Pendahuluan
Secara
naluri, setiap pasangan suami-istri berkeinginan untuk mempunyai anak untuk
menyambung keturunan dan pelanjut kehidupannya. Al-Qur-an mengabadikan perihal
tersebut sebagaimana kisah Nabiyullah Zakarariya (Q.S. Maryam) dan Nabi Ibrahim
(Q.S, Ibrahim). Kedua Nabiyullah
tersebut sempat gelisah saat di usianya yang sudah senja, tetapi belum juga
dikaruniai putra belahan jiwa penerus perjuangan.
Suatu rumah-tangga yang tidak
dikaruniai anak, akan terasa gersang dan tidak sempurna keberadaannya. Akan
tetapi dalam hidup ini tidak semua keinginan manusia untuk mempunyai anak dapat
terwujud karena berbagai factor, kemungkinan karena salah satu pihak atau kedua
pasangan suami-istri itu mandul, sakit, cacat dan lain sebab.
Untuk
memperoleh anak bagi pasangan suami-istri yang terkendala memperoleh keturunan
tersebut, meraka dapat melalui berbagai cara dan yang paling popular
diantaranya adalah adopsi, yaitu mengangkat anak orang lain baik dari keluarga
sendiri maupun bukan, untuk dipungut menjadi anaknya seperti halnya anak
kandung, mengambil nasab darinya, mewarisi harta peninggalannya dan lain-lain.
Tradisi
mengangkat anak, sudah lama dilakukan oleh manusia sejak sebelum Islam baik di
Timur mapun di Barat, sungguhpun demikian bagi orang Islam setelah datangnya
Islam, tradisi pengangkatan anak tentu harus memperhatikan aturan dan ketentuan
syar’i, karena kehidupan seorang muslim tidak dapat terlepas dari ketentuan
syari’at agamanya baik dalam ibadah maupun muamalahnya.
Dalam
rangka reformasi hukum dan memenuhi kebutuhan masyarakat Islam Indonesia,
pembuat undang undang Republik Indonesia memberikan peluang pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama agar pengangkatan anak
tersebut secara fomal mempunyai kekuatan hukum dan yang lebih penting lagi
adalah apa yang dilakukan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan syari’at
Islam.
Istilah
Anak Angkat
Kebiasaan
mengangkat anak orang lain sebagai anak kandung di dalam bahasa Arab disebut
dengan istilah “At-Tabanny” dalam bahasa hukum disebut sebagai “Adopsi”.
Atas dasar naturalisasi bahasa adopsi nampaknya telah menjadi bahasa Indonesia,
yang dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai “Pengambilan (pengangkatan)
anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri”[i].
Sedangkan “At-Tabanny” menurut Muhammad Ali As-Says diartikan”seorang
mengangkat anak orang lain sebagai anak, maka berlakulah terhadap anak itu
seluruh hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung”[ii]
Dan istilah “At-Tabanny” telah dikenal dan popular dikalangan ulama fiqih.
Formalitas
adopsi menurut hukum adat maupun BW (Borgerlijke Wet Booek) yang terjadi di Indonesia
selama ini baik oleh orang Islam maupun bukan dilakukan di depan Pengadilan
Negeri sebagai bukti/tanda peresmiannya menjadi anak angkat. Implikasi hukumnya
adalah anak yang tadinya tidak mempunyai hubungan darah dengan ayah atau ibu
angkatnya setelah adopsi dianggap sebagai anak sendiri.
Pengangkatan
Anak Menurut Hukum Adat
Di Indonesia berlaku berbagai sistem
hukum dan tradisi yang berbeda-beda sesuai dengan daerah yang bersangkutan hal
ini biasanya disebut sebagai hukum adat. Pengangkatan anak oleh suatu keluarga
dalam masyarakat adat di Indonesia lazimnya dijadikan dan diperlakukan seperti
layaknya anak sendiri. Ada beberapa sebutan yang lazim dipakai, seperti “Anak
Angkek” adat di Minangkabau, “Anak Pupon” adat di Cilacap, “Anak Kutut”, “anak pulung”
adat di Singaraja, “Anak Akon” adat di Lombok Tengah, “Napuluku” atau Wungga”
adat di Paniai Jayapura dan lain sebagainya.
Masalah
pengangkatan anak menurut hukum adat di berbagai daerah di Indonesia, mempunyai
sifat-sifat yang sama kendatipun terdapat spesifikasi yang sedikit berbeda di
masing-masing daerah.
Sesuai dengan karakteristik hukum
adat, tidak terdapat ketentuan yang tegas siapa-siapa yang boleh melakukan
pengangkatan anak, apa syarat-syarat menjadi orang tua angkat, berapa batasan
usia anak yang boleh diangkat dan lain sebagainya. Tatacaranyapun beraneka
ragam sesuai dengan keragaman system adat masyarakat setempat, tetapi secara
essensial tetap mempunyai persamaan. Demikian juga akibat hukumnyapun sangat
bervariasi, ada yang mengakibatkan kedudukan anak angkat sama dengan anak
kandung, adapula yang menganggap anak angkat hanya sebagai anggota keluarga
dekat tanpa mempunyai hak saling mewarisi.
Anak Angkat Menurut Hukum Barat.
Akibat
penjajahan Belanda, Hukum Barat atau BW diberlakukan oleh pemerintah Belanda
pada negeri jajahannya termasuk Indonesia (azas concordansi). Dalam
sejarahnya adopsi diterima dan berlaku
bagi masyarakat Belanda dengan latar belakang bahwa setelah perang dunia
II di seluruh Eropa mencul golongan manusia baru dan sejumlah anak-anak piatu
yang kehilangan orang tua mereka akibat peperangan. Selain itu juga karena
banyak anak-anak yang lahir di luar pernikahan sah yang di tampung di
panti-panti sosial yang tidak mengenal orang tuanya. Undang undang tersebut
adalah jawaban terhadap pemecahan permasalahan agar anak-anak tersebut
mendapatkan kesejahteraan dan pemeliharaan dari orang tua yang menginginkan
anak serta berkemampuan ekonominya, dengan harapan nantinya ia dapat membantu
mereka di hari tua. Ketentuan adopsi di Indonesia berdasarkan Staatblaad 1917
Nomor 129. Dalam Pasal 5 Staatblaad tersebut ditentukan bahwa adopsi hanya
mungkin dilakukan untuk anak laki-laki oleh sepasang suami-istri, duda atau
janda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang dapat menurunkan garis
keturunan. Dengan demikian pengangkatan anak perempuan menurut Staadblaat
tersebut jelas tidak diperbolehkan bahkan mendapat ancaman batal. Disamping itu
terdapat pula ketentuan bahwa adopsi harus dilakukan dengan Akta Notaris.
Sungguhpun demikian berdasarkan yurisprodensi (Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta, Nomor : 907/1963, tanggal 29 Mei 1963) membolehkan pengangkatan anak
perempuan dengan alasan bahwa, Staatblaat 1917 nomor 129 tersebut sudah tidak
sesuai lagi (outgeholt) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dewasa ini,
lebih dari itu bahwa pada dewasa ini kebutuhan adopsi bukan semata-mata hanya
menyambung keturunan akan tetapi yang lebih utama adalah demi kepentingan anak
itu sendiri serta pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat sosial kemasyarakatan.
Lebih lanjut berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung RI nomor 6 tahun 1983 telah diatur barbagai ketentuan adopsi
menurut hukum di Indonesia termasuk membuka peluang pengangkatan anak warga
negara Indonesia oleh warga negara asing dan bahkan membolehkan pengangkatan
anak oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat perkawinan yang sah
atau seorang yang belum menikah, dikenal dengan istilah single paren
adoption.
Pengangkatan Anak Secara Islam
Sebelum Islam datang, pengangkatan
anak telah banyak dilakukan di kalangan bangsa Arab, Pengangkatan anak disini
diartikan sebagai pengangkatan anak orang lain dengan status seperti anak
kandung. Sebelum karasulannya Nabi Muhammad SAW sendiri mengangkat seorang anak
bernama Zaid bin Haritsah yang semula berstatus budak dari Khadijah binti
Khuwailid, kemudian Nabi memberdayakannya dengan mengangkatnya sebagai anak
kandung dan masyarakatpun menyandarkan nama Nabi sehingga Zaid dikenal masyarakat dengan nama
“Zaid bin Muhammad”.[iii]
Menyandarkan nama seseorang atas seorang anak angkat tersebut dalam istilah
fikih diistilahkan At-Ta’shib (manasabkan), yaitu upaya menyembunyikan
nama ayah bilogis seorang anak dengan menampakkan/menyebut nama ayah
sosilogisnya dibelakang nama anak ankatnya. Pada masa karasulannya tindakan itu dikritik oleh
Al-Qur-an sebagai perbuatan yang tidak tepat, maka pengangkatan anak oleh Nabi
Muhammad yang demikian itu tidak dibenarkan oleh Al-Qur-an yaitu dalam ayat 4,
5, 21 dan 37 surat Al-Ahzab, yang pada pokoknya, pengangkatan anak dalam
tradisi jahiliyah dengan memberi status kepada anak angkat sama dengan anak
kandung tidak dibenarkan. Hubungan antara anak angkat dengan orang tua
angkatnya serta keluarga anak yang diangkat tetap seperti sebelum
pengangkatannya, tidak mempengaruhi kemahraman, kewarisan, hijab dan lain
sebagainya, baik anak itu dari intern kerabat sendiri, maupun diambil dari luar
lingkungan karabat. Dari beberapa ayat-ayat surat Al-Ahzab tersebut dapat
dipahami bahwa yang dilarang adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung
dalam segala hal.
Implikasi dari kasus ini, Zaid yang
tadinya dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad, kemudian diganti dengan Zaid
bin Haritsah sesuai dengan nama ayah kandungnya.mengikuti ketentuan ayat 5
surah Al-Ahzab. Sungguhpun demikian, Zaid tetap berada dibawah tanggungan Nabi
Muhammad SAW tetapi layaknya anak asuh dalam istilah sekarang, tidak lagi
dipandang mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad dan tidak pula saling
mewarisi serta tetap berstatus sebagai orang lain yang tinggal bersama dan
dapat perlindungan dari Nabi Muhammad SAW. Disinilah terlihat adanya titik
pebedaan ketentuan hukum adat maupun hukum Barat yang berlaku selama ini di
Indonesia yang memutuskan kedudukan anak angkat dengan orang tuanya sendiri
yang pada implikasinya dapat juga merombak ketentuan hukum warisnya.
Setelah turunnya ayat-ayat Al-Qur-an
dalam surat Al-Ahzab berkaitan dengan peristiwa Rasulullah mengangkat anak
tersebut, maka tidak ada lagi tempat untuk mengangkat anak di dalam syari’at
Islam seperti yang lazim berlaku di masa pra Islam. Al-Qur-an menegaskan “Allah
tidak menjadikan anak angkat sebagai anak kalian sendiri, Yang demikian
ini hanyalah perkataanmu yang kamu ucapkan saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia mengajukan jalan yang benar/yang lurus”.
Islam memerintahkan untuk peduli dan
menyantuni terhadap anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
terlantar. Karena itu pengasuhan anak yang diperintahkan Islam adalah yang
memberikan penekanan dalam segi kecintaan, kasih sayang serta memberikan
kesejahteraan finansial, bukan memperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri.
Pengangkatan dan pengasuhan anak seperti ini jelas merupakan amal shalih yang
dapat dilakukan oleh siapa saja yang berkelebihan finansial tetapi miskin anak.
Hal ini merupakan tugas kemanusiaan, persaudaraan seagama dan ibadah
sosial (hablum minan naas) dengan
mendidik anak-anak yang terlantar dan tidak mendapatkan kasih sayang dari
keluarganya. Masyarakat secara gotong royong mempunyai tugas ini dengan membentuk
panti sosial maupun secara pribadi dapat mengambil dan memelihara anak-anak
terlantar itu dengan mendidiknya, menanggung nafkahnya sehingga anak tersebut
dewasa dan dapat mandiri tanpa menetapkan hak-hak dan hukum anak kandung
kepadanya. Ketentuan yang ditentukan Islam ini cukup memadai untuk menjamin
kesejahteraan mereka.
Pengangkatan Anak Islam Menurut Hukum
Positif.
Dengan kewenangan baru Pengadilan
Agama menetapkan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam sesuai dengan Undang
Undang Nomor 3 Tahun 2006, maka timbul dualisme pemahaman menyangkut kewenangan
pengangkatan anak bagi warga yang beragama Islam. Oleh karena itu dalam praktek
tentu akan dijumpai orang-orang Islam yang melakukan adopsi di hadapan
Pengadilan Negeri dengan segala konsekwensinya. Yang jelas berdasarkan Undang
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut masyarakat Islam telah diberikan wadah dan
payung hukum dalam memformalisasikan pengangkatan anak melalui Pengadilan Agama
dan hukum terapannya adalah Kompilasi Hukum Islam serta doktrin hukum Islam
yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih baik klasik maupun kontemporer.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai
fikih ala Indonesia pada Pasal 171 mengatur tentang pengangkatan anak
menurut hukum Islam, disebutkan “Anak angkat adalah anak yang dalam
pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih
tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan
putusan Pengadilan”. Atas dasar azas personalitas keislaman maka Pengadilan
yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah jika orang tua angkat maupun anak
yang diangkat adalah orang-orang Islam adalah Pengadilan Agama.
Hukum Islam selalu elastis dan
berkembang, namun ada yang tetap, oleh karena itu ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam penetapan anak angkat di hadapan Pengadilan Agama.
-
Pertama, anak angkat tidak dapat menggunakan
nama ayah angkatnya, seperti dijelaskan oleh ayat 5 surat Al-Ahzab;
-
Kedua, antara anak angkat dengan ayah
angkat, ibu angkat dan saudara angkat tidak mempunyai hubungan darah. Mereka
dapat tinggal serumah, tetapi harus menjaga ketentuan mahram dalam hukum
Islam, antara lain ketentuan-ketentuan berkaitan dengan aurat, berkhalwat,
masalah wali nikah untuk anak perempuan dan lain-lain.
-
Ketiga, diantara mereka tidak saling
mewarisi. Dengan demikian Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam seperi yang
disebut oleh Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama tidak boleh bertentangan
dengan kasus Zaid bin Haritsah.
Kesimpulan
Pertimbangan hukum pengangkatan anak
berdasarkan tradisi hukum Barat/Belanda melalui Pengadilan Negeri berbeda
dengan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama.
Perngangkatan anak versi hukum Islam
sebenarnya merupakan hukum hadlonah yang diperluas dan sama sekali tidak
merubah hubungan hukum nasab dan mahram antara anak angkat dengan
orang tua dan keluarga asalnya. Perubahan yang terjadi hanya perpindahan
tanggung pemeliharaan, pengawasan dan pendidikan dari orang tua asli kepada
orang tua angkatnya.
Pengangkatan anak versi hukum Islam
tidak merubah status anak angkat menjadi anak kandung dan orang tua angkat
menjadi orang tua kandung, yang dapat saling mewarisi, mempunyai hubungan
keluarga seperti keluarga kandung, dan lain-lain.
[i]
DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1988,
h.7
[ii]
Muhammad Ali As-Says, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Mishr, Mathba’ah Muhammad
Ali Shabih wa Auladih, 1978, Juz IV. H. 7;
[iii] Ibnu
Katsir, Tafsir Al-Qur-an Al-Aqzhim, Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyah,
Juz III, hal 168;
Undang Undang Nomor 7 dan perubahan-perunahanya;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar