Kamis, 26 Juli 2012

POLYGAMI PERSPEKTIF AYAT-AYAT AL-QUR-AN

            Masalah poligami dalam istilah fiqih disebut ta’addud az-zaujaad telah banyak dibicarakan oleh fuqaha’ klasik maupun kontemporer. Ayat-ayat Al-Qur-an dan As-Sunnah yang dijadikan alas pijaknya sama, tetapi bisa melahirkan kesimpulan hukum yang berbeda, sampai-sampai timbul perbedaan pendapat pro-kontra.
Tanggapan pro-kontra poligami sebenarnya bukan masalah hukum, tetapi hakikatnya adalah berkisar pada masalah perasaan, sosiokultural dan bahkan filosofi/pandangan masyarakat saja. Masalah ini pernah muncul menghebohkan sangat ramai dibicarakan orang, saat da’i “kondang” sejuta ummat K. H. Abdullah Gymnastiar yang terkenal dengan sapaan A’A’ Gyem melakukan poligami, pada hal poligami telah banyak dilkakukan oleh orang;
            Kalau dikaji secara hukum, fuqaha’ sepakat bahwa poligami adalah halal. ayat-ayat al-Qur-an telah jelas (muhkam) dan as-sunnah (Nabi dan para Sahabat) telah melakukan, dan ayat-ayat tentang poligami masih tetap eksis dan tidak pernah dicabut atau dinasekh hukumnya oleh Allah SWT. oleh karena itu marilah kita kaji secara lebih mendalam ayat-ayat tentang Poligami ini agar kita dapat mendudukkan persoalannya pada proporsi yang sebenarnya.

Kajian Fiqih Klasik

            Kalau kita mengkaji fiqih klasik dalam membicarakan poligami maka setidak-tidaknya ada tiga pandangan/pendapat, yaitu;
Pertama : Adalah pendapat yang mutasahilin, yaitu pendapat  yang dikenal dengan sangat menggampangkan masalah poligami; Poligami boleh dilakukan oleh suami tanpa syarat, bahkan ada yang berpendapat bahwa poligami dibolehkan sampai berjumlah 9 (sembilan) orang wanita yang ia suka, mendasarkan kalimah, matsna, watsulatsa waruba’ yang berarti penjumlahan dari dua dan tiga dan empat, disamping itu mereka juga mendasarkan pada prilaku nabi karena nabipun beristri 9 (sembilan) wanita dalam suatu masa;
Kedua : Pendapat kelompok yang mutawasitin (moderat), yaitu poligami dibolehkan dengan wanita yang ia senangi sejumlah empat orang dengan syarat ia dapat menjamin berlaku adil dan berkemampuan;.
Ketiga : Pendapat yang mutasyaddidin, yaitu pendapat bahwa poligami dilarang (haram), karena meimbulkan efek penderitaan kepada kaum wanita dan kaluarga, sedangkan syarat adil pada keizinan poligami menurut Al-Qur-an surart An-Nisa’ 129 tidak akan dapat berbuat oleh siapapun. Berdasarkan pemikiran ini maka tujuan Al-Qur-an adalah monogamy bukan polygamy.
Latar Belakang Syar’i (Maqoshidusy syar’i)
            Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapatkan perhatian khusus dari Allah SWT. Allah meletakkannya pada awal surat An-Nisa’ dalam kitab-Nya yang mulia.
            Surat An-Nisa’ dan surat Ali Imran, termasuk surat-surat madaniat, diturunkan pada tahun 4 (empat) Hijriyah setelah terjadinya perang dahsyat yaitu perang Uhud,  Dalam catatan tarikh dari 700 orang pasukan muslimin dari sahabat nabi, gugur sebanyak 90 orang sebagai syuhada’, Secara prosentatif 90 orang dari 700 orang pasukan melebihi 13 persen pasukan Islam, jumlah yang cukup besar bagi sebuah pasukan (tentara) Negara Madinah yang baru terbentuk oleh Nabi. Dengan meninggalnya 90 prajurit muslimin tersebut maka saat itu terjadi boming janda dan anak-anak yatim. Untuk mengatasi kegoncangan masalah social ditengah ummat Islam itu maka turunlah ayat-ayat dalam surat An-Nisa secara berangsur-angsur secara keseluruhan memakan waktu selama 4 (empat) bulan.
Secara mayoritas tema-tema penting ayat-ayat dalam surat An-Nisa’ tersebut adalah berbicara tentang perlindungan atas hak-hak wanita yang saat ayat Al-Qur-an diturunkan sangat tersubordinasikan.
            Allah mengawali surah An-Nisa’ dengan seruan kepada manusia agar bertaqwa kepada Allah yang juga merupakan tema penting penutup surat Ali Imran (wattaqullaaha la’allakum tuflihuun); Pertama seruan menyambung silaturrahiim dengan pangkal tolak pandangan universal kemanusiaan bukan secara sempit; Atas dasar kelompok, suku, bangsa atau ras manusia yang sempit, karena penciptaan manusia dari nafs yang sama (min nafs wahidah) (Q.S. 4 : 1); Kemudian Allah membicarakan anak-anak yatim, dalam konteks ini Allah SWT. memerintahkan manusia agar supaya memberikan harta benda anak-anak yatim dan tidak memakannya secara dhalim (Q.S. 4 : 2); Selanjutnya Allah SWT. menindak lanjuti pembahasan anak-anak yatim  dengan perintah kepada manusia untuk menikahi perempuan-perempuan yang disenangi  dua, tiga atau empat yang dibatasi (muqayyad) hanya pada satu kondisi, yaitu jika ia takut tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim (in khiftum alla tuqshitu fil-yatama).(Q.S. 4:3);
            Kemudian ayat ke 4 (empat) an-Nisa’ tersebut, Allah SWT melanjutkan pembahasan tentang maskawin dan mahar bagi perempuan; Pada ayat ke 5 (lima) tentang larangan menyerahkan kepada harta orang-orang yang belum sempurna akalnya harta benda mereka; Kemudian pada ayat ke 6 (enam) sekali lagi Allah yang Maha Hakim dan Bijak Bestari sekali lagi membicarakan anak-anak yatim (wabtalul yatama hatta balaghun-nikaakh…)
Dengan memperhatikan dan mencermati munasahah (persesuaian) ayat demi ayat tersebut, maka manusia yang arief akan memahami bahwa masalah poligami tidak bisa terlepas dengan permasalahan sosilogis, utamanya masalah anak-anak yatim, dimana Allah menghendaki dan telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk berbuat baik dan adil kepada mereka, menjaga, menyantuni dan memelihara harta mereka serta menyerahkannya kembali kepada mereka ketika mereka telah menginjak umur dewasa (ar-rusydu).
Bagaimana hal tersebut bisa terwujud ? Apakah kita harus mengambil anak-anak yatim tersebut dari asuhan ibu mereka kedalam rumah-tangga kita ? Mendidik mereka dalam panti asuhan dan memisahkan mereka dari ibu-ibu meraka ? Apakah kita membiarkan meraka tetap menderita ? Jika demikian berarti kita tidak dapat melaksanakan perintah tema universal Al-Qur-an yaitu mengangkat kedudukan masyarakat yang tersubbordinasikan atau dikenal dengan istilah “masyarakat klas dua” antara lain yaitu wanita, anak-anak yatim, fakir miskin dan para budak menuju terwujudnya kondisi keadilan social demi terwujudnya persamaan derajad manusia dalam kehidupan kemasyarakatan yang elegan.
Kebijakan moral untuk mewujudkan keadilan social yang menjadi tujuan universal syari’at Islam tersebut akan lebih nampak jelas bila kita memahami dan menelusuri latar belakang sosiologis masyarakat Arab ketika Al-Qur-an itu diturunkan. Pola kehidupan social saat itu diwarnai kesenjangan yang luar biasa, yakni terjadinya eksploitasi kelompok “masyarakat klas satu” yang terdiri masyarakat elit terhadap kelompok masyarakat klas dua”. yaitu kaum mustdz’afiin terdiri kaum wanita, anak-anak yatim, fakir miskin dan para budak. Hal tersebut merupakan tema penting dan sentral Al-Qur-an (Islam) diturunkan.
            Dalam keadaan yang demikian inilah, yakni kekhawatiran tidak terwujudnya keadilan pada anak-anak yatim, dan janda yang terlntar karena tidak ada pelindung terhadap aqidah maupun social ekonominya, maka ayat 3 (tiga) surat An-Nisa’ tersebut diatas memperbolehkan bahkan menganjurkan poligami, yakni dengan menikahi ibu-ibu mereka yang menjadi janda.
            Ada factor lain yang lebih problematis, tahun 4 hijriyah dapat dikatakan sebagai tahun-tahun permulaan perkembangan Islam yang saat itu Negara Madinah (muslimin) masih dalam suasana konfrontasi dengan Makkah  yang masih musyrik/kafir, maka keadaan Madinah yang boming janda dan yatim korban perang uhud tersebut kalau tidak diatasi, maka yang terjadi adalah mereka (para janda dan anak yatimnya) yang kebanyakan dari wanita-wanita muhajirin tidak ada pelindung, maka mereka akan kembali pulang kepada keluarganya ke Makkah (musyrikin) dengan membawa anak-anak mereka yang yatim itu dan mereka dikhawatirkan akan menjadi murtad kembali, inilah suasana yang yang melingkupi turunnya ayat perintah poligami yang cukup menghawatirkan negara Madinah beru berdiri dan ummat Islam.   
Ada sebuah pertanyaan, mengapa ayat perintah poligami dalam ayat 3 surat An-Nisa’ kok langsung kawin “dua, tiga atau empat”, diawali dengan kata-kata matsna, watsulatsa wa rubaa’; Khitab ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang (sahabat) yang telah menikah/punya istri satu. supaya kawin lagi dengan seorang wanita (janda) yang beranak yatim;    Oleh karena itu, menurut hemat saya sesungguhnya Allah SWT, tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami, akan tetapi Allah SWT sangat menganjurkannya namun dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi , yaitu :
Pertama : bahwa istri kedua, ketiga dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim;
Kedua : harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil dan santun kepada anak-anak yatim;
Ketiga : optimis berkemampuan dan dapat berbuat adil dalam segala sisi kehidupan rumah-tangga;
Bagi yang arif memahami ayat-ayat Al-Qur-an tiga syarat tersebut diatas adalah syarat kumulatif. Dengan demikian perintah poligami akan menjadi gugur ketika tidak ada tiga syarat tersebut diatas. Hal tersebut didasarkan pada struktur kaidah bahasa” wa in khiftum alla tuqshitu fil yatama, fank kikhu maa thaba lakum minan-nisaa’i matsna watsulatsa wa ruba’”
Sesungguhnya perintah poligami dengan alas an-alasan sebagai tersebut diatas, akan dapat mencairkan berbagai kesulitan social yang dialami perempuan janda, antara lain;
(1)         Adanya seorang laki-laki disisi orang janda akan mempu menjaga dan memelihara agar tidak terjatuh dalam perbuatan negatif ;
(2)         Perlindungan dan pengasuhan dalam keluarga yang lengkap; ada ayah-ibu terhadap anak yatim;
(3)         Mengurangi dampak anak-anak yatim terlantar;
Kontek ayat ayat Al-Qur-an tentang poligami adalah berkaitan erat dengan masalah social kemasyarakatan, masalah anak-anak yatim agar muslimin berbuat baik/santun serta berlaku adil kepadanya. Masalah poligami sama sekali bukan konsep biologis (syahwat) dan juga bukan berkaitan dengan senggama. Karenanya Allah memerintahkan dengan mencukupkan diri dengan seorang istri saja, karena hal ini akan efektif mencegah menyulitkan diri dan laku aniaya (dzaalika adna alla ta’uulu).
Sesungguhnya masalah poligami sebagai perintah Allah yang ditetapkan dengan persyaratan-persyaratan seperti terurai diatas sebagai jalan keluar bagi persoalan kemasyarakatan yang mungkin terjadi mungkin tidak, berdasarkan firman-Nya :” wa in khiftum…….”. Karenanya perintah poligami menurut Al-Qur-an adalah tatkala terjadi problem social kemsayarakatan dan harus meninggalkan poligami ketika tidak terjadi problem sosial. Problem itu sangat tergantung erat dengan sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan masyarakat bersangkutan.
Alasan-alasan istri mandul, istri sakit, istri tidak dapat memberikan keturunan atau karena alasan syahwat lelaki lebih besar (hypersex) sering dijadikan justifikasi seorang laki-laki kawin dua, tiga dan empat, adalah tidak terdapat alasan dalam Al-Qu-an dan As-Sunnah. Alasan tersebut adalah alasan-alasan atas dasar maslakhah yang bersifat sementara bukan alasan kemashlakhatan yang permanen.
Pada masa Rasulullah, poligami sudah menjadi semacam endemic dalam struktur social pada saat itu tanpa adanya batas dan persyaratan. maka Al-Qur-an secara bijaksana menerima status quo dengan diserta langkah-langkah perbaikan dan pembatasan melalui sejumlah rancangan hukum (ayat-ayatnya). Kebijakan al-Quran tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan halal-haram, dan seakan-akan Al-Qur-an menyerahkan kepada masyarakat kapan harus melaksanakannya dan kapan harus meninggalkannya.

Hukum Bandingan

Hukum Poligami ini mirip dengan hukum Shalat Qoshar ketika kita dalam bepergian :  Q. S. 4 :101) : “ Dan apabila kamu bepergian diatas bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, juka kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S An-Nisa’ 101)
Allah SWT memberikan keringanan bagi orang yang bepergian untuk mengqashar shalat, jika ia merasa takut dan khawatir terhadap fitnah/gangguan orang kafir. Karena itu orang yang meringkas shalat ketika bepergian adalah “benar”, demikian juga orang yang tidak mengqoshar shalatnya ia juga “benar”, karena terbukti atau tidaknya syarat tersebut diserahkan kepada sang musafir itu sendiri.
   Poligami Rasulullah
            Ada baiknya kita mengenal dahulu poligami yang dilakukan oleh Rasulullah, Rasulullah sampai pada usianya yang ke 54 tahun melakukan monogamy (beristri seorang saja) yaitu Ibu Khadijah, Setelah Khadijah wafat, sempat menduda/menyendiri tanpa ada yang merawat selama 2 (dua) tahun. Barulah banyak kelaurganya yang kasihan, maka dipinangkannya kepada :
1.         Saudah binti Zam’ah, janda sahabat dekat Rasulullah bernama Sakran bin Amir yang wafat ketika hijarah ke Abesenia, Ia sudah tua bahkan Monopouse sehingga ia tidak berniat kawin, Ia tidak ada pelindung (wali) dan keluarganya masih kafir, kalau tidak ada yang mengawininya ada kemungkinan ia harus kembali kepada kaumnya yang masih kafir dan menjadi muetad, dengan 6 anak diantaranya masih yatim, untuk menyelamatkan melindungi Saudah, maka Rasulullah tampil mengawininya;.
2.         Aisyah binti Abu Bakar, perkawinannya ada hikmah yang tersembunyi, agar dekat dengan Abu Bakar, dan ia adalah wanita cerdas, mudah, teliti, pemberani, kaut hafalan dan lincah, sangat diperlukan untuk pengembangan syari’at, jika tidak maka kaum muslimin akan kehilangan pengajaran dari Nabi, Aisyah adalah amirul mu’minin fil hadits dan kebanyakan adalah hadits-hadits ibu A’isyah barkaitan dengan masalah keluarga dan kerumah-tanggaan, bagaimana Nabi mandi junub, bagaimana Rusullah mencumbu istri-istrinya dll;
3.         Hafsah binti Umar, agar dekat dengan Umar, janda dari perang uhud, beranak yatim 2 orang, Umar sebagai ayah menjadi gelisah dengan anaknya yang janda itu, ditawarkan kepada Abu Bakar kemudian kepada Utsman agar mau ia mengawininya, mereka tidak merespon, Rasulullah mendengar kegelisahan Umar, maka Rasulullah memanggil Umar dan menanyakan perihalnya , Maka Rasulullah tampil mengawininya dengan mengatakan “Hafsah akan dikawin oleh orang yang lebih mulya dari Abu Bakar dan Utsman (Nabi)”;
4.         Hindun Binti Umayyah, (Umi Salamah), janda dari sahid akibat luka perang uhud (Abdullah Al-Makhzumi), beranak banyak (6 orang) diantaranya yatim dan ia tidak berminat kawin, dipinang Abu Bakar dan Umar ia tidak mau.. Iapun ingin membebaskan pinangan Rasulullah, akhirnya Rasulullah mengajarkan doa’ atas musibahnya “ Mohonlah kepada Allah agar Allah memberimu pahala atas mushibah ini dan kau diberi ganti yang lebih baik” Umi Salamah menjawab “ Siapa lagi yang lebih baik dari Abu Salamah( Abdullah Al-Makhzumy) ya Rasulullah ?”
5.         Ramlah binti Abu Sufyan, anak tokoh qurasy (Abu Sufyan) yang masih kafir. Ia meninggalkan keluarganya (Abu Sufyan) dan ikut hijrah bersama suaminya ke Etiopia (Raja Negus), ternyata suaminya diperatauan itu murtad, sehingga Ramlah kehilangan sandaran, tidak mungkin kembali ke rumah Abu Sufyan karena sudah memusuhinya, maka Rasulullah tampil mengawininya, sahabat lain tidak ada sanggup, sebab ia beranak yatim 2 (dua) yang menjadi tanggungannya.
6.         Zainab binti Khuzaimah,  janda perang uhud (Abdullah bin Jahasy), beranak 3 kesemuanya yatim, umat Islam waktu itu masih sedikit dan tidak ada yang mempedulkan, maka Nabi tampil mengawininya. 
7.         Maimunah atau terkenal dengan nana Juwariyah bnti Harist, wanita rampasan perang  dari tokoh yahudi dari Bani Mustalik, menjadi budak, dimerdekakan oleh Rasulullah supaya pulang kepada kaumnya, tetapi ia memilih bersama Nabi, Perkawinan ini bertujuan syar’I agar para sahabat memerdekakan budak dari rampasan perangnya (Q.S. An-Nur 31)
8.         Shafiyah,  tawanan perang dari Bani Quraidlah, tidak cantik, pendeka sampai ada riwayat bahwa ia di cemooh oleh teman-temannya (para istri Nabi) karena pendeknya, Nabi menasehati “ Sungguh kalian telah mengucapkan kata-kata yang kalau dijatuhkan ke laut, maka laut itu akan menjadi keruh”
9.         Zainab binti Jahasy, masih anak dari bibi Rasulullah, dahulu dikawinkan oleh Rasulullah dengan anak angkat Nabi, Zaid bin Haritsah. Akan tetapi Zaid tidak dapat mendidiknya karena ia tetap meminta cerai dari Zaid, maka Rasulullah mengizinkan Zaid menceraikan Zainab, Lalu turunlah perintah Allah agar Nabi mengawininya untuk menghilangkan kesan dan kebiasaan Jahiliyah bahwa anak angkat itu sama dengan anak kandung.
10.     Shafiyah binti Hujaiy dan Raihanah binti Zaid, kedunya juga para janda yang menanggung anak-anak yatim dan menderita, yang tidak lama setelah dikawini oleh Rasul meraka wafat lebih dahulu dari Nabi;
Melihat dari itu semua sangat tidak benar tuduhan orientalis dan orang-orang yang tidak beriman dengan kerasulan Nabi bahwa poligami Rasulullah dengan pertimbangan nafsu atau sahwat, Poligami Rasulullah adalah demi perjuangan dan mengatasi masalah- masalah social disamping tujuan tasyri’ lainnya misalnya reformasi hokum perkawinan jahiliyah yang tiada terkendali dan terbatasi dengan norma yang jelas.
Poligami Rasulullah dilakukan dalam tempo yang amat singkat selama 7 (tujuh) tahun yaitu usia 53 sampai usia 60 dan Rasulullah wafat dalam usia 63 tahun setelah 54 tahun hidup dalam monogamy. Yang barang kali kita sebagai kaum lelaki tidak sanggup/tidak mau melakukannya;
Bagaimanakah sikap pribadi (jibilliyah) Rasulullah Terhadap Poligmi
1.      Dalam sebuah riwayat (hadits) dari seorang wanita yang bernama Amrah binti Abdurrahman : Ia pernah mengklarifikasi kepada Rasulullah dengan mengajukan pertanyaan : “Ya Rasulullullah, mengapa engkau tidak mengawini wanita-wanita Anshar yang notabena mereka adalah wanita-wanita cantik, Wahai Amrah..! mereka adalah perempuan yang memiliki rasa cemburu yang besar dan mereka tidak akan bersabar dimadu. Aku telah punya beberapa istri dan aku tidak suka menyakiti perempuan berkenaan dengan hal itu;”
2.      Riwayat Miswar bin Makhramah : Diriwayatkan bahwa Hisyam bin Mughirah meminta tolong kepadaku (Miswar) agar putrinya dapat kawin dengan Ali Bin Abu Thalib (suami Fathimah putri Rasulullah), desas desus ini didengar oleh Rasulullah “ Lalu Rasulullah bersabda “ Ketahuilah bahwa aku tidak mengizinkan Ali untuk menikah lagi, tidak mengizinkan, tidak mengizinkan (diulang 3 kali), kecuali jika Ali Bersedia menceraikan putriku, kemudian ia menikahi anak mereka. Sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku, barang siapa yang membahagiakannya berarti ia membahagiakanku, sebaliknya barang siapa yang menyakitinya berarti menyakitiku” 
Dua riwayat tersebut cukup memberikan gambaran yang lebih jelas bagaimana sikap Rasulullah terhadap poligami. Poligami hanya dilakukan dalam keadaan super emergensi terhadap permasalahan social bukan hanya dengan pertimbangan nafsu dan keinginan manusiawi.
Problem Pemahaman Tektualis
Ummat Islam banyak terpengaruh dengan pemikiran tekstual dalam memahami hokum Islam, hal tersebut kalau diruntut sejarahnya adalah karena penalaran dari pemikiran Imam Syafi’I. Imam Syafi’i telah menanamkan pondasi epitimologis yang sangat kuat menghunjam di hati ummat Islam (fuqoha’) ketika beliau mengeluarkan kaidah fiqhiyah “ idza shahhal al-hadits fahuwa madzhabiy”, bahwa “ketika sebuah teks (hadits) telah teruji dan terbukti keshahihannya itulah madzhabku”. Kaidah Syafi’i tersebut secara paradigmatic telah menggerakkan dunia intelektual Islam utamanya dibidang hukum. Sehingga ummat Islam (fuqoha’nya) berkutat dalam “tradisi-tradisi tekstualis”.
Menurut mereka kebenaran hukum agama hanya bisa ditentukan sejauh mana kesesuaiannya dengan bunyi literal (teks) baik dari Al-Qur-an atau Hadits, karena itu dalil Al-Qur-an dan Hadist shahih senantiasa dipegang teguh secara tekstual, tanpa memperhatikan latar belakang sejarah (sosio historis) yang meliputinya saat tasyri’ itu ditetapkan, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan asbabun-nuzul ayat dan “asbaabul wurud” haditsnya.
Paradigma Syafi’i tersebut telah sekian lama mendominasi dan menjadi world-view jalan pikiran ummat Islam dalam wacana hukum Islam, yang kemudian dalam tataran methodology hukum Islam (ushul fiqih) lahirlah kaidah ushuliyah “al-’ibrotu bi umumil lafdzi la bikhususi sababi”, yang dijadikan pegangan adalah bunyi tekstualnya bukan latar belakang yang melingkupinya. Kaidah ini pula yang dijadikan dasar stigmatisasi undang-undang Negara yang melarang, membatasi dan memberikan syarat-syarat tertentu bagi perkawinan poligami yang dinilainya sebagai undang undang sekuler dan bertentangan dengan agama. Akibatnya kini mainsteem pendapat di masyarakat Islam, bahwa poligami boleh terserah kepada kehendak yang bersangkutan (laki-laki) mau kawin berapa dan kapan saja, asal sama-sama setuju/sepakat antara pria yang berpoligami dengan wanita yang diplogami, sebab hanya mereka sendirilah yang tahu kondisi masing-masing.

Kedudukan Larangan Poligami Dalam UU Negara

Dalam Hukum Islam ada yang disebut al-Haram dan al-Halal termasuk hal-hal yang didiamkan oleh syar’i,
Haram adalah bersifat tetap, universal dan abadi, sedangkan halal bersifat mutlak, akan tetapi dalam pelaksanaanya memerlukan ketentuan-ketentuan dan cara-cara yang terbatas. Karena itu dalam persoalan melaksanakan hal-hal yang halal terdapat perintah dan larangan yang memerlukan pendapat dan campur tangan manusia (negara),
Negara menurut Islam memperoleh kekuasaan dari rakyat agar permasalahan permasalahan ummat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dengan memberikan porsi yang besar kepada wakil-wakil rakyat atau Dewan Legislatif  untuk melakukan ijtihad membentuk undang-undang. Anggapan para ulama yang menyatakan bahwa wewenang legislasi dalam Islam merupakan otorita ulama’ adalah bertentangan dengan kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa yang membentuk hukum adalah penguasa bukan ahli fiqih. Sekalipun demikian nasihat-nasihat dan pandangan ulama tetap diakui sesuatu yang diperlukan untuk menjelaskan secara teknis hal-hal yang berhubungan dengan agama dan hukum Islam. Pendapat ulama yang diterima dan dijadikan aturan negara menjadi kuat atas dasar ijma’ maupun al-maslakhah al-mursalah. Problema hukum Islam adalah sering kali dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan yang halal, tidak memperhatikan pendapat ulama dan kebutuhan masyarakat, karena mereka bertolak dari tesis (promis pokok) yaitu ”kekuasaan hukum hanya pada Allah”, pandangan manusia tidak memiliki peran sedikitpun terhadap hukum Allah.
Atas dasar prinsip tersebut, misalnya suatu negara ternyata menentukan hukum larangan poligami, maka seseorang tidak boleh mengklaim bahwa negara telah berbuat keji karena mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah, padahal hanya Allah semata yang mengharamkan perbuatan keji. Kesimpang siuran pemahaman tersebut karena tidak memahami perbedaan antara yang haram (al-haram) dan yang dilarang (al-mamnu’) yang tidak termasuk perbuatan dosa kalau dilanggar.
Sesuatu yang haram tidak mungkin dihalalkan, akan tetapi sesuatu yang halal mungkin dilarang (mamnu’) oleh negara dan pelarangannya tidaklah mengandung sifat abadi dan umum. Apabila pelarangan ini mengandung sifat umum dan abadi, maka hal yang dilarang ini berarti suatu yang haram dan ini hanya merupakan hak Allah semata.
Dari sini kami berpendapat, masyarakat/negara dapat saja menentukan dan memberlakukan boleh atau tidaknya berpoligami atas dasar data empiric termasuk statistic yang dihimpun oleh negara dan pendapat para ahli sangat signifikan untuk menentukan alasan diizinkannya atau dilarangnya poligami.
Saat ini negara Tunisia dan Maroko melarang poligami, maka pelarangan tersebut adalah benar. Sebaliknya seperti Indonesia sampai saat ini mengizinkan poligami  adalah juga benar. Sikap dua pemerintah yang berbeda tersebut, bukanlah merupakan ketetapan yang berlaku abadi dan dapat direfisi atau dirubah sesuai dengan kebutuhan kamaslahatan hidup bersama (al-maslakhah al-mursalah).
Jika terjadi pelanggaran terhadap aturan pemerintah yang sudah ditetapkan itu (malanggar larangan pemerintah), maka undang-undang berhak mengenakan denda/sanksi pelanggaran kepadanya karena telah melanggar ketertiban hidup bersama; akan tetapi ia tidak bisa dianggap sebagai telah berbuat melanggar ketentuan hududullah berzina yang harus dipidana hudud, karena dalam pelarangan negara itu tidak berkaitan dengan yang di haramkan oleh Allah.

Hukum Positif di Indonesia 

  Tentang perkawinan di Indonesia telah diatur dengan UU No. 1/1974, tentang Perakawinan. Masalah poligami diatur pada Bab I pasal 3 s/d pasal 5; Pada pokoknya menyatakan ; Poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat yang ketat; sebagai berikut :
-          Indonesia menganut azas monogamy Pasal 3 : ayat ( 1 );
-          Poligami harus memperoleh izin dari Pengadilan apabila dikehendaki pihak-pihak (Pasal 3 : 2 );
-          Pengadilan mengizinkan perkawinan poligami apabila :
-          Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
-          Istri mendapatkan cacat badan ;
-           berpenyakit tidak dapat disembuhkan dan ;
-           istri tidak dapat melahirkan keturunan. (Pasal 4 :2 );
-          Untuk dapat mengajukan ke Pengadilan harus dipenuhi syarat-syarat :
-                Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
-                Adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup sehari-hari istri-istri dan anak-anak mereka;
-                Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka; (Pasal 5:1)
-          Izin tidak perlu bila istri tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau tidak ada khabar dari istrinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau sebab lain yang perlu penilaian hakim; (Pasal 5 :2);

Ketentuan Pidana

            Dalam pelanggaran terhadap ketentuan hukum perkawinan di Indonesia terdapat ketentuan pidana, diatur dalam Bab IX Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975; sanksinya adalah hukuman kurungan 3 bulan atau denda Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah);
            Pasal tersebut bagaikan pasal yang sia-sia hanya ada dalam tulisan tetapi tidak di alam kenyataan, karena tidak pernah ada pelaku poligami yang dijerat dengan pasal tersebut. Hal ini karena kesalahan pemahaman, mereka berpendapat bahwa perkawinan adalah “ibadah” karenanya tidak layak dipidanakan, hal tersebut terjadi karena tidak bisa membedakan antara “al-haram” dan “al-mamnu’. Pelanggaran terhadap al-mamnu’ adalah pelanggaran terhadap kehidupan bersama dan hal itu diserahkan kepada negara untuk menerapkannya.
Karena demikian ringan dan lemahnya ketentuan pidana atas pelanggaran hukum perkawinan di Indonesi, sehingga ketentuan ini tidak efektif. 



1 komentar:

  1. MGM Resorts Casino Hotel - Mapyro
    Located 제주 출장마사지 in Las Vegas Strip, MGM Resorts Casino 울산광역 출장안마 Hotel 동해 출장마사지 is an ideal venue for exploring the city 천안 출장마사지 in search of an exciting casino 양주 출장안마 resort experience.

    BalasHapus