Kamis, 26 Juli 2012

MENYOAL VISIBILITAS HILAL SEBAGAI KRITERIA BULAN BARU QOMARIYAH


Ummat Islam sering bersedih saat berlebaran, seorang suami yang sudah shalat idul fitri di lapangan, tetapi dirumah menemui kenyataan istri dan anak-anak masih berpuasa. Gagasan penyatuan kalender Islam telah bertahun-tahun diupayakan, tetapi hasilnya dead lock, seakan-akan mempersatukan ummat Islam yang dinyatakan oleh Allah sebagai “ummatan wakhidah” itu sulit duwujudkan walaupun untuk hal yang sederhana. Bagai mempersatukan minyak tanah dengan air, walaupun sama-sama tampak cair tapi tapi susah bersatu walau hanya untuk menentukan kapan tanggal 1 Syawal itu. Inilah sisi buruk ummat Islam, untuk meredam itu sebagai obat sementara ummat cukup dininabobokkan dengan hadits dlaif “ikhtilaafu ummati rahmatun”.
Hari raya bukan sekadar ibadah individu, tetapi terkait juga dengan aspek sosial yang berdampak luas. Saling menghormati perbedaan masalah-masalah furu’iyah adalah obat sementara untuk menyembuhkan keresahan, tetapi penyakit kronisnya harus dibasmi. Idealnya ummat Islam harus memiliki fondasi ukhuwah yang kuat, sekaligus ada keseragaman pandangan dalam menetukan puasa dan hari rayanya.


Masalah keseragaman berhari raya menjadi cermin yang kasat mata untuk dilihat. Sangat tidak nyaman sekelompok orang sudah makan-makan, sedangkan kelompok lainnya masih berpuasa. Apalagi kemudian ada ungkapan haramnya puasa pada hari itu. Bagaimana pun ummat agama lain melihat berbedanya hari raya ummat Islam digambarkan sebagai perpecahan. Karenanya ummat Islam perlu mempunyai sistem kelender hijriyah yang mapan yang berlaku dalam skala nasional syukur kalo bisa global.
Hampir dapat dipastikan untuk mengawali puasa Ramadlan 1433 H nanti ummat Islam akan berbeda lagi, hal ini disebabkan karena posisi hilal pada tanggal 29 Sya’ban 1433 H bertepatan dengan tanggal 19 Juli 2012 di seluruh wilayah Indonesia tidak sampai 2° diatas ufuk saat matahari terbenam (ghurub). Untuk kota Makassar misalnya ghurub pada tanggal 19 Juli 2012 tersebut ketinggian hilal hanya 1°19’ diatas ufuk, Jakarta 1º47’, Yogyakarta 1º48’, Sabang 1º12’ dan Meraoke 0º 52’.
Perbedaan penetapan tanggal 1 Ramadlan maupun 1 Syawwal sebagai tersebut diatas bagi ummat Islam bukanlah yang pertama kali, tetapi telah berkali-kali dan telah berjalan berpuluh-puluh tahun silam. Bahkan keresahan itu akan muncul berulang-ulang tiga tahun berturut-turut 1433,1434 dan 1435 atau tahun 2012, 2013 dan 2014.
Tanggal 25 April 2012 yang lalu, ada berita bagaikan angin sorga yang menyegarkan bagi kita ummat Islam, karena di Kantor Kementrian Agama di Jakarta, telah dihadirkan 60 perwakilan ormas Islam, Pondok Pesantren, para pakar hisab-rukyat dan instansi terkait; Bosscha ITB, LAPAN, BMKG dan Planetarium & Observatorium untuk menggagas terwujudnya Kalender Islam Tunggal, akan tetapi setelah gagasan-gagasan kesepakatan tersebut dirumuskan dalam butir-butir kalimat, lagi-lagi yang terjadi adalah ketidak sepakatan.
Butir 2 dan 3 kesepakatan itu berbunyi :
2). Untuk menuju kesatuan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah dibutuhkan 3 prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pemberian dan pengakuan otoritas kepada lembaga tertentu (MUI sejauh ini memberikan otoritas tersebut kepada Kementerian Agama RI); 2) adanya kriteria yang disepakati; dan 3) adanya wilayah pemberlakuan hukum;
3) Sejauh ini belum ada kesepakatan butir kedua, yaitu mengenai kriteria awal bulan qomariyah. Untuk menuju ke sana, pihak-pihak yang hadir dalam forum setuju untuk membentuk tim kecil perumus kriteria yang terdiri dari perwakilan ahli hisab rukyat ormas dan instansi terkait, dengan difasilitasi oleh Kementerian Agama dan supervisi pimpinan ormas.
Bagi kita yang arif, memahami butir-butik kalimat diatas lagi-lagi yang menjadikan ketidak sepakatan adalah criteria ketinggian hilal sebagai dasar penentuan awal bulan yang biasa disebut “imkanur rukyat” yang bahasa ilmiyahnya biasa disebut “visibilatas hilal
Problem Pemahaman Hadis
Imam Syafi’i telah menanamkan pondasi epitimologis yang sangat kuat menghunjam di hati ummat Islam (fuqoha’) ketika beliau mengeluarkan kaidah fiqhiyah “ idza shahhal al-hadits fahuwa madzhabiy”, bahwa “ketika sebuah teks (hadits) telah teruji dan terbukti keshahihannya itulah madzhabku”. Kaidah Syafi’i tersebut secara paradigmatic telah menggerakkan dunia intelektual Islam utamanya dibidang hukum. Sehingga ummat Islam (fuqoha’nya) berkutat dalam “tradisi tekstual”. Kebenaran hukum agama hanya bisa ditentukan sejauh mana kesesuaiannya dengan bunyi literal (teks) hadits, karena itu hadist shahih senantiasa dipegang teguh secara tekstual, tanpa memperhatikan latar belakang sejarah (sosio historis) yang meliputinya yang dalam bahasa ilmu musthalah hadits diistilahkan tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan “asbaabul wurud”nya.
Paradigma Syafi’i tersebut telah sekian lama mendominasi dan menjadi world-view jalan pikiran ummat Islam dalam wacana hukum Islam, yang kemudian dalam tataran methodology hukum Islam, lahirlah kaidah ushuliyah “al-’ibrotu bi umumil lafdzi la bikhususi sababi”, yang dijadikan pegangan adalah bunyi tekstualnya buka latar belakang yang melingkupinya.
Selain argumen pemikiran tersebut diatas ummat Islam juga berargumen dengan Al-Quran surat Al-Qolam  “wa maa yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyu yuhaa”; Muhammad tidak mengatakan atas dasar hawa-nafsunya, tetapi semua yang dikatakan adalah semata-mata wahyu Allah”.
Tidak bisa dibantah, bahwa hadits-hadits tentang ru’yat adalah shahih, Imam Bukhari dalam Shahihnya setidak-tidaknya memuat 3 buah hadist dari Sahabat Abdullah bin Umar 2 hadits dan dari Abu Hurairah 1 buah hadits, Imam Muslim dalam Shahehnya juga meriwayatkan haits yang sama, sedangkan dalam Musnad Ahmad terdapat sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas R.A. dan hadits-hadits tersebut sangat masyhur dikalangan ummat Islam, boleh dikatakan semua ummat Islam yang terpelajar mengatahui hadits “shuumu liru’yatihi wa afthiruu liru’yatih.. (al-hadits)”, karena hadits ini senantiasa diceramahkan dimasjid-masjid saat menyambut bulan ramadlan tiba.
Perintah berpuasa ramadlan sebagai mana Allah firmankan dalam Q.S. Al-Baqarah 183 dan  185 tersebut, maksudnya adalah perintah berpuasa selama bulan ramadlan dari tanggal 1 sampai berakhir, yaitu tanggal 29 atau boleh jadi sampai tanggal 30, yang menjadi persoalan adalah, kapankan tanggal 1 Ramadlan dan atau 1 Syawwal itu ?  
Menentukan pergantian bulan qomariyah adalah domain “ilmu pengetahuan” bukan domain “kerasulan”. Penetuan tanggal 1 Ramadlan maupun 1 Syawal statusnya tidak ada bedanya dengan menentukan tanggal 1 Muharram, 1 Safar, 1 Rabiulawal dan bulan-bulan qomariyah lainnya. Karena bukan domain kerasulan, maka manusia tidak memerlukan wahyu untuk menentukan itu, maka karenanya tidak diperlukan dalil agama baik Al-Qur-an atau Hadits. Keberadaan hadits ”Shuumu liru’yatihi waafthiruu liru’yatihi….”, tidak harus dipedomani untuk menetukan tanggal 1 Ramadlan atau 1 Syawwal dengan alas an, hadits tersebut substansinya hanya merupakan reaksi kemanusiaan (basyariyah) nabi terhadap laporan sahabat yang melaporkan kepadanya bahwa ia telah melihat hilal, sehingga kemudian beliau member petunjuk (irsyaad), yang kalau diterjemahkan secara bebas : “kalau kalian sudah dapat melihat hilal, berarti bulan Sya’ban sudah habis dan sekarang kita sudah masuk tanggal 1 Ramadlan, maka berpuasalah, nanti juga begitu, kalau kalian sudah dapat melihat hilal berarti bulan Ramadlan telah berakhir dan kita masuk tanggal 1 Syawwal, maka berbukalah”. Sehingga hadits “shuumuu liru’yatih..” tersebut, tidak tepat jika “hanya” dipahami secara tekstual yang kemudian melahirkan pemahaman “puasa ramadlan harus dilakukan kalau sudah melihat hilal, kalau tidak melihal jangan puasa.
Memahami sebuah hadits dengan memperhatikan konteks adalah perlu sekali, agar tidak terjebak dalam pemahaman yang tidak tepat. Contohnya adalah hadist-hadits berikut:
- idzaa ataa ahadukum al-ghoita fa laa yastiqbil al-qiblah wa laa tuwalliiha dhahrahu, walaakin syarriquuhu au gharribuuhu”:
Artinya : “Jika kalian buang air, maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya, tetapi menghadaplah kalian ke barat atau ketimur”.
Dalam hadits tersebut Nabi memerintahkan “ menghadaplah kebarat atau ke timur”, menjadi tidak tepat kalau dipahami secara tekstual, sebab bagi orang-orang yang berada di Indonesia menghadap kebarat justru menghadap kearah kiblat. Memamahami secara benar makna hadits tersebut harus mempertimbangkan konteksnya, yaitu itu karena Rasulullah saat itu berada di Madinah, kiblat berada diselatan kota Madinah, sehingga nabi perintahkan supaya menghadap ke barat atau timur agar tidak menghadap kiblat atau membelakanginya, contoh lain adalah hadits :
-    Al- aimmatu min quraisyin
Artinya : “Kepemimpinan itu harus dipegang oleh suku Quraisy”, harus dipahami dengan mempertimbangkan konteksnya, karena suku Quraisy saat itu adalah suku yang besar, terkenal lebih maju, lebih cakap dan lebih berpengaruh diantara suku-suku yang ada di Zazirah arab, maka untuk kebaikan kiranya bijaksana jika yang memimpin mereka adalah dari suku Quraisy. Hadits tersebut kiranya telah tidak relevan lagi jika tetap kita jadikan acuan saat ini. 
Latar Belakang Budaya Masyarakat Arab
Jauh sebelum nabi Muhammad diutus, masyarakat arab tentunya sudah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam menentukan pergantian bulan qomariyah (lunar system) yang jumlahnya 12 itu. Masyarakat arab adalah masyarakat yang sangat sederhana, sangat berbeda dengan masyarakat disekitarnya misalnya Mesopotomia (Mesir) yang sejak 3000 tahun sebelum masehi mereka sudah jauh lebih maju bahkan mereka sudah dapat membuat piramida; Persia dan Rumawi adalah Negara superpower ang jauh lebih maju dari dunia arab.
Masyarakat arab dimasa Rasulullah benar-benar sederhana (ummiy), mereka belum menemukan teknologi apapun, “roda” saja mereka belum mengenal, padahal roda itu suatu penemuan yang amat membantu kehidupan manusia. Dengan roda system transformasi manusia lebih efektif dan effesien,  sehingga alat tranformasi masyarakat arab satu-satuinya adalah hewan, kuda, unta, bighal/keledai, khimar tidak mengenal gerobak, pedati/dokar. Kesederhanaan masyarakat arab dijelaskan oleh Al-Qur-an, sehingga Al-Quranpun menggunakan bahasa yang sederhana dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Pola hidup mereka juga sederhana, semua permasalahan hidupnya senantiasa ditanyakan kepada nabi, sehingga dalam Al-Qur-an banyak ayat-ayat didahului dengan kata-kata “Yas aluunaka ‘anil ahillah, yasalunnaka ‘anil makhiid, yasaluunaka ‘anir ruuh, ya’alunaka ‘anil anfaal, dll ‘.
Disaat mereka bertanya tentang ketentuan puasa kapan mulai dan kapan mereka dapat berbuka, Allahpun menerangkan dengan bahasa yang amat-amat sederhana sebagaimana disebut dalam Surat Al-Baqoroh ayat 187: “kuluu wasyrabuu hatta yatabayyana lakumul haithul abyadu minal haitil aswadi minal fajar” artinya : “Makan dan minumlah kalian sampai kamu dapat membedakan benang putih dengan benang merah pada waktu fajar”. Untuk melaksanakan ketentuan ini terdapat riwayat bahwa para sahabat saat menjelang tidur, mereka menyiapkan dua benang berwarna hitam dan putih, saat dia bangun tidur malam karena belum ada lampu listrik, belum ada jam dinding, belum ada radio, belum ada televisi belum ada hand phon untuk bertanya kepada sahabat yang lain, maka yang dia lakukan adalah upaya membedakan warna benang yang telah disediakan itu, mana yang hitam dan mana yang putih, Jika mereka sudah bisa membedakan maka dia imsak. Itulah keadaan sahabat saat itu, sehingga gejala alam merupakan pedoman mereka.
Nabi sendiri tidak mengerti ilmu hisab, hadits Ibn Abbas meriwayatkan “ kunna ummatun ummiyatun laa naktubu wa laa nahsibu, wasy-syahru ha kadza wa ha kadza…”. (H.S.R. Al-Buhari, Muslim. Abu Dawud dan Nasa’I dari Ibnu Abbas). Keawaman dan keummiyan nabi dalam hal ini tidak menurunkan derajad beliau sebagai Rasulullah. Saat terjadi gerhana nabi tidak pernah menyinggung sama sekali sebab-sebab ilmiyahnya, nabi hanya menjelaskan itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah, kerjakan shalat, berbanyak-banyaklah beristighfar dan bershodaqoh, itulah tugas Rasul. Dari riwayat-riwayat yang ada jelas bahwa Nabi dan para Sahabat belum menggunakan/mengenal ilmu hisab dan bisa dipastikan bahwa Nabi dan para Sahabat tidak tahu fenomena “Ijtima’” sebagaimana yang diketahui ilmuwan sekarang.  
Keterjagaan Rasulullah Dari Kesalahan
Kema’suman Rasulullah S.A.W. (Al-‘Ishmah) tidak dalam semua aspek perbuatannya, tetapi terbatas dalam hal-hal menyampaikan Al-Qur-an yang diwahyukan kepadanya dalam susunan kata dan maknanya sekaligus, persis sebagaimana beliau menerimanya dari Allah dalam bentuk kata dan ujaran dan beliau terjaga dalam tugasnya dalam menyampaikan risalah kepada manusia. Dan Rasulullah terjaga (tidak terjerumus) ke dalam tindakan haram dan tidak melampaui batas-batas yang ditentukan Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
* $pkšr'¯»tƒ ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& šøs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4 ª!$#ur šßJÅÁ÷ètƒ z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÏÐÈ     
Artinya :Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Q.S. Al-Maidah 67);
Ketaan kepada Nabi Muhammad S.A.W. adalah dalam dataran Ar-Risalah atau fungsinya sebagai seorang rasul atau pembawa risalah, tidak dalam dataran dan kapasitas beliau sebagai manusia. Dalam masalah-masalah duniawi apalagi masalah teknis duniawi nabi tidak memiliki sifat “ishmah” atau nabi tidak makshum, karena hal itu diserahkan kepada ummanya, contoh:
1.      Hadits nabi kepada petani kurma di Madinah, supaya mereka mengawinkan bunga jantan dan bunga betina, ternyata hasilnya tidak lebih bagus dari yang biasa dilakukan oleh petani Madinah tersebut, sehingga para petani mempertanyakan perintah Nabi tersebut. Maka Nabipun bersabda ” Inkaana min umuri dinikum fa ilayya, in kana min umuri dunyakum faantu a’lamu biumuri dunyaakum”;
2.      Hadits-hadits nabi tentang menyusun pertahanan Negara dan siasat dalam peperangan, setelah ditanyakan kepada beliau apakah ini wahyu atau pendapat Nabi? Nabi menjelaskan itu sekedar pendapat. Sahabat yang ahli strategi peperangan melakukan koreksi, maka Nabipun mengikuti pendapat sahabat yang dirasa lebih strategis dan masuk akal;
3.      Hadits nabi dalam memeriksa, mengadili dan memutus terhadap 2 (dua) orang yang sedang bersengketa dihadapannya. Setelah putusan itu dijatuhkan, nabipun kemudian menyatakan “Innama ana basyarun mitslukum…. , dst; Sesungguhnya aku adalah manusia biasa seperti kalian… dst”
4.      Hadits nabi,tentang  peristiwa desas-desus bahwa sebagian sahabat-sahabat di Madinah ( yang punya anak perempuan) sangat berkeinginan agar sahabat Ali bin Abi Thalib mau mengawini putrinya (berpoligami) padahal beliau adalah suami Fathimah binti Muhammad S.A.W.; Mendengar berita ini, nabi berkeberatan dan beliau bersabda “ Fathimah adalah darah dagingku barang siapa yang menyakitinya sama halnya menyakitiku !”; Pernyataan nabi ini dalam perspektif ushul fiqih tidak dapat dijadi dasar hokum bahwa nabi tidak menyetujui poligami, karena sikap demikian adalah “Jibilliyah” sifat dari seorang manusia. Keberatan nabi itu bukan cerminan dari sikap nabi sebagai Rasulullah, tetapi sikap nabi sebagai seorang bapak yang tidak tega melihat anaknya dimadu.
5.      Hadits nabi tentang, bahwa nabi bersedih dan bahkan juga menangisi putranya bernama Ibrahim yang meningal dunia, menangisnya Rasulullah tidaklah harus diteladani pula.
6.       Dan lan-lain hadits yang tidak mungkin disebutkan dalam pembahasan ini.
Dari hadits-hadits tersebut kita dapat mengambil kesimpulan, tidak semua hadits harus kita pahami dan kita pedomani secara tekstual, mempertimbangkan latar belakang sejarah hadits itu diinstruksikan oleh nabi adalah sangat membatu memberikan makna dan kesimpulan hokum  yang lebih tepat.
Implementasi Hadis Rukyah Di Masa Rasulullah dan Khulafaur-Rasyidin
Dalam hal-hal penting berkaitan dengan agama, biasanya Nabi membentuk ekspidisi guna mengurus/menjalankan sesuatu perintahnya, penentuan 1 Ramadlan dan 1 Syawal adalah amat penting, karena menyangkut pelaksanaan ibadah, tetapi tidak ada riwayat bahwa Nabi membentuk devisi agar sahabat memantau hilal (merukyat). Setelah Rasulullah wafat kepemimpinan ummat Islam dilanjutkan oleh khulafaur-rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib juga tidak terdapat riwayat bahwa mereka menugaskan sahabat untuk melakukan rukyatul hilal sebagaimana yang dilakukan orang-orang sekarang ini.
Para sahabat adalah manusia yang paling antusias dan gemar menjaga dan melaksanakan perintah Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Mereka adalah manusia yang paling tahu tentang teks-teks sunnah dan amat peka terhadap apa yang dimaksud Rasulullah kemudian mereka akan bergegas melaksanakan perintah itu. Meraka adalah orang-orang yang menyaksikan dari hari ke hari bersama Rasulullah meskipun sunah-sunah tersebut saat itu tidak ditulis (terkodifikasi). Tetapi tidak ada sebuah riwayatpun bahwa para sahabat menindak lanjuti perintah ru’yat itu seperti yang dilakukan orang sekarang. Ini menunjukkan bahwa perintah nabi tersebut difahami oleh para sahabat hanya berfungsi irsyad (petunjuk), sekaligus mengindikasikan bahwa menetukan pergantian bulan tersebut diserahkan kepada manusia dan kebiasaan-kebiasaan mereka bukan tugas kerasulan. Puasanya memang ta’abbudi tetapi penetuan tanggal 1 Ramadlan dan tanggal 1 Syawal adalah ta’aqquli.
Karena itulah tidak salah jika ada sementara orang berpendapat bahwa merukyat hilal itu tidak ada sandaran perintahnya dari sunnah nabi dan khulafaur-rasyidin. Tetapi kalau jika itu dilakukan justru akan memicu terjadinya perpecahan, maka sebaiknya kita tinggalkan. Yakinlah dengan kebenaran hisab sebagaimana ummat Islam telah meyakini kebenaran Jadwal Imsakiyah sebagai salah satu produk hisab.
Selama ummat Islam dalam menentukan pergantian bulan qomariyah untuk bulan  Ramadlan dan  Syawal dianggap sebagai masalah ta’abbudi sehingga harus berpegang pada hadist-hadits tentang “ru’yah”, maka selama itu pula akan terjebak pada perbedaan, karena akan tetap terikat menggunakan kriteria ketinggian hilal sebagai tafsir kata “ru’yah”; yang harus diartikan “imkanur rukyah”, ketinggiannya semula disyaratkan 8 derajat, kemudian turun 6 derajat, kemudian turun 4 derajat, sekarang populer cukup 2 derajat, karena ketinggian 2 derajat juga susah ditemukan, maka kemudian naik lagi menjadi 3,5 derajat dan seterusnya dan seterusnya.
Kebenaran Ilmu Pengetahuan dan Kebenara Agama
Dalam kulliyah Al-Islam sering dinyatakan bahwa kebenaran agama berbeda dengan kebenaran ilmu pengetahuan. Kebanaran agama bersifat mutlak sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan adalah bersifat nisbi, sehingga kebenaran ilmu pengetahuan terus berproses. Kebenaran pergantian bulan ditandai dengan terlihatnya “hilal” adalah kebenaran ilmiyah, bukan kebenaran agama. Oleh karena itu dapat berubah asal disertai dengan bukti-bukti yang logis dan ilmiyah. Jika kita beranggapan bahwa menentukan tanggal 1 Ramadlan dengan dapatnya melihat “hilal” itu adalah kebenaran agama yang tidak perlu berproses, maka kita tinggalkan saja hisab. Hal tersebut akan bertentangan dengan fakta ilmu pengetahuan bahwa perjalan bulan dan matahari dapat dikethui oleh manusia secara pasti, sehingga ilmu hisab tersebut disebut “ilmu pasti”.
Mencari tahu kapan terjadinya pergantian bulan qomariyah adalah mencari kebenaran ilmiyah bukan kebenaran agama walaupun kebenaran ilmiyah tersebut kemudian digunakan sebagai pelaksanaan ibadah karena ibadah tersebut berkaitan dengan waktu. Kebenaran ilmiyah bisa diterima jika dilengkapi dasar-dasar dan alasan yang logis sehinga dapat diterima oleh orang sebanyak-banyaknya. Kebenaran ilmu pengetahuan tidak memerlukan dalil agama (Al-Qur-an atau Hadits). Kebanaran yang logis sehingga diterima oleh banyak orang tingkatnya menjadi sangat tinggi sehingga seluruh manusia bisa menerima sehingga mencapai apa yang disebut kesepakatan ilmiyah. Inipun sebenarnya dilihat dari kacamatan filsafat masih kebenaran relative. Contoh :
1.      4  x 4  = 16 (enam belas) adalah kebenaran logis (ilmiyah)m yang telah lama tidak berubah dan telah menjadi kesepakatan, karena belum ada dalil lebih logis yang mampu merubah kesepakatan tersebut;
2.      Lingkaran itu besarnya 360° dianggap logis dan kesepakatan ilmiyah;
3.      Dalam segitiga jumlah sudutnya adalah 180° dan dalam segitiga sama sisi ketiga sudutnya sama besar, adalah kebenaran ilmiyah dan disepakati; 
4.      Garis meredian 0° yang menjadi batas hari menurut solar sestem adalah meridian yang lalui kota Grenwicg, adalah kesepakatan ;
5.      Menurut ilmu hisab matahari beredar dalam orbitnya dari arah barat ke timur, yang kemudian kembali pada posisnya semula selama 1 (satu) tahun, adalah kesepakatan ilmiyah, bulanpun demikian beredar dalam orbitnya dari arah barat ke timur, mengitari bumi, kemudian selama 29 hari lebih sedikit, matahari dan bulan sama-sama dalam garis ekleptika langit yang diistilahkan Ijtima’, itu adalah kesepakatan ilmiyah;
Hal-hal sebagai tersebut diatas oleh ilmu pengetahuan dianggap benar dan disepakati kebenarannya. Kebenarannya ilmiyah tidak memerlukan dalil agama (wahyu) dan suatu saat dapat saja berubah dianggap salah jika ditemukan alasan yang lebih logis bahwa hal tersebut tidak sesuai lagi dengan kebenaran.
Kiranya argument tersebut membuka pikiran kita bahwa masalah ilmu pengetahuan yang paling diperlukan adalah “kesepakatan”, kesepakatan itu akan terwujud jika orang lain bersedia menerima, supaya orang lain dapat menerima maka diperlukan alasan-alasan yang logis. Menurut hemat saya Ijtima’ sebagai batas awal dan akhir bulan qomariyah memenuhi alasan-alasan logis.
Fenomena Ijtima (Conjungtion).
Ijtima (konjungsi) terjadi dalam satu kali sebulan dan itu pasti serta pada saat yang sama di seluruh dunia, jikalau terdapat perbedaan karena perbedaan sistem, maka hal tersebut tidak berpengaruh banyak karena dalam hitungan menit saja, bahkan jika menggunakan hisab haqiqi bit-tahqiq (kontemporer) seperti Jhon Meus, Nautical Almanac, Ephimeris Sistem, New Com, maka perbedaan itu dalam hitungan detik, sehingga tidak ada pengaruh yang signifikan. System ijtima’ memiliki criteria-criteria yang unik dan lebih mempersempit lokasi/daerah kritis (batas tanggal). Ibarat orang membuat lin/garis lapangan tenes, semakin tipis garis/lin tersebut kita buat semakin sedikit bola jatuh di garis tersebut. Sebaliknya semakin lebar garis/lin yang kita buat, semakin banyak bolah yang jatuh digaris itu, dampak logisnya akan lebih banyak menimbulkan perbedaan dan bahkan kekecewaan pemain.
Sebagaimana telah disepakati bahwa pergantian hari berdasarkan lunar system (qomariyah) adalah waktu ghurub (maghrib). Misalkan berdasarkan hisab ijtima tanggal 29 Sya’ban terjadi pada jam 17.43’.12” WITA, sedangkan ghurub (maghrib) untuk kota Makassar juga pada jam 17.43’.12” WITA (sama persis dengan detiknya), maka hanya kota Makassar saja dan dearah lain yang maghribnya sama persisis jam menit dan detiknya (jam 17.43’.12” WITA) adalah daerah kritis (batas tanggal), adapun kota lain yang hasil hisabnya maghrib jam 17.42’.45” WITA (bedanya tidak sampai 1 menit) sudah tidak termasuk batas tanggal, sehingga kota Bone, kota Wajo, kota Sengkang, kota Pare-Pare, kota Soppeng bisa ditentukan masih bulan yang lama atau sudah masuk bulan baru, karena berdasarkan perhitungan hisab ghurubnya (maghribnya) kota-kota tersebut sudah berbeda walaupun dalam hitungan detik (subhanallah). Itulah kelebihan bila kita menggunakan paradigma ijtima’ sebagai batas awal dan akhir bulan qomariyah.    
Di era digital ini seharus kita ummat Islam percaya kepada hasil hisab. Karena dengan perbedaan hitungan detikpun kita telah mempunyai landasan pemutus. Misalkan waktu maghrib disuatu tempat adalah jam 17.50’.30”, maka masyarakat yang sengaja berbuka jam 17.50.00 adalah batal puasanya karena secara hokum belum masuk waktu maghrib.
Ilmu hisab kini telah merambah dunia dan bukan ilmu yang sulit, manusia telah dapat menyusun kalender yang dipercayai, tetapi  tetap saja setiap tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal senantiasa menjadi pergunjingan seakan-akan tidak lagi percaya dengan kalender yang telah dibuat. Hal tersebut karena kita berpegang pada paradigma yang parsial, untuk tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal itu adalah ibadah (ta’abbudi) harus berpegang pada nash, Sedangkan untuk penentuan 1 Muharram, 1 Safar, 1 Dzulqo’dah adalah dunmiawi (ta’aqquli). Puasanya adalah ibadah untuk menentukan tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawwal bukan ibadah.
Selama kita memakai ru’yat, atau menggabungkan dua madzhab hisab dan ru’yat untuk menetukan jatuhnya tanggal 1 Ramadlan atau 1 Syawwal maka pada saat-saat ketinggian hilal kritis akan memunculkan perbedaan.
Kalau boleh mengandai-andai, seandainya saat Rasulullah masih hidup dan pada saat itu sudah ada yang tahu  ilmu hisab, maka Nabi akan mempedomani hisab “Ijtima’” sebagai pedoman penetapan tanggal baru tiap bulan bukan lagi atas dasar melihat hilal.
Tanggalkan hadits itu, yang berhak menentukan pergantian bulan qomariyah baik 1 Ramadlan, 1 Syawal atau bulan-bulan lainnya itu tugas ilmuwan, Nabi sendiri sudah pernah menyatakan ” Antum ‘a’lamu bi umuri dunyakum”;
Kesimpulan:
1.      Menentukan awal bulan qomariyah termasuk bulan Ramadlan dan Syawwal adalah masalah ta’aqquli, tidak perlu pedoman dalil agama (Al-Qur-an maupun Hadits); Nabi sendiri menyatakan ” antum a’lamu bi umuuri dunyakum.
2.      Perintah nabi memulai puasa jika sudah melihat hilal, adalah reaksi basyariyah (kemanusiaan) nabi, yang saat itu masyarakat memahami pergantian bulan qomariyah ditandai dengan terlihatnya hilal. Hal itu bukan kebenaran agama yang bersifat muthlak tetapi kebenaran ilmiyah yang terjadi saat itu. Karena itu terlihatnya hilal bukan satu-satunya cara penentuan masuknya bulan baru, karena kebenaran ilmu pengetahuan itu senantiasa berkembang berubah dan perlu terus dievaluasi. Jika nanti diketemukan hal baru yang lebih rasionil dan ilmiyah maka tentu harus kita terima sebagai suatu kebenaran.
3.      Para sahabat adalah manusia yang paling antusias dan serius menindak lanjuti perintah nabi, tetapi mereka tidak membentuk kelompok-kelompok untuk ru’yat, hal ini dapat diartikan bahwa perintah nabi tersebut hanya “irsyad”.
4.      Gerakan “merukyat hilal” tidak ada landasan perintahnya dari sunnah, tidak efektif dan cenderung tabdzir (pemborosan) karena sudah ada hisab yang lebih bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiyah. Sulitnya merukyat hilal, menjadikan penyebabkan ketidak percayaan masyarakat kepada hasil hisab. Perkara system yang mana yang kita pakai terserah ilmuwan dan silahkan diefaluasi terus menerus.
5.      Methode hisab yang telah berjalan selama ini secara ilmiyah dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya dan telah dipercayaai sebagai penentuan waktu (Jadwal Imsakiyah). Maka semestinya kita ummat Islam juga menerima penetapan pergantian bulan atas dasar hisab;
6.      Ijtima’ (konjungsi) sebagai fenomena yang spesifik, karena terjadi sekali setiap bulan saatnya hanya satu, sehingga penyusunan kalender dan penentuan “awal dan akhir” bulan qomariyah lebih logis, ilmiyah dan rasionil bila atas dasar paradigma ijtima’;
7.      Selama ummat Islam masih mempedomani hadist-hadits ru’yah sebagai dasar pergantian bulan Sya’ban ke Ramadlan atau Ramadlan ke Syawwal, selama itu pula akan terikat dengan kriteria-kriteria ketinggian hilal, akibatnya selama itu tidak akan menemukan titik temu.
8.      Menggunakan system rukyat bersama-sama hisab adalah dua hal yang tidak mungkin, karena ru’yat senantiasa akan tetap berteguh pada criteria imkanur rukyat, sementara kegiatan hisab adalah mencari ijtima’ dan tidak perlu mensyaratkan imkanur rukyat.
            Wacana tidak perlu mempedomani hadits “shuumuu liru’yatihi,,, telah ada dibenak sebagian ummat Islam, namun selama dalam sidang-sidang “istbat hilal”, di Kementrian Agama RI tidak ada ormas yang berani melontarkan gagasan mengesampingkan hadits-haidits tersebut, karena resiko organisasinya bisa mendapatkan stigma negative ” ingkarus-sunnah” atau Jaringan Islam Liberal (JIL) atau mungkin bisa saja “kafir” (takfir);
            Kalau ingin tidak akan terjadi perbedaan agar tidak mengganggu social kita, tinggalkan criteria “imkanur ru’yah dan wujudul hilal” percayalah dengasn hasil hisab sebagaimana kita percaya “Jadwal Imsakiyah” sebagai salah satu produknya.
Jadikan paradigm “IJTIMA” sebagai penentu awal dan akhir bulan qomariyah, kalau diibaratkan orang membuat lin/garis lapangan tennes, maka kita membuat lin/garis yang tipis, sehingga tidak banyak bola mati, kalau menggunakan imkanur rukyah 2 derajat atau 9 jam setelah ijtima’ maka lin/garis batah tanggal akan tebal/lebar sehingga semakin luas daerah-daerah yang terlintasi garis tanggal, sehingga menggunakan saat ijtima’ sedikit resistensinya bahkan kita dapat membuat garis tanggal dengan menggunakan menit atau detik kalau mau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar