemukan
kepastiannya, maka di akhir hayatnya Umar mengatakan bahwa dalam masalah ini,
ia tidak berkomentar apapun. Bahkan sang khalifah berkata, “Dalam masalah ini,
sebaiknya kalian memetuskannya dengan pendapat kalian sendiri. Karena setiap
keputusan seseorang, baik dalam masalah agama maupun masalah dunia akan
dimintai pertanggungjawaban.”
Keputusan Umar dalam masalah kalalah
berhubungan erat dengan keputusannya dalam masalah al-jad wa al-ikhwah
(warisan kakek dan saudara). Tidaklah kalalah adalah bagaimana ikhwah
mendapatkan warisan? Dan Jad ketika mewaris bersama-sama ikhwah, sama
halnya dengan mewarisnya ikhwah.
Adanya korelasi antara keduanya ini,
juga dapat kita ketahui dari perkataan Ibnul Qayyim, “Keputusan Umar dalam
masalah ini terombang-ambing dalam menentukan bagian jad. Sebenarnya dia telah menulis sebuah catatan
tentang bagaimana jad harus mewaris. Namun karena ia masih ragu, maka catatan
itu kemudian dihapusnya. Bahkan ia juga berkata, “Saya tidak memutuskan bagian jad
(kakek) apapun.”[15]
Diriwayatkan Ibnu Sa’ad, “Ketiak
Umar ditikam, ia berkata, ‘Wahai hamba Allah, berikan padaku catatan-catatan
tentang jad yang aku tulis kemarin. Jika Allah menginginkan untuk
menyempurnakan masalah ini, maka masalah ini pasti akan sempurna.” Kemudian
sang khalifah memegang catatan-catatan itu, lalu dengan tangannya sendiri ia
menghapusnya. Ia bahkan menolak, ketika ada seseorang yang menawarkan diri
untuk menghapuskan catatan itu.”[16]
Dan ini juga yang Umar lakukan dalam masalah kalalah.”
Menanggapi perkataan Umar ini
menunjukkan bahwa Umar dalam masalah ini tidak berpendapat. Dan sang khalifah
masih belum jelas dalam memahami makna dan maksud hadits ini.”
3. Kakek
mewaris bersama saudara
Karena tidak ada dalil yang tegas
baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, masalah kakek mewaris bersama saudara,
sampai sekarang masih merupakan masalah yang diperdebatkan fuqaha’. Hampir
tidak kita temukan adanya ijtihad dalam tasyri’ Islami, yang jumlah perbedaan pendapat
dan interpretasinya melebihi masalah ini. Asy-Syaukani berkata, “Benar-benar
tejadi perdebatan panjang antara para sahabat dengan masalah ini.” Dalam Shahih
Bukharipun terdapat riwayat bahwa telah
terjadi perdebatan panjang antara Ali, Umar, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Mas’ud
dalam masalah kakek kitika mewaris bersama dengan saudara.”
Dr. Ahmad Ibrahim dalam salah satu
makalahnya,[17]
telah membahas semua pendapat dan dalil-dalil dalam masalah ini. pada pembukaan
makalah itu dikatakan, “Adanya perbedaan pendapat (khilafiyah) tidak
seramai yang terjadi pada masalah warisan jad ma’a ikhwah (kakek bersema
para sudara), dari mulai zaman sahabat sampai sekarang. Sampai-sampai dari
seorang sahabat saja, ada yang mengeluarkan beberapa pendapat yang
berbeda-beda, dan ada dari sekian ulama-ulama besar yang ada, meninggal dunia
sebelum mengeluarkan statemen tertentu dalam masalah ini.”
Umar pernah menyatakan “Dalam
masalah jad saya memutuskan tujuh puluh putusan. Dan saya tidak tahu
apakah dari sekian putusan itu ada yang benar atau tidak.” Diriwayatkan darinya
juga, “Kenapa dulu Nabi tidak memutuskan masalah jad dengan keputusan yang
pasti?”[18]
Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, ia
pernah bertanya kepada Abu Ubaidah, “Apa yang kamu putuskan tentang jad?
Setelah kamu hafal seratus keputusan Umar dalam masalah ini, yang satu dalam
masalah lainnya saling bertentangan.” (Seratus adalah untuk muballaghah).
Keputusan akhir Umar dalam masalah
jad ini, sama dengan keputusannya dala masalah kalalah. Dalam artian
ijtihad dan pertimbangannya terhadap nash-nash yang ada, tidak sampai
menimbulkan konklusi dan keputusan final. Ia menyerahkan keputusan masalah ini
kepada orang-orang muslimin setelahnya.
Akan tetapi, suatu hal yang tidak
mungkin disanggah lagi, bahwa sang khalifah (Umar) telah condong ke pendapat
yang berubah-rubah, setelah itu beliaupun tawaquf (berhenti dan tidak
mengambil keputusan tertentu).
Dari sini, kita dapat saja memegang
‘salah satu’ pendapat yang di nisbatkan pada Umar itu. Kita katakan ‘salah
satu’ karena sebagaimana kita ketahui, bahwa ia telah berpendapat (lebit dari
tujuh puluh bahkan seratus pendapat) dalam masalah ini, yang antara satu dan
lainnya saling berbeda.
Driwayatkan oleh Imam As-Syafi’i;
bahwa Umar memberikan bagian warisan kepada ikhwah meskipun bersama-sama dengan
jad. Padahal Abu Bakar dan sebagian sahabat, tidak memberikan
warisan kepada ikhwah ketika
bersama-sama dengan jad karena jad sama dengan bapak sehingga ia
menghijab ikhwah.[19]
Demikian juga pendapat Al-Jasshash; “bahwa orang-orang yang berpendapat bahwa jad
adalah sama dengan bapak, - sehingga menutupi dan menggugurkan bagian ikhwah –
berpedoman pada dalil ayat, “Dan aku mengikuti agama bapak bapakku, yaitu
Ibrahim, Ishak dan Ya’kub.” (Yusuf:38), yang di ayat itu jad
dikatakan aba’ (bapak / orangtua).[20]
Diriwayatkan oleh Imam Malik, bahwa
Umar dan beberapa sahabat lainnya memberikan bagian sepertiga kepada jad,
ketika bersama ikhwah.[21]
Dari beberapa pendapat ini, dapat
ditarik satu kongklusi bahwa dalam maslah jad ma’a al-ikhwah ini ada
beberapa pendapat, yang diantaranya:
Pertama; tawaqquf (tidak ada keputusan tertentu)
terhadap masalah ni. Hal ini adalah keputusan Umar yang terakhir.
Kedua; Ikhwah lebih berhak untuk
mewaris, sehingga mereka menggugurkan bagian jad.
Ketiga; Jad dapat mewaris, akan tetapi ia tidak
mendapatkan bagian tertentu. Karena bagiannya akan di tentukan hakim. Berapa
selayaknya ia mendapatkan warisan adalah menjadi keputusan hakim.
Keempat; Jad akan isytirak (bersekutu)
dengan saudara laki-laki dan saudara permpuan, baik yang sekandung maupun yang
sebapak.
Kelima; Jad dapat menggugurkan bagian ikhwah
(beberapa saudara laki-laki) dan akhwat (beberapa saudara perempuan).
Sehinnga jika mereka mewaris bersama-sama dengan jad, maka mereka
semuanya tidak akan mendapat bagian warisan sama sekali.[22]
Dari semua itu, dapat disimpulkan;
bahwa Umar dalam masalah ini telah mengambil satu keputusan yang sama dengan
keputusannya dalam masalah kalalah, yaitu tawaqquf. Dan
sebagaimana disebut dalam satu riwayat, bahwa sebelum kematiannya ia berhara
kepada Nabi untuk memberikan satu keputusan sehingga tidak menimbulkan banyak
pendapat dan perdebatan.
Semua pendapat di atas berdasar pada
nash-nash yang berbeda-beda, di dasarkan pada ta’wil yang satu sama lain tidak
sama, dan diqiyaskan (analogikan) dengan rasio yang bermacam-macam, yang
tujuannya adalah satu, yaitu untuk mendapatkan keputusan yang jelas dalam
masalah ini.
Di samping beberapa riwayat di atas,
ada beberapa khabar gharib (riwayat yang kurang di kenal) yang di
sandarkan dari Rasulullah, dan hal inilah yang mungkin menyebabkan Umar tawaqquf
dalam memutuskan masalah ini. Dari Ibnu Hazm, bahwa Umar bertanya kepada orang
banyak, “Siapakah dari kalian yang pernah mendengar Rasulullah memberikan
bagian tertentu dalam masalah jad?” Salah satu dari mereka (orang yang
berkumpul di situ) menjawab, “Rasulullah memberikannya bagian seperenam
(sudus).” Yang lain menjawab, “Rasulullah memberikannya setengah” Dan yang lain menjawab, “Rasulullah memberikan
semua harta mayat kepada jad” Dan tak satupun dari mereka yang tahu,
pada saat itu (pada saat Rasulullah memberikan bagian itu) jad mewaris
bersama siapa.”[23]
4. Kedua
Orangtua Janda atau Duda
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menetapkan warisan kedua orangtua dalam Surat An-Nisa’ ayat 11:
ولأ بويه لكل و احد منهما السدس مما ترك إن كان
له, ولد فإن لم يكن له, ولد وورثه, أبواه فلأمه الثلث.
[النسأ:11]
“dan untuk dua
orangtua ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mepunyai anak. Jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibi bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga.”(An-Nisaa’
: 11)
Dari ayat ini, seorang ibu mendapat
bagian sepertiga dari harta warisan, dan bapak mendapatkan ashabah
(sisa)nya, jika orang yang mati tidak meninggalkan anak, dan yang mewaris hanya
kedua orangtuanya. Akan tetapi bagaimana jika kedua orangtua itu mewaris
bersama-sama dengan salah satu suami atau istri mayat (janda atau duda)?
Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, dan
Zaid bin Tsabit menetapkan, suami atau istri mendapat bagian pasti, ibu
mendapat bagian sepertiga dari sisa, sedangkan sisanya untuk bapak.
Adapun Ibnu Abbas menetapkan, Suami
dan Istri mendapatkan bagiannya, bagi ibu sepertiga dari warisan, tidak
sepertiga dari sisa, selebihnya bagian bapak. Beliau mengatakan, “Saya tidak
menemukan dalam kitab Allah (Al-Qur’an) bagian sepertiga dari sisa.” Pendapat
ini diikuti oleh Tabi’in Ibnu Sirin.[24]
Kedua pendapat tersebut didasarkan
pada firman Allah di atas. Pendapat pertama didasarkan pada pedoman yang mengatakan;
bahwa bapak-ibu bersama-sama mendapatkan sepertiga (mesing-masing seperenam).
Baik bersama janda/duda ataupun tidak. Jika bersama-sama mereka ada janda/duda,
maka janda/duda berhak mengambil bagiannya dahulu. Kemudian ibu-bapak
mendapatkan sepertiga dari harta yang menjadi bagian ibu bapak, sebagaimana
yang termaktub dalam nash.
Adapun pendapat kedua, yaitu
pendapat Ibnu Abbas, didasarkan pada ketentuan yang mengatakan; bahwa ibu
mendapatkan bagian sepertiga dari harta warisan sebagaimana ditetapkan oleh nash.
Maka ibu berhak mendapatkan sepertiga dari harta warisan, meskipun ibu bapak
bersama-sama dengan janda atau duda. Sedangkan sepertiga sisanya sebagaimana di
dalam Al-Qur’an tidak disebutkan untuk siapa bagian itu.
Masing-masing dari dua pendapat di
atas, mempunyai alasan yang masuk akal dan sesuai dengan ta’wil nash.
Menurut pendapat pertama, yaitu yang dikatakan oleh jumhur sahabat, diikuti
oleh jumhur tabiin dan kaum muslimin menganggap sepertiga dari sisa tidaklah
bagian yang di maksud dalam Al-Qur’an. Dari sini mereka menganggap bahwa
pendapat mereka itu berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah, dalam masalah yang
tidak mempunyai nash khusus.[25]
Al-Qurthubi dalam menafsirkan
ayat-ayat warisan, mengemukakan hadits riwayat Abu Dawud dan Ad-Daraquthni,
bahwa Rasulullah pernah bersabda,
“Ilmu itu ada tiga, sedangkan
selebihnya adalah ‘kemuliaan’; ayat mahkamah, sunnah yang jelas dan warisan
yang adil.” Ayat
mahkamah adalah ayat yang sudah jelas dalam Al-Qur’an yang tidak di nasakh.
Sunnah yang jelas adalah sunnah yang benar-benar berasal dari Rasulullah, dan
warisan yang adil mengandung dua kemungkinan; pertama, adil dalam membaginya,
yaitu sesuai dengan ketetapan Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, agar putusan itu
didasarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah atau dari makna keduanya. Dan dianggap
bedasarkan Al-Qur’an dan Sunnah jika maknanya atau maksudnya sama dengan nash.
Diriwayatkan Ikrimah, “Ibnu Abbas
mengutus seseorang kepada Zaid bin Tsabit untuk menanyakan pembagian harta
seorang perempuan yang mati meninggalkan suami dan kedua orangtuanya. “Zaid
menjawab, “Suami mendapatkan setengah, sedangkan ibu mendapatkan sepertiga dari
sisa.” Ikrimah lalu bertanya, “Hal ini berdasarkan Al-Qur’an atau berasal dari
ijtihadmu?” “Ini berasal dari pendapatku karena aku tidak mengunggulkan
(menganggap lebih tinggi) ibu daripada bapak.” Jawab Ibnu Abbas.
Cara seperti ini adalah untuk
membagi warisan secara adil jika tidak ditemukan nashnya. Ini disamakan
dengan bagian yang telah ada nashnya, yaitu sesuai dengan firman Allah,“Dan
ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.” (An-Nisaa’:11)
Dan ketika ditemukan bagian ibu adalah sepertiga, sedangkan sisanya adalah dua
pertiga, adalah bagian bapak, maka setengah lebihan/sisa harta setelah bagian
bapak ini diqiyaskan dengan jumlah semua harta warisan, jika bersama ibu bapak
tidak ada anak atau orang lain yang berhak mendapatkan warisan. Jika demikian
yang terjadi, maka harta itu dibagi menjadi tiga bagian; satu bagian untuk ibu,
dan dua bagian, atau selebihnya untuk bapak. Ini lebih adil, daripada ibu
diberi setengah dari sisa, bukan dari harta atau warisan pokok. Sedangkan bapak
mendapatkan seperenam, dan yang selebihnya ditambahkan kepada ibu. Meskipun ibu
asal bagiannya lebih sedikit daripada bapak, namun dalam mendapatkan warisan,
nyatanya ia lebih banyak daripada bapak, yang dalam hal ini asalnya harus
mendapatkan bagian terlebih dahulu dan harus lebih banyak dibanding ibu.”
Ini keadilan yang dijadikan rujukan
oleh Ibnu Abbas, yaitu dengan memberikan bagian sepertiga kepada ibu dan
memberikan hak-hak bapak yaitu untuk mendapatkan seperenam.[26]
Dalam menanggapi qiyas yang
dikatakan golongan pertama, Al-Qurthubi berkata, “Di antara hujjah atau
dalil yang bisa mereka utarakan kepada Ibnu Abbas bahwa, jika kedua orangtua isytirak
dalam mawaris, dan tidak ada ahli waris lain, maka ibu mendapatkan sepertiga,
sedangkan bapak mendapatkan dua pertiga. Begitu juga, jika mereka isytirak pada
bagian setengah, yaitu lebihan dari bagian suami, maka ibu dan bapak tetap mendapatkan
bagiannya sepertiga dan dua pertiga. Jadi pendapat ini sesuai dengan rasio dan
qiyas.”[27]
Pendapat pertama yang didasarkan
sebagai pendapat Umar, didasarkan pada dalil aqli (rasio) dan qiyas
terhadap ayat. Sedangkan Ibnu Abbas berpedoman pada arti harfiyah lafazh
‘tsuluts’ dalam ayat itu, yaitu sepertiga harta warisan, dengan tidak
membeda-bedakan, apakah dalam mewaris itu, kedua orangtua bersama suami atau
istri mayat (menantu) atau tidak.”
Berdasarkan zhahir (luar)
ayat tentang warisan beberapa anak laki-laki bersama perempuan, beberapa
saudara sekandung atau sebapak mewaris bersama beberapa saudara perempuan,
menguatkan hujjah golongan pertama (pendapat Umar). Baik dalil qiyas maupun
rasio yang mengatakan; bagian kedua orang tua (ibu-bapak) adalah sepertiga-sepertiga,
sebagaimana bagian anak laki-laki jika bersama anak-anak perempuan dalam ayat, “Bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.” (An-Nisaa’:11),
dan diantara saudara laki-laki dengan saudara perempuan di dalam ayat, “Dan
jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan permpuan,
maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara
perempuan,”(An-Nisaa’:176)
Dan jika salah satu suami atau istri
bersama-sama dengan anak laki-laki atau anak perempuan, setelah salah satu dari
mereka berdua mengambil bagiannya, maka sisanya di bagi antara anak laki-laki
dan perempuan, sebagaimana mereka ini berdua ini mendapat mendapat bagian jika
tidak ada bapak dan ibu. Yaitu jika seorang laki-laki mendapatkan dua bagian
perempuan.
Begitu juga jika ada saudara
laki-laki dan perempuan berkumpul, maka
bagian laki-laki dua kali dibandiang bagian perempuan, baik mereka hanya
berduaan ataupun harus isytirak dengan salah satu suami atau istri
mayat.
Dengan begitu, adanya hak suami atau
istri untuk mengambil bagiannya, otomatis mengharuskan sisa harta itu deberikan
kepada ibu-bapak, yang mereka ini berhak untuk mendapatkan sepertiga-sepertiga
sebelum adanya suami atau istri mayat (mertua). Mereka berdua itu bagaikan
orang yang bersekutu untuk membagi harta, yang jika salah satunya tidak berhak
mendapatkannya, maka begitu pula dengan yang lainnya.
Tidak diragukan lagi, bahwa
mengambil dalil dari bagaimana warisan anak-anak laki dan beberapa saudara,
menambah kuatnya alasan pendapat Umar. Terlebih lagi ketika ada perubahan,
bagian ibu mendapat lebih banyak dibanding bagian bapak jika ada suami, yang
dalam hal ini ibu mendapatkan bagian dua kali lipat bagian bapak.
Ini jelas bertentangan dengan apa
yang disebutkan dalam Al-Qur’an mengenai masalah anak-anak dan saudara-saudara
di atas (bagian satu orang laki-laki berbanding dua dari bagian perempuan), dan bertentangan pula dengan
kaidah dalam masalah suami istri, yang mengatakan bahwa seorang perempuan
(istri) tidak akan lebih banyan dari bagian laki-laki (suami).
5.
Saudara Perempuan Bersama Anak Perempuan
Yang termasuk dalam permasalahan
warisan yang diperdebatkan oleh kalangan sahabat, di mana Umar mempunyai
pendapat tersendiri, yang masing-masing pendapat itu berdasarkan ta’wil
ayat-ayat Al-Qur’an tentang warisan, adalah warisan saudara perempuan jika
bersama-sama dengan anak perempuan.
Dalam salah satu riwayat; ada
seorang laki-laki mati meninggalkan satu anak perempuan, satu saudara perempuan
sekandung dan satu orang yang mempunyai bagian ashabah. Dalam pembagian
warisan di antara mereka ini, Ali, Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, dan
Mu’ad bin Jabal berkata, “Anak perempuan mendapatkan setengah dan selebihnya
adalah bagian saudara perempuan. Setelah itu, berikan ashabah kepadanya
(saudara) bersama-sama dengan anak perempuan.”
Setelah mendengar keputusan itu,
Ibnu Abbas berkata, “Anak perempuan mendapatkan setengah. Dan sisanya adalah
bagian ahli waris yang memiliki bagian ashabah, meskipun nasabnya jauh. Sedangkan
saudara perempuan tidak mendapatkan bagian sama sekali, karena ia bersama-sama
dengan anak perempuan”
Ketika pendapatnya ini ditentang,
Ibnu Abbas berkata, “Apakah kalian lebih tahu dari Allah? Padahal Allah telah
berfirman, ‘jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya.’ (An-Nisa’ : 176) dan kalian
memberikan bagian setengah kepada saudara perempuan meskipun ada anak.”[28]
Pendapat Ibnu Abbas ini didasarkan
pada pemahamannya terhadap zhahir nash, yang di situ ditetapkan bahwa
sudara perempuan (tidak hanya saudara seibu saja) akan mendapat setengah dari
harta warisan mayat, “jika tidak ada anak”.
Bagaimana saudara perempuan ini
mengambil setengah, padahal si mayat mempunyai anak? Menurutnya lafazh “walad”
itu meliputi anak laki-laki ataupun anak perempuan. Oleh karena itu, maka Ibnu
Abbas menggugurkan bagian saudara perempuan jika ada anak perempuan. Pendapat
Ibnu Abbas tersebut sekarang yang diikuti oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Al-Jasshash mengcounter
dalil-dalil nash yang menetapkan kebenarkan pendapat golongan pertama, yang mengatakan
saudara perempuan mendapatkan bagian ashabah, jika bersama anak
perempuan. Pendapat ini juga dapat meolak dalil Ibnu Abbas dari zhahir nash
di atas, dan sekaligus sebagai penjelas bahwa dalil itu tidak dapat menguatkan
pendapat Ibnu Abbas, yang mengatakan bahwa bagian saudara perempuan terhalang
atau gugur, karena Allah berfirman,
للرجال نصيب مما ترك الولدان والأ قربون وللنساء
نصيب مما ترك الوالدان والأ قربون مما قل منه أو كثر نصيبا مفروضا
.[ النساء : 7 ]
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak
dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan”
(An-Nisa’ : 7)
Zhahir ayat ini mengatakan; dapat
mewarisnya saudara perempuan, meskipun ia bersama dengan anak perempuan, adalah
karena si mayat masih termasuk saudaranya.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa
Nabi Muhammad pernah memutuskan masalah warisan saudara perempuan, anak
perempuan dari saudara laki-laki (keponakan perempuan mayat), dan saudara
perempuan kandung. Dalam putusan itu, anak perempuan mendapatkan setengah,
keponakan perempuan mendapatkan seperenam agar genap dua pertiga, sedangkan
sisanya diberikan kepada saudara perempuan. Karena dalam kasus ini, ia sebagai
ahli waris yang mendapatkan bagian ashabah karena bersama anak
perempuan.[29]
Adapun mengambil dalil ayat “Tidak
mempunyai anak”, maka dalam ayat itu telah di nash, bagian saudara
permpuan jika tidak ada anak, dan bahwa warisannya tidak digugurkan, meskipun
ada anak.
Ketika dalam ayat itu disebutkan, “Mendapatkan
seperdua jika tidak ada anak,” tidak dapat dijadikan dalil pengguguran
bagian saudara perempuan jika ada anak. Karena maksud ayat itu yang paling
sesuai adalah, “Jika seseorang mati tidak meninggalkan anak laki-laki,”
dengan alasan firman Allah, “Dan saudaranya yang laki-laki memusakai (seluruh
harta saudara perempuan).”[30]
Dan tidak diragukan lagi, bahwa apa
yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud dari Nabi sebagai hujjah pendapat
pertama. Atsar dari Ibnu Mas’ud ini telah diriwayatkan oleh Al-Qurthubi dari
Al-Bukhari, dari Adam dari Syu’bah, dari Abu Qais, ia berkata, “Saya telah
mendengar Hudzail bin Syuraih berkata, “Abu Musa pernah ditanya tentang warisan
anak perempuan, anak perempuan anak laki-laki (cucu perempuan), dan saudara
perempuan. Maka ia menjawab, “Anak perempuan mendapatkan setengah, dan setengah
sisanya untuk saudara perempuan. Datanglah kepada Ibnu Mas’ud, ia pasti akan
mengikutiku.”
Setelah Ibnu Mas’ud didatangi dan
dikabari tentang ucapan Abu Mussa itu, ia berkata, “Kalau begitu, selama ini
saya salah. Dan selama ini pula berarti saya termasuk orang-orang yang tidak
mendapatkan petunjuk. Selama ini, saya memutuskan perkara seperti itu
sebagaimana Nabi telah memutuskannya, yaitu memberikan kepada anak perempuan
setengah, cucu perempuan (dari anak laki-laki mayat) seperenam untuk menggenapi
dua pertiga, dan selebihnya saya bagikan kepada saudara perempuan.”[31]
Sepertinya Ibnu Mas’ud dan
sahabat-sahabat yang sependapat dengannya –termasuk Umar , ketika mereka
melihat Nabi memberikan sisa bagian anak permpuan dan cucu perempuan kepada saudara
perempuan, mereka lantas memberikan bagian kepada saudara perempuan setelah
bagian anak perempuan terpenuhi, ketika dalam masalah ini, cucu tidak
mendapatkan seperenam. Mereka juga berpendapat; bahwa memberikan bagian
setengah kepada saudara perempuan, dengan jalan ashabah bersama anak
perempuan tidaklah bertentangan dengan ayat berikut, “ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya,”An-Nisa’ :176) sebagaimana
penjelasan Al-Jasshash di atas.
6.Aul
dalam Faraidh
Aul adalah; habisnya harta warisan
sebelum semua ahli waris yang berhak mendapatkan warisan (ashhabul furudl)
mendapatkan bagiannya. Aul di dalam faraidh dibicarakan ketika
orang-orang yang berhak untuk mewaris kelebihan jumlahnya.
Contoh dari aul adalah; jika
masing-masing ahli waris mendapatkan bagian setengah, setengah dan sepertiga.
Jika demikian adanya, bagaimana pembagian warisnya? Siapa yang berhak untuk
tetap diberi, dan siapa pula yang harus digugurkan?
Umar adalah orang yang pertama kali
membagi warisan dengan aul. Ia berkata, “Demi Allah, saya tidak tahu,
siapa dari kalian yang tetap mendapatkan bagian sesuai dengan ketentuan Allah,
dan siapa dari kalian yang harus dikurangi?” Umar kemudian membagi warisan itu dengan cara
memberikan bagiannya masing-masing. Lalu mengurangi masing-masing mereka dengan
cara memprosentasinya. Ahli waris yang berhak mendapatkan setengah mandapatkan
kurang dari setengah harta warisan, dan selanjutnya seluruh ahli waris
bagiannya dikurangi dengan prosentase yang sama. Atas keputusan Umar tersebut,
jumhur sahabat menyetujuinya, kecuali Ibnu Abbas.[32]
Ibnu Abbas tidak berkomentar atas
putusan Umar, kecuali setelah Umar meninggal, hal ini terbukti dengan
perkataanya, “Jika Umar mendahulukan orang yang telah didahulukan Allah, maka
ia tidak akan membagi aul pada orang yang mempunyai bagian warisan.”
Kemudian ditanyakan pada Ibnu Abbas, “Lantas, siapa yang didahulukan Allah? Dan
siapa yang diakhirkan-Nya?” Putra paman Nabi itu menjawab, “Setiap bagian yang
harus selalu mendapat bagiannya adalah yang didahulukan Allah. Sedangkan bagian
yang dapat gugur dari bagiannya, yang tidak mendapatkan bagian kecuali hanya
sisa saja, maka itulah yang diakhirkan oleh Allah. Adapun yang didahulukan
adalah suami, istri, ibu, anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan,
yang mereka ini akan gugur bagian fardhunya (bagian pasti) menjadi bagian
ashabah, jika bersama dengan anak-anak laki dan saudara-saudara laki).
Sistem pembagian menurut Ibnu Abbas
ini dikenal dengan sistem taqdim dan ta’khir; Pertama-tama kita
memberikan bagian warisan kepada orang yang berhak untuk mendapatkan warisan,
jika harta warisan sudah habis terbagi, maka orang yang mempunyai bagian ashabah
akan dirugikan (dalam hal ini tidak akan kebagian harta warisan sama sekali).
Dengan artian, jika kedua kelompok ini berkumpul, maka yang didahulukan adalah
yang didahulukan Allah. Dan jika masih ada sisa, baru siasa itu dibagikan
kepada kelompok yang diakhirkan oleh Allah. Akan tetapi jika tidak ada sisa,
maka kelompok yang di akhirkan itu tidak mendapatkan bagian apa-apa.
Dengan menggunakan alasan yang
sangat rasional, dan mengqiaskannya dengan dalil-dalil nash yang valid, dalam
upayanya untuk menguatkan pendapat Umar dalam masalah ini, Al-Jasshash
mencounter pendapat Ibnu Abbas ini dan berkata, “Allah telah memberikan bagian
warisan kepada suami setengah, saudara perempuan kandung setengah, dan kepada
beberapa saudara laki-laki sepertiga, dengan tidak membeda-bedakan apakah mewarisnya
mereka bersama-sama (isytirak) atau sendirian), maka jika mereka memang
sendirian, maka masing-masing ahli waris tersebut harus diberi bagian sesuai
dengan ayat warisan (di atas). Dan jika ternyata harta warisan tidak cukup
untuk dibagi antara mereka sesuai dengan bagiannya masing-masing, maka mereka
akan mendapatkan bagian seadanya (dibagi rata). Jika mereka berkumpul, dan ada
salah satu dari mereka yang seharusnya kebagian ternyata tidak kebagian, maka
harus digunakan hukum ayat warisan, yaitu bagian satu orang laki-laki sebanding
dengan bagian dua orang perempuan.
Dengan demikian, yaitu dengan
memberikan sebagian warisan kepada salah satu ahli waris dan menggugurkan
sebagian ahli waris yang lain, atau dengan mengurangi bagian salah satu dari
mereka dan tidak mengurangi kepada yang lain, maka hal ini merupakan satu
perbuatan aniaya (tidak adil).
Al-Jasshash menentang dasar-dasar
tasyri’ yang digunakan hujjah Ibnu Abbas dalam membagi warisan di atas, karena
jika ada lebihan satu ahli waris (satu ahli waris yang tidak kebagian warisan),
yang membutuhkan aul, mereka semuanya masih mendapatkan bagian fardhu,
tidak dengan bagian ashabah. Sehingga jika demikian adanya, maka tidak
boleh dikatakan adanya taqdim (mendahulukan salah satunya) atau ta’khir
(mengakhirkan salah satunya).
Dari itu, jika ada saudara
perempuankandung bersama-sama dengan suami dan beberapa saudara perempuan
seibu, maka tidak wajib–karena Allah mengugurkan bagiannya dan memberikannya
bagian yang tidak semestinya- menggugurkan bagian saudara sekandung sesuai
dengan penjelasan nash.
Pendapat ini adalah yang paling jauh
dari kebenaran maksud ayat, yang mengatur bagian-bagian ahli waris. Karena ayat
itu tetap tidak memberikan bagian setengah, setengah dan sepertiga dengan jalan
mudharabah (saling menguntungkan dengan asas pemerataan).
Pendapat Ibnu Abbas itu perlu dikaji
lagi, karena jika misalnya harta warisan itu berjumlah satu milyard, padahal si
mayat mempunyai hutang kepada orang pertama satu milyard, orang kedua satu
milyard dan orang ketiga setengah milyard, maka seluruh harta warisan di atas
dibagi rata tiga orang di atas sesuai dengan prosentase hutang mayat. Hal ini
sama dengan hukum melaksanakan wasiat,
jika wasiatnya bermacam-macam, padahal harta untuk melaksanakan wasiat tersebut
terbatas, sesuai dengan firman Allah, “(Pembagian-pembagian tersebut di
atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah di bayar
hutangnya.” (An-Nisaa’ : 12)
Pendapat Ibnu Abbas di atas dilalahnya
belum qath’i (paten), karena masih ada kemungkinan mendiskusikan dan
mencounternya. Oleh karena itu, seorang ahli waris yang telah disebutkan dalam
nash-nash yang qath’i untuk mendapatkan bagian warisan tertentu tidak boleh digugurkan haknya.
Adapun keputusan Umar, maka ia telah
mengerahkan seluruh kemampuannya –diikuti oleh para sahabat- untuk memberikn
kepada semua orang haknya, sebagaimana yang telah ditetapkan haknya oleh Allah,
dan unutuk tujuan keadilan.
Dan ketika semua ahli waris yang ada
mempunyai bagian fardhu sama, yang salah satu dari mereka tidak ada yang dapat
digugurkan, maka Umar merasa berkewajiban untuk menggunakan rasionya, agar
mereka dapat kebagian semuanya, meskipun bagiannya kurang dari yang seharusnya,
sesuai dengan ketetapan Allah. Hal ini Umar lakukan, karena ia merasa tidak ada
solusi lain yang dapat mengantarkannya untuk memutuskan maslah ini secara adil,
dan dalam waktu yang bersamaan ia harus menetapkan nash-nash yang ada.
Masalah Al-Akhdariyah
Al-Akhdariyah dari segi bahasa
mempunyai arti “masalah yang rumit”. Dari sekian permasalahan tentang warisan,
seperti aul dan warisan kakek bersama saudara-saudara, ada satu masalah
yang terkenal dengan istilah al-akdariyah, Yaitu jika ahli waris terdiri
dari suami, ibu, saudara permpuan kanung, dan kakek, dalam kasus seperti ini, Umar
dan Ibnu Mas’ud memberikan bagian setengah kepada suami, sepernam kepada ibu
(supaya tidak melebihi bagian kakek), saudara perempuan setengah, dan kepada
kakek seperenam dengan jalan aul.
Abu Bakar As-Shiddiq memberikan
bagian setengah kepada suami, sepertiga kepada ibu, saudara kandung tidak
mendapatkan bagian, sedangkan kakek menerima bagian sisa (ashabah).
Namun Ali dan Zaid mengatakan, “suami mendapat setengah,
ibu sepertiga, saudara permpuan setengah, dan kakek mendapatkan sepernam bagian
fardhu. Kemudian Zaid mengumpulkan bagian saudara perempuan dan kakek, dan
membaginya (muqasamah) dengan pembagian laki-laki mendapatkan dua bagian
perempuan. Logika yang mendasari pembagian ini adalah bahwa saudara perempuan
kandung itu tidak dapat mempunyai hak mewarisi bila bersama dengan kakek selain
dengan muqasamah.
Kesimpulan
Masalah waris telah ditentukan
secara rinci/detail oleh nash-nash Al-Qur’an, namun kasus akan tetap lebih
berfariasi dari keberadaan ayat. Oleh karena itu Implementasi/tathbiq
dari para sahabat patut untuk dikaji. Dengan alasan, untuk mempraktekkan
Al-Qur’an dan hadits-hadits dalam masalah ini tidaklah gampang.
Dari kalangan sahabat sendiri
ternyata banyak menemui kesulitan dalam memberikan putusan dalam membagi harta
warisan. Sehingga melahirkan pendapat yang berbeda karena perbedaan pemahaman
dan interpretasi terhadap nash.
Ketika menemukan perbedaan itu,
mereka kemudian memasukkan faktor-faktor lain untuk memperkuat pendapatnya,
seperti faktor rasa keadilan, ada juga yang menempuh manhaj analogis (qiyash)
dengan nash-nash lain, mengimplementasikan kaidah-kaidah umum,
menyingkap illat (alasan) dan hikmah nash dan sebagainya.
Umar adalah salah seorang sahabat
yang memiliki kemampuannya untuk mensinergikan seluruh pengetahuannya tentang nash
itu, demi mewujudkan kemaslahatan umum dan keadilan yang sesuai dengan kaidah
syar’iyah umum.
Bahwa dalam memahami suatu nash
hukum kadang lebih tepat dan harus dupahami secara tekstual tetapi jika hal
tersebut justru dirasa tidak sesuai dengan rasa keadilan maka dalil nash
tersebut harus dipahami secara kontekstual sosiologis. Kebijakan tersebut tidak
dapat serta merta dikatakan sebagai menyimpangi ayat. Bagaimana jika kita
meyakini nash secara eksplisit, padahal yang diharapkan untuk
memahaminya adalah dengan cara implisit. Sebab itulah, menurut pendapat
penulis, bahwa pada dasarnya hukum kewarisan adalah masalah qodla’i yang
harus mengedepankan logika keadilan.
Dalam menyelesaikan sengketa wari,
Umar telah mengerahkan seluruh kemampuannya diikuti oleh para sahabat untuk
memberikan kepada semua orang haknya, sebagaimana yang telah ditetapkan haknya
oleh Allah, dan untuk tujuan keadilan. Dan ketika semua ahli waris yang ada
mempunyai bagian fardhu sama, yang salah satu dari mereka tidak ada yang dapat
digugurkan, maka Umar merasa berkewajiban untuk menggunakan rasionya, agar
mereka dapat kebagian semuanya, meskipun bagiannya kurang dari yang seharusnya,
sesuai dengan ketetapan Allah. Hal ini Umar lakukan, karena ia merasa tidak ada
solusi lain yang dapat mengantarkannya untuk memutuskan maslah ini secara adil,
dan dalam waktu yang bersamaan ia harus menetapkan nash-nash yang ada.
Umar tawqquf (berhenti) untuk
mengeluarkan satu keputusan, jika ijtihad dan usahanya menemui jalan buntu,
meskipun ia tetap berusaha untuk mencari kejelasan hukum masalah-masalah
tersebut. Hal ini yang seperti yang ia lakukan dalam memutuskan masalah kalalah,
jad ma’al al-ikhwah (kakek bersama dengan beberapa saudara laki-laki),
karena sang khalifah mempunyai sifat tanggung jawab yang tinggi. Adapun ketika
beliau harus mengeluarkan satu putusan yang jelas, maka saat itu ia telah
berhasil menemukan satu penilaian positif, baik dari segi rasio, tujuan tasyri’
dan demi mewujudkan maslahat umum, dari pada harus mengambil dhahir nash
(tekstual). Hal ini dapat kita lihat dengan jelas ketika Umar memutuskan
masalah isytirak antara kedua orangtua dengan salah satu suami atau
istri (menantu), masalah aul dalam faraidh.
Wallahu’alam bishshawaab.
[1] Bakar
Ahmad bin Ali Ar-Razi Al-Jasshash Al-Hanafi, Ahkam Al-Qur’an, Juz II, hal.
111;
[2] Abu
Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Rosyad Al-Qurthubi Al- Andalusi, Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid,, Juz II, hlm 289;
[3] Ahkam
Al-Qur’an, Juz II hlm 111;
[4] Opcit.
[5] Ibnu
Rusy, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz II hal 157.
[6] Ibid,
hlm. 112
[7] Muhammad
bin Sa’ad, Ath-Thabaqat Al-Kubra, Juz III, hlm 243; Anas bin Malik, Al-Muwaththa’,
Juz II, hlm 8;
[8] Ahkam
Al-Qur’an, Juz II, hlm 105-106;
[9] Ibnu
Al-Qayyim Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub, : A’lam Al-Muwaqi’in, Juz
II,h.326;
[10] Opcit,
Juz I, hlm 246;
[11] Opcit,
hlm, 105
[12] Opcit,
hlm 106;
[13] Ahkamu
Al-Qur’an, hlm 107-109
[14] Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam
Al-Qur’an , Juz V, hlm 78;
[15] A’lam
Al-Muwaqi’in, Juz II hlm 78-79
[16]
At-Thabaqat Al-Kabir, Juz III hlm. 247
[17]
Diterbitkan dalam Majalah Qonun Wa Al-Iqtishad, Vol VIII, Edisi Muharram
1357 H.
[18] Majalah
Al-Qanun Wa al-Iqtishad, hlm 316 Tahun 1357;
[19]
Muhammad bin Idris As-Syafi’I, Ar-Risalah, Maktabah Al-Bab Al-Halabi,
hlm. 591;
[20] Ahkamu
Al-Qur’an, Juz I hlm. 94;
[21] Anas
bin Malik, Al-Muwaththa’, Juz II, hlm 6;
[22] Makalah
Dr. Ahmad Ibrahim di majalah Al- Qanun Wa Al-Iqthishad.hlm 216
[23] Dr.
Ibrahim, Majalah Al-Qanun Wa Al-Iqtishad,, Vol VIII. Hlm 16.
[24] Tafsir
Al-Qurthubi, Juz V, hlm 56-57;
[25] Opcit
[26]
Al-Qurthubi Juz V, hlm 56-58
[27] Ibid.
[28] Al-
Jasshash, Ahkam al-Qur-an, Al-Bahiyah, Mesir, Juz II. Hlm .64;
[29] Ibid.
[30] Ibid.
hlm. 113;
[31] Tafsir
Al-Qurthubi, Juz V, hlm 64.
[32] Ibnu
Rusy, Bidayatul Mujtahid, Juz II, hlm 292;
terima kasih
BalasHapus