Ummat Islam sering bersedih saat
berlebaran, seorang suami yang sudah shalat idul fitri di lapangan, tetapi
dirumah menemui kenyataan istri dan anak-anak masih berpuasa. Gagasan penyatuan
kalender Islam telah bertahun-tahun diupayakan, tetapi hasilnya dead lock, seakan-akan mempersatukan
ummat Islam yang dinyatakan oleh Allah sebagai “ummatan wakhidah” itu sulit duwujudkan walaupun untuk hal yang
sederhana. Bagai mempersatukan minyak tanah dengan air, walaupun sama-sama tampak
cair tapi tapi susah bersatu walau hanya untuk menentukan kapan tanggal 1
Syawal itu. Inilah sisi buruk ummat Islam, untuk meredam itu sebagai obat
sementara ummat cukup dininabobokkan dengan hadits dlaif “ikhtilaafu ummati rahmatun”.
Hari raya bukan sekadar ibadah
individu, tetapi terkait juga dengan aspek sosial yang berdampak luas. Saling
menghormati perbedaan masalah-masalah furu’iyah adalah obat sementara untuk
menyembuhkan keresahan, tetapi penyakit kronisnya harus dibasmi. Idealnya ummat
Islam harus memiliki fondasi ukhuwah yang kuat, sekaligus ada keseragaman
pandangan dalam menetukan puasa dan hari rayanya.
Masalah keseragaman berhari raya
menjadi cermin yang kasat mata untuk dilihat. Sangat tidak nyaman sekelompok
orang sudah makan-makan, sedangkan kelompok lainnya masih berpuasa. Apalagi
kemudian ada ungkapan haramnya puasa pada hari itu. Bagaimana pun ummat agama
lain melihat berbedanya hari raya ummat Islam digambarkan sebagai perpecahan. Karenanya
ummat Islam perlu mempunyai sistem kelender hijriyah yang mapan yang berlaku
dalam skala nasional syukur kalo bisa global.
Hampir dapat dipastikan untuk
mengawali puasa Ramadlan 1433 H nanti ummat Islam akan berbeda lagi, hal ini
disebabkan karena posisi hilal pada tanggal 29 Sya’ban 1433 H bertepatan dengan
tanggal 19 Juli 2012 di seluruh wilayah Indonesia tidak sampai 2° diatas ufuk
saat matahari terbenam (ghurub).
Untuk kota Makassar misalnya ghurub pada tanggal 19 Juli 2012 tersebut
ketinggian hilal hanya 1°19’ diatas ufuk, Jakarta 1º47’, Yogyakarta 1º48’,
Sabang 1º12’ dan Meraoke 0º 52’.
Perbedaan penetapan tanggal 1
Ramadlan maupun 1 Syawwal sebagai tersebut diatas bagi ummat Islam bukanlah
yang pertama kali, tetapi telah berkali-kali dan telah berjalan berpuluh-puluh
tahun silam. Bahkan keresahan itu akan muncul berulang-ulang tiga tahun
berturut-turut 1433,1434 dan 1435 atau tahun 2012, 2013 dan 2014.
Tanggal 25 April 2012 yang lalu,
ada berita bagaikan angin sorga yang menyegarkan bagi kita ummat Islam, karena di
Kantor Kementrian Agama di Jakarta, telah dihadirkan 60 perwakilan ormas Islam,
Pondok Pesantren, para pakar hisab-rukyat dan instansi terkait; Bosscha ITB,
LAPAN, BMKG dan Planetarium & Observatorium untuk menggagas terwujudnya Kalender
Islam Tunggal, akan tetapi setelah gagasan-gagasan kesepakatan tersebut dirumuskan
dalam butir-butir kalimat, lagi-lagi yang terjadi adalah ketidak sepakatan.
Butir 2 dan 3 kesepakatan itu berbunyi :
2). Untuk
menuju kesatuan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah dibutuhkan 3
prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pemberian dan pengakuan otoritas
kepada lembaga tertentu (MUI sejauh ini memberikan otoritas tersebut kepada
Kementerian Agama RI); 2) adanya kriteria yang disepakati; dan 3) adanya
wilayah pemberlakuan hukum;
3) Sejauh ini belum ada kesepakatan
butir kedua, yaitu mengenai kriteria awal bulan qomariyah. Untuk menuju ke
sana, pihak-pihak yang hadir dalam forum setuju untuk membentuk tim kecil
perumus kriteria yang terdiri dari perwakilan ahli hisab rukyat ormas dan
instansi terkait, dengan difasilitasi oleh Kementerian Agama dan supervisi
pimpinan ormas.
Bagi
kita yang arif, memahami butir-butik kalimat diatas lagi-lagi yang menjadikan
ketidak sepakatan adalah criteria ketinggian hilal sebagai dasar penentuan awal
bulan yang biasa disebut “imkanur rukyat”
yang bahasa ilmiyahnya biasa disebut “visibilatas hilal”
Problem Pemahaman Hadis
Imam Syafi’i telah menanamkan
pondasi epitimologis yang sangat kuat menghunjam di hati ummat Islam (fuqoha’)
ketika beliau mengeluarkan kaidah fiqhiyah “ idza shahhal al-hadits fahuwa
madzhabiy”, bahwa “ketika sebuah teks (hadits) telah teruji dan
terbukti keshahihannya itulah madzhabku”. Kaidah Syafi’i tersebut secara
paradigmatic telah menggerakkan dunia intelektual Islam utamanya dibidang hukum.
Sehingga ummat Islam (fuqoha’nya) berkutat dalam “tradisi tekstual”. Kebenaran hukum
agama hanya bisa ditentukan sejauh mana kesesuaiannya dengan bunyi literal (teks)
hadits, karena itu hadist shahih senantiasa dipegang teguh secara tekstual,
tanpa memperhatikan latar belakang sejarah (sosio historis) yang meliputinya
yang dalam bahasa ilmu musthalah
hadits diistilahkan tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan “asbaabul wurud”nya.
Paradigma Syafi’i tersebut telah
sekian lama mendominasi dan menjadi world-view
jalan pikiran ummat Islam dalam wacana hukum Islam, yang kemudian dalam tataran
methodology hukum Islam, lahirlah kaidah ushuliyah “al-’ibrotu bi umumil lafdzi la bikhususi sababi”, yang dijadikan
pegangan adalah bunyi tekstualnya buka latar belakang yang melingkupinya.
Selain argumen pemikiran
tersebut diatas ummat Islam juga berargumen dengan Al-Quran surat Al-Qolam “wa maa
yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyu yuhaa”; Muhammad tidak mengatakan
atas dasar hawa-nafsunya, tetapi semua yang dikatakan adalah semata-mata wahyu
Allah”.
Tidak bisa dibantah, bahwa hadits-hadits
tentang ru’yat adalah shahih, Imam Bukhari dalam Shahihnya setidak-tidaknya memuat
3 buah hadist dari Sahabat Abdullah bin Umar 2 hadits dan dari Abu Hurairah 1
buah hadits, Imam Muslim dalam Shahehnya juga meriwayatkan haits yang sama, sedangkan
dalam Musnad Ahmad terdapat sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas R.A. dan
hadits-hadits tersebut sangat masyhur dikalangan ummat Islam, boleh dikatakan
semua ummat Islam yang terpelajar mengatahui hadits “shuumu liru’yatihi wa afthiruu
liru’yatih.. (al-hadits)”, karena hadits ini senantiasa diceramahkan
dimasjid-masjid saat menyambut bulan ramadlan tiba.
Perintah berpuasa ramadlan
sebagai mana Allah firmankan dalam Q.S. Al-Baqarah 183 dan 185 tersebut, maksudnya adalah perintah berpuasa
selama bulan ramadlan dari tanggal 1 sampai berakhir, yaitu tanggal 29 atau
boleh jadi sampai tanggal 30, yang menjadi persoalan adalah, kapankan tanggal 1
Ramadlan dan atau 1 Syawwal itu ?
Menentukan pergantian bulan
qomariyah adalah domain “ilmu pengetahuan” bukan domain “kerasulan”. Penetuan tanggal 1
Ramadlan maupun 1 Syawal statusnya tidak ada bedanya dengan menentukan tanggal
1 Muharram, 1 Safar, 1 Rabiulawal dan bulan-bulan qomariyah lainnya. Karena
bukan domain kerasulan, maka manusia tidak memerlukan wahyu untuk menentukan itu,
maka karenanya tidak diperlukan dalil agama baik Al-Qur-an atau Hadits. Keberadaan
hadits ”Shuumu liru’yatihi waafthiruu
liru’yatihi….”, tidak harus dipedomani untuk menetukan tanggal 1 Ramadlan
atau 1 Syawwal dengan alas an, hadits tersebut substansinya hanya merupakan
reaksi kemanusiaan (basyariyah) nabi terhadap laporan sahabat yang
melaporkan kepadanya bahwa ia telah melihat hilal, sehingga kemudian beliau
member petunjuk (irsyaad), yang kalau
diterjemahkan secara bebas : “kalau kalian sudah dapat melihat hilal, berarti
bulan Sya’ban sudah habis dan sekarang kita sudah masuk tanggal 1 Ramadlan,
maka berpuasalah, nanti juga begitu, kalau kalian sudah dapat melihat hilal
berarti bulan Ramadlan telah berakhir dan kita masuk tanggal 1 Syawwal, maka
berbukalah”. Sehingga hadits “shuumuu
liru’yatih..” tersebut, tidak tepat jika “hanya” dipahami secara tekstual
yang kemudian melahirkan pemahaman “puasa ramadlan harus dilakukan kalau
sudah melihat hilal, kalau tidak melihal jangan puasa.
Memahami sebuah hadits dengan
memperhatikan konteks adalah perlu sekali, agar tidak terjebak dalam pemahaman
yang tidak tepat. Contohnya adalah hadist-hadits berikut:
- idzaa ataa ahadukum al-ghoita fa laa
yastiqbil al-qiblah wa laa tuwalliiha dhahrahu, walaakin syarriquuhu au
gharribuuhu”:
Artinya : “Jika
kalian buang air, maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya, tetapi
menghadaplah kalian ke barat atau ketimur”.
Dalam hadits tersebut Nabi memerintahkan “
menghadaplah kebarat atau ke timur”, menjadi tidak tepat kalau dipahami secara
tekstual, sebab bagi orang-orang yang berada di Indonesia menghadap kebarat justru
menghadap kearah kiblat. Memamahami secara benar makna hadits tersebut harus
mempertimbangkan konteksnya, yaitu itu karena Rasulullah saat itu berada di
Madinah, kiblat berada diselatan kota Madinah, sehingga nabi perintahkan supaya
menghadap ke barat atau timur agar tidak menghadap kiblat atau membelakanginya,
contoh lain adalah hadits :
- “Al- aimmatu min quraisyin”
Artinya : “Kepemimpinan itu harus dipegang oleh
suku Quraisy”, harus dipahami dengan mempertimbangkan konteksnya, karena suku
Quraisy saat itu adalah suku yang besar, terkenal lebih maju, lebih cakap dan
lebih berpengaruh diantara suku-suku yang ada di Zazirah arab, maka untuk
kebaikan kiranya bijaksana jika yang memimpin mereka adalah dari suku Quraisy.
Hadits tersebut kiranya telah tidak relevan lagi jika tetap kita jadikan acuan
saat ini.
Latar Belakang Budaya Masyarakat Arab
Jauh sebelum nabi Muhammad
diutus, masyarakat arab tentunya sudah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam
menentukan pergantian bulan qomariyah (lunar
system) yang jumlahnya 12 itu. Masyarakat arab adalah masyarakat yang
sangat sederhana, sangat berbeda dengan masyarakat disekitarnya misalnya
Mesopotomia (Mesir) yang sejak 3000 tahun sebelum masehi mereka sudah jauh
lebih maju bahkan mereka sudah dapat membuat piramida; Persia dan Rumawi adalah
Negara superpower ang jauh lebih maju dari dunia arab.
Masyarakat arab dimasa
Rasulullah benar-benar sederhana (ummiy),
mereka belum menemukan teknologi apapun, “roda” saja mereka belum mengenal,
padahal roda itu suatu penemuan yang amat membantu kehidupan manusia. Dengan
roda system transformasi manusia lebih efektif dan effesien, sehingga alat tranformasi masyarakat arab
satu-satuinya adalah hewan, kuda, unta, bighal/keledai, khimar tidak mengenal
gerobak, pedati/dokar. Kesederhanaan masyarakat arab dijelaskan oleh Al-Qur-an,
sehingga Al-Quranpun menggunakan bahasa yang sederhana dalam mengajarkan ilmu
pengetahuan. Pola hidup mereka juga sederhana, semua permasalahan hidupnya
senantiasa ditanyakan kepada nabi, sehingga dalam Al-Qur-an banyak ayat-ayat
didahului dengan kata-kata “Yas aluunaka
‘anil ahillah, yasalunnaka ‘anil makhiid, yasaluunaka ‘anir ruuh, ya’alunaka
‘anil anfaal, dll ‘.
Disaat mereka bertanya tentang
ketentuan puasa kapan mulai dan kapan mereka dapat berbuka, Allahpun
menerangkan dengan bahasa yang amat-amat sederhana sebagaimana disebut dalam
Surat Al-Baqoroh ayat 187: “kuluu
wasyrabuu hatta yatabayyana lakumul haithul abyadu minal haitil aswadi minal
fajar” artinya : “Makan dan minumlah kalian sampai kamu dapat membedakan
benang putih dengan benang merah pada waktu fajar”. Untuk melaksanakan
ketentuan ini terdapat riwayat bahwa para sahabat saat menjelang tidur, mereka
menyiapkan dua benang berwarna hitam dan putih, saat dia bangun tidur malam karena
belum ada lampu listrik, belum ada jam dinding, belum ada radio, belum ada
televisi belum ada hand phon untuk bertanya kepada sahabat yang lain, maka yang
dia lakukan adalah upaya membedakan warna benang yang telah disediakan itu,
mana yang hitam dan mana yang putih, Jika mereka sudah bisa membedakan maka dia
imsak. Itulah keadaan sahabat saat
itu, sehingga gejala alam merupakan pedoman mereka.
Nabi sendiri tidak mengerti ilmu
hisab, hadits Ibn Abbas meriwayatkan “ kunna ummatun ummiyatun laa naktubu
wa laa nahsibu, wasy-syahru ha kadza wa ha kadza…”. (H.S.R. Al-Buhari,
Muslim. Abu Dawud dan Nasa’I dari Ibnu Abbas). Keawaman dan keummiyan nabi
dalam hal ini tidak menurunkan derajad beliau sebagai Rasulullah. Saat terjadi
gerhana nabi tidak pernah menyinggung sama sekali sebab-sebab ilmiyahnya, nabi
hanya menjelaskan itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah, kerjakan shalat,
berbanyak-banyaklah beristighfar dan bershodaqoh, itulah tugas Rasul. Dari
riwayat-riwayat yang ada jelas bahwa Nabi dan para Sahabat belum
menggunakan/mengenal ilmu hisab dan bisa dipastikan bahwa Nabi dan para Sahabat
tidak tahu fenomena “Ijtima’” sebagaimana yang diketahui ilmuwan sekarang.
Keterjagaan Rasulullah Dari Kesalahan
Kema’suman Rasulullah S.A.W.
(Al-‘Ishmah) tidak dalam semua aspek perbuatannya, tetapi terbatas dalam
hal-hal menyampaikan Al-Qur-an yang diwahyukan kepadanya dalam susunan kata dan
maknanya sekaligus, persis sebagaimana beliau menerimanya dari Allah dalam
bentuk kata dan ujaran dan beliau terjaga dalam tugasnya dalam menyampaikan
risalah kepada manusia. Dan Rasulullah terjaga (tidak terjerumus) ke dalam
tindakan haram dan tidak melampaui batas-batas yang ditentukan Allah. Hal ini
sesuai dengan firman Allah :
* $pkš‰r'¯»tƒ ãAqß™§9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌ“Ré& šø‹s9Î) `ÏB y7Îi/¢‘ (
bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$y™Í‘ 4
ª!$#ur šßJÅÁ÷ètƒ z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3
¨bÎ) ©!$# Ÿw “ωöku‰ tPöqs)ø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÏÐÈ
Artinya : “Hai rasul,
sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia, sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Q.S. Al-Maidah 67);
Ketaan kepada Nabi Muhammad S.A.W. adalah dalam
dataran Ar-Risalah atau
fungsinya sebagai seorang rasul atau
pembawa risalah, tidak dalam dataran dan kapasitas beliau sebagai manusia.
Dalam masalah-masalah duniawi apalagi masalah teknis duniawi nabi tidak
memiliki sifat “ishmah” atau nabi
tidak makshum, karena hal itu diserahkan kepada ummanya, contoh:
1. Hadits nabi kepada petani kurma di Madinah, supaya mereka
mengawinkan bunga jantan dan bunga betina, ternyata hasilnya tidak lebih bagus
dari yang biasa dilakukan oleh petani Madinah tersebut, sehingga para petani
mempertanyakan perintah Nabi tersebut. Maka Nabipun bersabda ” Inkaana min umuri dinikum fa ilayya, in kana
min umuri dunyakum faantu a’lamu biumuri dunyaakum”;
2.
Hadits-hadits nabi tentang
menyusun pertahanan Negara dan siasat dalam peperangan, setelah ditanyakan
kepada beliau apakah ini wahyu atau pendapat Nabi? Nabi menjelaskan itu sekedar
pendapat. Sahabat yang ahli strategi peperangan melakukan koreksi, maka Nabipun
mengikuti pendapat sahabat yang dirasa lebih strategis dan masuk akal;
3. Hadits nabi dalam memeriksa, mengadili dan memutus terhadap 2
(dua) orang yang sedang bersengketa dihadapannya. Setelah putusan itu
dijatuhkan, nabipun kemudian menyatakan “Innama
ana basyarun mitslukum…. , dst; Sesungguhnya aku adalah manusia biasa
seperti kalian… dst”
4. Hadits nabi,tentang
peristiwa desas-desus bahwa sebagian sahabat-sahabat di Madinah ( yang
punya anak perempuan) sangat berkeinginan agar sahabat Ali bin Abi Thalib mau
mengawini putrinya (berpoligami) padahal beliau adalah suami Fathimah binti
Muhammad S.A.W.; Mendengar berita ini, nabi berkeberatan dan beliau bersabda “
Fathimah adalah darah dagingku barang siapa yang menyakitinya sama halnya
menyakitiku !”; Pernyataan nabi ini dalam perspektif ushul fiqih tidak dapat dijadi dasar hokum bahwa nabi tidak menyetujui
poligami, karena sikap demikian adalah “Jibilliyah” sifat dari seorang
manusia. Keberatan nabi itu bukan cerminan dari sikap nabi sebagai Rasulullah,
tetapi sikap nabi sebagai seorang bapak yang tidak tega melihat anaknya dimadu.
5. Hadits nabi tentang, bahwa nabi bersedih dan bahkan juga
menangisi putranya bernama Ibrahim yang meningal dunia, menangisnya Rasulullah
tidaklah harus diteladani pula.
6. Dan lan-lain hadits yang
tidak mungkin disebutkan dalam pembahasan ini.
Dari hadits-hadits tersebut kita dapat mengambil
kesimpulan, tidak semua hadits harus kita pahami dan kita pedomani secara
tekstual, mempertimbangkan latar belakang sejarah hadits itu diinstruksikan
oleh nabi adalah sangat membatu memberikan makna dan kesimpulan hokum yang lebih tepat.
Implementasi Hadis Rukyah Di Masa Rasulullah
dan Khulafaur-Rasyidin
Dalam hal-hal penting berkaitan
dengan agama, biasanya Nabi membentuk ekspidisi guna mengurus/menjalankan
sesuatu perintahnya, penentuan 1 Ramadlan dan 1 Syawal adalah amat penting, karena
menyangkut pelaksanaan ibadah, tetapi tidak ada riwayat bahwa Nabi membentuk
devisi agar sahabat memantau hilal (merukyat). Setelah Rasulullah wafat
kepemimpinan ummat Islam dilanjutkan oleh khulafaur-rasyidin Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali bin Abi Thalib juga tidak terdapat riwayat bahwa mereka
menugaskan sahabat untuk melakukan rukyatul hilal sebagaimana yang dilakukan
orang-orang sekarang ini.
Para sahabat adalah manusia yang
paling antusias dan gemar menjaga dan melaksanakan perintah Rasulullah baik
berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Mereka adalah manusia yang
paling tahu tentang teks-teks sunnah dan amat peka terhadap apa yang dimaksud
Rasulullah kemudian mereka akan bergegas melaksanakan perintah itu. Meraka
adalah orang-orang yang menyaksikan dari hari ke hari bersama Rasulullah
meskipun sunah-sunah tersebut saat itu tidak ditulis (terkodifikasi). Tetapi
tidak ada sebuah riwayatpun bahwa para sahabat menindak lanjuti perintah ru’yat
itu seperti yang dilakukan orang sekarang. Ini menunjukkan bahwa perintah nabi
tersebut difahami oleh para sahabat hanya berfungsi irsyad (petunjuk), sekaligus mengindikasikan bahwa menetukan
pergantian bulan tersebut diserahkan kepada manusia dan kebiasaan-kebiasaan
mereka bukan tugas kerasulan. Puasanya memang ta’abbudi tetapi penetuan tanggal
1 Ramadlan dan tanggal 1 Syawal adalah ta’aqquli.
Karena itulah tidak salah jika
ada sementara orang berpendapat bahwa merukyat hilal itu tidak ada sandaran
perintahnya dari sunnah nabi dan khulafaur-rasyidin. Tetapi kalau jika itu
dilakukan justru akan memicu terjadinya perpecahan, maka sebaiknya kita
tinggalkan. Yakinlah dengan kebenaran hisab sebagaimana ummat Islam telah
meyakini kebenaran Jadwal Imsakiyah sebagai salah satu produk hisab.
Selama ummat Islam dalam
menentukan pergantian bulan qomariyah untuk bulan Ramadlan dan Syawal dianggap sebagai masalah ta’abbudi
sehingga harus berpegang pada hadist-hadits tentang “ru’yah”, maka selama itu pula akan terjebak pada perbedaan, karena
akan tetap terikat menggunakan kriteria ketinggian hilal sebagai tafsir kata
“ru’yah”; yang harus diartikan “imkanur
rukyah”, ketinggiannya semula disyaratkan 8 derajat, kemudian turun 6
derajat, kemudian turun 4 derajat, sekarang populer cukup 2 derajat, karena
ketinggian 2 derajat juga susah ditemukan, maka kemudian naik lagi menjadi 3,5
derajat dan seterusnya dan seterusnya.
Kebenaran Ilmu Pengetahuan dan Kebenara Agama
Dalam kulliyah Al-Islam sering
dinyatakan bahwa kebenaran agama berbeda dengan kebenaran ilmu pengetahuan.
Kebanaran agama bersifat mutlak sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan adalah
bersifat nisbi, sehingga kebenaran ilmu pengetahuan terus berproses. Kebenaran
pergantian bulan ditandai dengan terlihatnya “hilal” adalah kebenaran ilmiyah,
bukan kebenaran agama. Oleh karena itu dapat berubah asal disertai dengan
bukti-bukti yang logis dan ilmiyah. Jika kita beranggapan bahwa menentukan
tanggal 1 Ramadlan dengan dapatnya melihat “hilal” itu adalah kebenaran agama
yang tidak perlu berproses, maka kita tinggalkan saja hisab. Hal tersebut akan
bertentangan dengan fakta ilmu pengetahuan bahwa perjalan bulan dan matahari
dapat dikethui oleh manusia secara pasti, sehingga ilmu hisab tersebut disebut
“ilmu pasti”.
Mencari tahu kapan terjadinya pergantian
bulan qomariyah adalah mencari kebenaran ilmiyah bukan kebenaran agama walaupun
kebenaran ilmiyah tersebut kemudian digunakan sebagai pelaksanaan ibadah karena
ibadah tersebut berkaitan dengan waktu. Kebenaran ilmiyah bisa diterima jika
dilengkapi dasar-dasar dan alasan yang logis sehinga dapat diterima oleh orang
sebanyak-banyaknya. Kebenaran ilmu pengetahuan tidak memerlukan dalil agama (Al-Qur-an
atau Hadits). Kebanaran yang logis sehingga diterima oleh banyak orang
tingkatnya menjadi sangat tinggi sehingga seluruh manusia bisa menerima
sehingga mencapai apa yang disebut kesepakatan ilmiyah. Inipun sebenarnya
dilihat dari kacamatan filsafat masih kebenaran relative. Contoh :
1. 4 x 4 = 16 (enam belas) adalah kebenaran logis (ilmiyah)m
yang telah lama tidak berubah dan telah menjadi kesepakatan, karena belum ada
dalil lebih logis yang mampu merubah kesepakatan tersebut;
2. Lingkaran itu besarnya 360° dianggap logis dan kesepakatan
ilmiyah;
3. Dalam segitiga jumlah sudutnya adalah 180° dan dalam segitiga
sama sisi ketiga sudutnya sama besar, adalah kebenaran ilmiyah dan
disepakati;
4. Garis meredian 0° yang menjadi batas hari menurut solar sestem adalah meridian yang lalui
kota Grenwicg, adalah kesepakatan ;
5. Menurut ilmu hisab matahari beredar dalam orbitnya dari arah
barat ke timur, yang kemudian kembali pada posisnya semula selama 1 (satu)
tahun, adalah kesepakatan ilmiyah, bulanpun demikian beredar dalam orbitnya dari
arah barat ke timur, mengitari bumi, kemudian selama 29 hari lebih sedikit,
matahari dan bulan sama-sama dalam garis ekleptika langit yang diistilahkan
Ijtima’, itu adalah kesepakatan ilmiyah;
Hal-hal sebagai tersebut diatas oleh ilmu
pengetahuan dianggap benar dan disepakati kebenarannya. Kebenarannya ilmiyah tidak
memerlukan dalil agama (wahyu) dan suatu saat dapat saja berubah dianggap salah
jika ditemukan alasan yang lebih logis bahwa hal tersebut tidak sesuai lagi
dengan kebenaran.
Kiranya argument tersebut membuka
pikiran kita bahwa masalah ilmu pengetahuan yang paling diperlukan adalah “kesepakatan”,
kesepakatan itu akan terwujud jika orang lain bersedia menerima, supaya orang
lain dapat menerima maka diperlukan alasan-alasan yang logis. Menurut hemat
saya Ijtima’ sebagai batas awal dan akhir bulan qomariyah memenuhi
alasan-alasan logis.
Fenomena Ijtima (Conjungtion).
Ijtima (konjungsi) terjadi dalam
satu kali sebulan dan itu pasti serta pada saat yang sama di seluruh dunia, jikalau
terdapat perbedaan karena perbedaan sistem, maka hal tersebut tidak berpengaruh
banyak karena dalam hitungan menit saja, bahkan jika menggunakan hisab haqiqi
bit-tahqiq (kontemporer) seperti Jhon Meus, Nautical Almanac, Ephimeris Sistem,
New Com, maka perbedaan itu dalam hitungan detik, sehingga tidak ada pengaruh
yang signifikan. System ijtima’ memiliki criteria-criteria yang unik dan lebih mempersempit
lokasi/daerah kritis (batas tanggal). Ibarat orang membuat lin/garis lapangan
tenes, semakin tipis garis/lin tersebut kita buat semakin sedikit bola jatuh di
garis tersebut. Sebaliknya semakin lebar garis/lin yang kita buat, semakin
banyak bolah yang jatuh digaris itu, dampak logisnya akan lebih banyak menimbulkan
perbedaan dan bahkan kekecewaan pemain.
Sebagaimana telah disepakati
bahwa pergantian hari berdasarkan lunar system (qomariyah) adalah waktu ghurub
(maghrib). Misalkan berdasarkan hisab ijtima tanggal 29 Sya’ban terjadi pada
jam 17.43’.12” WITA, sedangkan ghurub
(maghrib) untuk kota Makassar juga pada jam 17.43’.12” WITA (sama persis dengan
detiknya), maka hanya kota Makassar saja dan dearah lain yang maghribnya sama
persisis jam menit dan detiknya (jam 17.43’.12” WITA) adalah daerah kritis
(batas tanggal), adapun kota lain yang hasil hisabnya maghrib jam 17.42’.45”
WITA (bedanya tidak sampai 1 menit) sudah tidak termasuk batas tanggal,
sehingga kota Bone, kota Wajo, kota Sengkang, kota Pare-Pare, kota Soppeng bisa
ditentukan masih bulan yang lama atau sudah masuk bulan baru, karena
berdasarkan perhitungan hisab ghurubnya (maghribnya) kota-kota tersebut sudah
berbeda walaupun dalam hitungan detik (subhanallah).
Itulah kelebihan bila kita menggunakan paradigma ijtima’ sebagai batas awal dan
akhir bulan qomariyah.
Di era digital ini seharus kita
ummat Islam percaya kepada hasil hisab. Karena dengan perbedaan hitungan
detikpun kita telah mempunyai landasan pemutus. Misalkan waktu maghrib disuatu
tempat adalah jam 17.50’.30”, maka masyarakat yang sengaja berbuka jam 17.50.00
adalah batal puasanya karena secara hokum belum masuk waktu maghrib.
Ilmu hisab kini telah merambah
dunia dan bukan ilmu yang sulit, manusia telah dapat menyusun kalender yang
dipercayai, tetapi tetap saja setiap tanggal
1 Ramadlan dan 1 Syawal senantiasa menjadi pergunjingan seakan-akan tidak lagi percaya
dengan kalender yang telah dibuat. Hal tersebut karena kita berpegang pada
paradigma yang parsial, untuk tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal itu adalah ibadah
(ta’abbudi) harus berpegang pada nash,
Sedangkan untuk penentuan 1 Muharram, 1 Safar, 1 Dzulqo’dah adalah dunmiawi (ta’aqquli). Puasanya adalah ibadah untuk
menentukan tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawwal bukan ibadah.
Selama kita memakai ru’yat, atau
menggabungkan dua madzhab hisab dan ru’yat untuk menetukan jatuhnya tanggal 1
Ramadlan atau 1 Syawwal maka pada saat-saat ketinggian hilal kritis akan memunculkan
perbedaan.
Kalau boleh mengandai-andai,
seandainya saat Rasulullah masih hidup dan pada saat itu sudah ada yang
tahu ilmu hisab, maka Nabi akan
mempedomani hisab “Ijtima’” sebagai pedoman penetapan tanggal baru tiap bulan
bukan lagi atas dasar melihat hilal.
Tanggalkan hadits itu, yang
berhak menentukan pergantian bulan qomariyah baik 1 Ramadlan, 1 Syawal atau
bulan-bulan lainnya itu tugas ilmuwan, Nabi sendiri sudah pernah menyatakan ” Antum ‘a’lamu bi umuri dunyakum”;
Kesimpulan:
1.
Menentukan awal bulan qomariyah
termasuk bulan Ramadlan dan Syawwal adalah masalah ta’aqquli, tidak perlu pedoman
dalil agama (Al-Qur-an maupun Hadits); Nabi sendiri menyatakan ” antum a’lamu bi umuuri dunyakum.
2.
Perintah nabi memulai puasa jika sudah
melihat hilal, adalah reaksi basyariyah
(kemanusiaan) nabi, yang saat itu masyarakat memahami pergantian bulan qomariyah
ditandai dengan terlihatnya hilal. Hal itu bukan kebenaran agama yang bersifat
muthlak tetapi kebenaran ilmiyah yang terjadi saat itu. Karena itu terlihatnya
hilal bukan satu-satunya cara penentuan masuknya bulan baru, karena kebenaran
ilmu pengetahuan itu senantiasa berkembang berubah dan perlu terus dievaluasi.
Jika nanti diketemukan hal baru yang lebih rasionil dan ilmiyah maka tentu
harus kita terima sebagai suatu kebenaran.
3.
Para sahabat adalah manusia yang
paling antusias dan serius menindak lanjuti perintah nabi, tetapi mereka tidak
membentuk kelompok-kelompok untuk ru’yat, hal ini dapat diartikan bahwa
perintah nabi tersebut hanya “irsyad”.
4.
Gerakan “merukyat hilal” tidak ada
landasan perintahnya dari sunnah, tidak efektif dan cenderung tabdzir (pemborosan) karena sudah ada
hisab yang lebih bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiyah. Sulitnya merukyat
hilal, menjadikan penyebabkan ketidak percayaan masyarakat kepada hasil hisab.
Perkara system yang mana yang kita pakai terserah ilmuwan dan silahkan
diefaluasi terus menerus.
5.
Methode hisab yang telah berjalan
selama ini secara ilmiyah dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya dan telah
dipercayaai sebagai penentuan waktu (Jadwal Imsakiyah). Maka semestinya kita ummat
Islam juga menerima penetapan pergantian bulan atas dasar hisab;
6.
Ijtima’ (konjungsi) sebagai fenomena
yang spesifik, karena terjadi sekali setiap bulan saatnya hanya satu, sehingga
penyusunan kalender dan penentuan “awal dan akhir” bulan qomariyah lebih logis,
ilmiyah dan rasionil bila atas dasar paradigma ijtima’;
7.
Selama ummat Islam masih
mempedomani hadist-hadits ru’yah sebagai dasar pergantian bulan Sya’ban ke
Ramadlan atau Ramadlan ke Syawwal, selama itu pula akan terikat dengan
kriteria-kriteria ketinggian hilal, akibatnya selama itu tidak akan menemukan
titik temu.
8.
Menggunakan system rukyat
bersama-sama hisab adalah dua hal yang tidak mungkin, karena ru’yat senantiasa
akan tetap berteguh pada criteria imkanur rukyat, sementara kegiatan hisab
adalah mencari ijtima’ dan tidak perlu mensyaratkan imkanur rukyat.
Wacana tidak perlu mempedomani hadits “shuumuu liru’yatihi,,,
telah ada dibenak sebagian ummat Islam, namun selama dalam sidang-sidang “istbat hilal”, di Kementrian Agama RI tidak
ada ormas yang berani melontarkan gagasan mengesampingkan hadits-haidits tersebut,
karena resiko organisasinya bisa mendapatkan stigma negative ” ingkarus-sunnah” atau Jaringan Islam
Liberal (JIL) atau mungkin bisa saja “kafir” (takfir);
Kalau ingin tidak akan terjadi perbedaan agar tidak mengganggu
social kita, tinggalkan criteria “imkanur ru’yah dan wujudul hilal” percayalah
dengasn hasil hisab sebagaimana kita percaya “Jadwal Imsakiyah” sebagai salah
satu produknya.
Jadikan paradigm “IJTIMA”
sebagai penentu awal dan akhir bulan qomariyah, kalau diibaratkan orang membuat
lin/garis lapangan tennes, maka kita membuat lin/garis yang tipis, sehingga tidak
banyak bola mati, kalau menggunakan imkanur rukyah 2 derajat atau 9 jam setelah
ijtima’ maka lin/garis batah tanggal akan tebal/lebar sehingga semakin luas
daerah-daerah yang terlintasi garis tanggal, sehingga menggunakan saat ijtima’ sedikit
resistensinya bahkan kita dapat membuat garis tanggal dengan menggunakan menit
atau detik kalau mau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar