Jumat, 27 Juli 2012

PENGANGKATAN ANAK (AT-TABANNY) DALAM HUKUM ISLAM (KOMPARASI BW DENGAN HUKUM ISLAM)


Pendahuluan
          Secara naluri, setiap pasangan suami-istri berkeinginan untuk mempunyai anak untuk menyambung keturunan dan pelanjut kehidupannya. Al-Qur-an mengabadikan perihal tersebut sebagaimana kisah Nabiyullah Zakarariya (Q.S. Maryam) dan Nabi Ibrahim (Q.S, Ibrahim).  Kedua Nabiyullah tersebut sempat gelisah saat di usianya yang sudah senja, tetapi belum juga dikaruniai putra belahan jiwa penerus perjuangan.
Suatu rumah-tangga yang tidak dikaruniai anak, akan terasa gersang dan tidak sempurna keberadaannya. Akan tetapi dalam hidup ini tidak semua keinginan manusia untuk mempunyai anak dapat terwujud karena berbagai factor, kemungkinan karena salah satu pihak atau kedua pasangan suami-istri itu mandul, sakit, cacat dan lain sebab.
          Untuk memperoleh anak bagi pasangan suami-istri yang terkendala memperoleh keturunan tersebut, meraka dapat melalui berbagai cara dan yang paling popular diantaranya adalah adopsi, yaitu mengangkat anak orang lain baik dari keluarga sendiri maupun bukan, untuk dipungut menjadi anaknya seperti halnya anak kandung, mengambil nasab darinya, mewarisi harta peninggalannya dan lain-lain.
          Tradisi mengangkat anak, sudah lama dilakukan oleh manusia sejak sebelum Islam baik di Timur mapun di Barat, sungguhpun demikian bagi orang Islam setelah datangnya Islam, tradisi pengangkatan anak tentu harus memperhatikan aturan dan ketentuan syar’i, karena kehidupan seorang muslim tidak dapat terlepas dari ketentuan syari’at agamanya baik dalam ibadah maupun muamalahnya.
          Dalam rangka reformasi hukum dan memenuhi kebutuhan masyarakat Islam Indonesia, pembuat undang undang Republik Indonesia memberikan peluang pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama agar pengangkatan anak tersebut secara fomal mempunyai kekuatan hukum dan yang lebih penting lagi adalah apa yang dilakukan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam.

Istilah Anak Angkat

          Kebiasaan mengangkat anak orang lain sebagai anak kandung di dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “At-Tabanny” dalam bahasa hukum disebut sebagai “Adopsi”. Atas dasar naturalisasi bahasa adopsi nampaknya telah menjadi bahasa Indonesia, yang dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai “Pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri”[i]. Sedangkan “At-Tabanny” menurut Muhammad Ali As-Says diartikan”seorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, maka berlakulah terhadap anak itu seluruh hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung”[ii] Dan istilah “At-Tabanny” telah dikenal dan popular dikalangan ulama fiqih.
          Formalitas adopsi menurut hukum adat maupun BW (Borgerlijke Wet Booek) yang terjadi di Indonesia selama ini baik oleh orang Islam maupun bukan dilakukan di depan Pengadilan Negeri sebagai bukti/tanda peresmiannya menjadi anak angkat. Implikasi hukumnya adalah anak yang tadinya tidak mempunyai hubungan darah dengan ayah atau ibu angkatnya setelah adopsi dianggap sebagai anak sendiri.

Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat

          Di Indonesia berlaku berbagai sistem hukum dan tradisi yang berbeda-beda sesuai dengan daerah yang bersangkutan hal ini biasanya disebut sebagai hukum adat. Pengangkatan anak oleh suatu keluarga dalam masyarakat adat di Indonesia lazimnya dijadikan dan diperlakukan seperti layaknya anak sendiri. Ada beberapa sebutan yang lazim dipakai, seperti “Anak Angkek” adat di Minangkabau, “Anak Pupon” adat di Cilacap, “Anak Kutut”, “anak pulung” adat di Singaraja, “Anak Akon” adat di Lombok Tengah, “Napuluku” atau Wungga” adat di Paniai Jayapura dan lain sebagainya.
          Masalah pengangkatan anak menurut hukum adat di berbagai daerah di Indonesia, mempunyai sifat-sifat yang sama kendatipun terdapat spesifikasi yang sedikit berbeda di masing-masing daerah.
Sesuai dengan karakteristik hukum adat, tidak terdapat ketentuan yang tegas siapa-siapa yang boleh melakukan pengangkatan anak, apa syarat-syarat menjadi orang tua angkat, berapa batasan usia anak yang boleh diangkat dan lain sebagainya. Tatacaranyapun beraneka ragam sesuai dengan keragaman system adat masyarakat setempat, tetapi secara essensial tetap mempunyai persamaan. Demikian juga akibat hukumnyapun sangat bervariasi, ada yang mengakibatkan kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung, adapula yang menganggap anak angkat hanya sebagai anggota keluarga dekat tanpa mempunyai hak saling mewarisi.

Anak Angkat Menurut Hukum Barat.
          Akibat penjajahan Belanda, Hukum Barat atau BW diberlakukan oleh pemerintah Belanda pada negeri jajahannya termasuk Indonesia (azas concordansi). Dalam sejarahnya adopsi diterima dan berlaku  bagi masyarakat Belanda dengan latar belakang bahwa setelah perang dunia II di seluruh Eropa mencul golongan manusia baru dan sejumlah anak-anak piatu yang kehilangan orang tua mereka akibat peperangan. Selain itu juga karena banyak anak-anak yang lahir di luar pernikahan sah yang di tampung di panti-panti sosial yang tidak mengenal orang tuanya. Undang undang tersebut adalah jawaban terhadap pemecahan permasalahan agar anak-anak tersebut mendapatkan kesejahteraan dan pemeliharaan dari orang tua yang menginginkan anak serta berkemampuan ekonominya, dengan harapan nantinya ia dapat membantu mereka di hari tua. Ketentuan adopsi di Indonesia berdasarkan Staatblaad 1917 Nomor 129. Dalam Pasal 5 Staatblaad tersebut ditentukan bahwa adopsi hanya mungkin dilakukan untuk anak laki-laki oleh sepasang suami-istri, duda atau janda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang dapat menurunkan garis keturunan. Dengan demikian pengangkatan anak perempuan menurut Staadblaat tersebut jelas tidak diperbolehkan bahkan mendapat ancaman batal. Disamping itu terdapat pula ketentuan bahwa adopsi harus dilakukan dengan Akta Notaris. Sungguhpun demikian berdasarkan yurisprodensi (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta, Nomor : 907/1963, tanggal 29 Mei 1963) membolehkan pengangkatan anak perempuan dengan alasan bahwa, Staatblaat 1917 nomor 129 tersebut sudah tidak sesuai lagi (outgeholt) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dewasa ini, lebih dari itu bahwa pada dewasa ini kebutuhan adopsi bukan semata-mata hanya menyambung keturunan akan tetapi yang lebih utama adalah demi kepentingan anak itu sendiri serta pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat sosial kemasyarakatan.
Lebih lanjut berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI nomor 6 tahun 1983 telah diatur barbagai ketentuan adopsi menurut hukum di Indonesia termasuk membuka peluang pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh warga negara asing dan bahkan membolehkan pengangkatan anak oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat perkawinan yang sah atau seorang yang belum menikah, dikenal dengan istilah single paren adoption.
Pengangkatan Anak Secara Islam
          Sebelum Islam datang, pengangkatan anak telah banyak dilakukan di kalangan bangsa Arab, Pengangkatan anak disini diartikan sebagai pengangkatan anak orang lain dengan status seperti anak kandung. Sebelum karasulannya Nabi Muhammad SAW sendiri mengangkat seorang anak bernama Zaid bin Haritsah yang semula berstatus budak dari Khadijah binti Khuwailid, kemudian Nabi memberdayakannya dengan mengangkatnya sebagai anak kandung dan masyarakatpun menyandarkan nama Nabi  sehingga Zaid dikenal masyarakat dengan nama “Zaid bin Muhammad”.[iii] Menyandarkan nama seseorang atas seorang anak angkat tersebut dalam istilah fikih diistilahkan At-Ta’shib (manasabkan), yaitu upaya menyembunyikan nama ayah bilogis seorang anak dengan menampakkan/menyebut nama ayah sosilogisnya dibelakang nama anak ankatnya. Pada masa  karasulannya tindakan itu dikritik oleh Al-Qur-an sebagai perbuatan yang tidak tepat, maka pengangkatan anak oleh Nabi Muhammad yang demikian itu tidak dibenarkan oleh Al-Qur-an yaitu dalam ayat 4, 5, 21 dan 37 surat Al-Ahzab, yang pada pokoknya, pengangkatan anak dalam tradisi jahiliyah dengan memberi status kepada anak angkat sama dengan anak kandung tidak dibenarkan. Hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya serta keluarga anak yang diangkat tetap seperti sebelum pengangkatannya, tidak mempengaruhi kemahraman, kewarisan, hijab dan lain sebagainya, baik anak itu dari intern kerabat sendiri, maupun diambil dari luar lingkungan karabat. Dari beberapa ayat-ayat surat Al-Ahzab tersebut dapat dipahami bahwa yang dilarang adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal.
Implikasi dari kasus ini, Zaid yang tadinya dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad, kemudian diganti dengan Zaid bin Haritsah sesuai dengan nama ayah kandungnya.mengikuti ketentuan ayat 5 surah Al-Ahzab. Sungguhpun demikian, Zaid tetap berada dibawah tanggungan Nabi Muhammad SAW tetapi layaknya anak asuh dalam istilah sekarang, tidak lagi dipandang mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad dan tidak pula saling mewarisi serta tetap berstatus sebagai orang lain yang tinggal bersama dan dapat perlindungan dari Nabi Muhammad SAW. Disinilah terlihat adanya titik pebedaan ketentuan hukum adat maupun hukum Barat yang berlaku selama ini di Indonesia yang memutuskan kedudukan anak angkat dengan orang tuanya sendiri yang pada implikasinya dapat juga merombak ketentuan hukum warisnya.
Setelah turunnya ayat-ayat Al-Qur-an dalam surat Al-Ahzab berkaitan dengan peristiwa Rasulullah mengangkat anak tersebut, maka tidak ada lagi tempat untuk mengangkat anak di dalam syari’at Islam seperti yang lazim berlaku di masa pra Islam. Al-Qur-an menegaskan “Allah tidak menjadikan anak angkat sebagai anak kalian sendiri, Yang demikian ini hanyalah perkataanmu yang kamu ucapkan saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia mengajukan jalan yang benar/yang lurus”.
Islam memerintahkan untuk peduli dan menyantuni terhadap anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang terlantar. Karena itu pengasuhan anak yang diperintahkan Islam adalah yang memberikan penekanan dalam segi kecintaan, kasih sayang serta memberikan kesejahteraan finansial, bukan memperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri. Pengangkatan dan pengasuhan anak seperti ini jelas merupakan amal shalih yang dapat dilakukan oleh siapa saja yang berkelebihan finansial tetapi miskin anak. Hal ini merupakan tugas kemanusiaan, persaudaraan seagama dan ibadah sosial  (hablum minan naas) dengan mendidik anak-anak yang terlantar dan tidak mendapatkan kasih sayang dari keluarganya. Masyarakat secara gotong royong mempunyai tugas ini dengan membentuk panti sosial maupun secara pribadi dapat mengambil dan memelihara anak-anak terlantar itu dengan mendidiknya, menanggung nafkahnya sehingga anak tersebut dewasa dan dapat mandiri tanpa menetapkan hak-hak dan hukum anak kandung kepadanya. Ketentuan yang ditentukan Islam ini cukup memadai untuk menjamin kesejahteraan mereka.

Pengangkatan Anak Islam Menurut Hukum Positif.

          Dengan kewenangan baru Pengadilan Agama menetapkan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam sesuai dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006, maka timbul dualisme pemahaman menyangkut kewenangan pengangkatan anak bagi warga yang beragama Islam. Oleh karena itu dalam praktek tentu akan dijumpai orang-orang Islam yang melakukan adopsi di hadapan Pengadilan Negeri dengan segala konsekwensinya. Yang jelas berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut masyarakat Islam telah diberikan wadah dan payung hukum dalam memformalisasikan pengangkatan anak melalui Pengadilan Agama dan hukum terapannya adalah Kompilasi Hukum Islam serta doktrin hukum Islam yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih baik klasik maupun kontemporer.  
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai fikih ala Indonesia pada Pasal 171 mengatur tentang pengangkatan anak menurut hukum Islam, disebutkan “Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan”. Atas dasar azas personalitas keislaman maka Pengadilan yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah jika orang tua angkat maupun anak yang diangkat adalah orang-orang Islam adalah Pengadilan Agama.
Hukum Islam selalu elastis dan berkembang, namun ada yang tetap, oleh karena itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penetapan anak angkat di hadapan Pengadilan Agama.
-          Pertama, anak angkat tidak dapat menggunakan nama ayah angkatnya, seperti dijelaskan oleh ayat 5 surat Al-Ahzab;
-          Kedua, antara anak angkat dengan ayah angkat, ibu angkat dan saudara angkat tidak mempunyai hubungan darah. Mereka dapat tinggal serumah, tetapi harus menjaga ketentuan mahram dalam hukum Islam, antara lain ketentuan-ketentuan berkaitan dengan aurat, berkhalwat, masalah wali nikah untuk anak perempuan dan lain-lain.
-          Ketiga, diantara mereka tidak saling mewarisi. Dengan demikian Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam seperi yang disebut oleh Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama tidak boleh bertentangan dengan kasus Zaid bin Haritsah.
Kesimpulan
Pertimbangan hukum pengangkatan anak berdasarkan tradisi hukum Barat/Belanda melalui Pengadilan Negeri berbeda dengan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama.
Perngangkatan anak versi hukum Islam sebenarnya merupakan hukum hadlonah yang diperluas dan sama sekali tidak merubah hubungan hukum nasab dan mahram antara anak angkat dengan orang tua dan keluarga asalnya. Perubahan yang terjadi hanya perpindahan tanggung pemeliharaan, pengawasan dan pendidikan dari orang tua asli kepada orang tua angkatnya.
Pengangkatan anak versi hukum Islam tidak merubah status anak angkat menjadi anak kandung dan orang tua angkat menjadi orang tua kandung, yang dapat saling mewarisi, mempunyai hubungan keluarga seperti keluarga kandung, dan lain-lain. 


[i] DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1988, h.7
[ii] Muhammad Ali As-Says, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Mishr, Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih, 1978, Juz IV. H. 7;
[iii] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur-an Al-Aqzhim, Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyah, Juz III, hal 168;
Undang Undang Nomor 7 dan perubahan-perunahanya;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar