Tanggapan
pro-kontra poligami sebenarnya bukan masalah hukum, tetapi hakikatnya adalah
berkisar pada masalah perasaan, sosiokultural dan bahkan filosofi/pandangan
masyarakat saja. Masalah ini pernah muncul menghebohkan sangat ramai
dibicarakan orang, saat da’i “kondang” sejuta ummat K. H. Abdullah Gymnastiar
yang terkenal dengan sapaan A’A’ Gyem melakukan poligami, pada hal poligami
telah banyak dilkakukan oleh orang;
Kalau dikaji secara hukum, fuqaha’
sepakat bahwa poligami adalah halal. ayat-ayat al-Qur-an telah jelas (muhkam)
dan as-sunnah (Nabi dan para Sahabat) telah melakukan, dan ayat-ayat
tentang poligami masih tetap eksis dan tidak pernah dicabut atau dinasekh
hukumnya oleh Allah SWT. oleh karena itu marilah kita kaji secara lebih
mendalam ayat-ayat tentang Poligami ini agar kita dapat mendudukkan
persoalannya pada proporsi yang sebenarnya.
Kajian Fiqih Klasik
Kalau kita mengkaji fiqih
klasik dalam membicarakan poligami maka setidak-tidaknya ada tiga pandangan/pendapat,
yaitu;
Pertama :
Adalah pendapat yang mutasahilin, yaitu pendapat yang dikenal dengan sangat menggampangkan
masalah poligami; Poligami boleh dilakukan oleh suami tanpa syarat, bahkan ada
yang berpendapat bahwa poligami dibolehkan sampai berjumlah 9 (sembilan) orang
wanita yang ia suka, mendasarkan kalimah, matsna, watsulatsa waruba’ yang
berarti penjumlahan dari dua dan tiga dan empat, disamping itu mereka juga mendasarkan
pada prilaku nabi karena nabipun beristri 9 (sembilan) wanita dalam suatu masa;
Kedua :
Pendapat kelompok yang mutawasitin (moderat), yaitu poligami
dibolehkan dengan wanita yang ia senangi sejumlah empat orang dengan syarat ia
dapat menjamin berlaku adil dan berkemampuan;.
Ketiga :
Pendapat yang mutasyaddidin, yaitu pendapat bahwa poligami
dilarang (haram), karena meimbulkan efek penderitaan kepada kaum wanita dan
kaluarga, sedangkan syarat adil pada keizinan poligami menurut Al-Qur-an surart
An-Nisa’ 129 tidak akan dapat berbuat oleh siapapun. Berdasarkan pemikiran ini maka
tujuan Al-Qur-an adalah monogamy bukan polygamy.
Latar Belakang
Syar’i (Maqoshidusy syar’i)
Poligami merupakan salah satu
tema penting yang mendapatkan perhatian khusus dari Allah SWT. Allah
meletakkannya pada awal surat An-Nisa’ dalam kitab-Nya yang mulia.
Surat An-Nisa’ dan surat Ali Imran,
termasuk surat-surat madaniat, diturunkan pada tahun 4 (empat) Hijriyah
setelah terjadinya perang dahsyat yaitu perang Uhud, Dalam catatan tarikh dari 700 orang pasukan
muslimin dari sahabat nabi, gugur sebanyak 90 orang sebagai syuhada’, Secara
prosentatif 90 orang dari 700 orang pasukan melebihi 13 persen pasukan Islam,
jumlah yang cukup besar bagi sebuah pasukan (tentara) Negara Madinah yang baru
terbentuk oleh Nabi. Dengan meninggalnya 90 prajurit muslimin tersebut maka
saat itu terjadi boming janda dan anak-anak yatim. Untuk mengatasi kegoncangan
masalah social ditengah ummat Islam itu maka turunlah ayat-ayat dalam surat
An-Nisa secara berangsur-angsur secara keseluruhan memakan waktu selama 4
(empat) bulan.
Secara
mayoritas tema-tema penting ayat-ayat dalam surat An-Nisa’ tersebut
adalah berbicara tentang perlindungan atas hak-hak wanita yang saat ayat
Al-Qur-an diturunkan sangat tersubordinasikan.
Allah mengawali surah An-Nisa’
dengan seruan kepada manusia agar bertaqwa kepada Allah yang juga merupakan
tema penting penutup surat Ali Imran (wattaqullaaha la’allakum tuflihuun);
Pertama seruan menyambung silaturrahiim dengan pangkal tolak pandangan
universal kemanusiaan bukan secara sempit; Atas dasar kelompok, suku, bangsa
atau ras manusia yang sempit, karena penciptaan manusia dari nafs yang
sama (min nafs wahidah) (Q.S. 4 : 1); Kemudian Allah membicarakan
anak-anak yatim, dalam konteks ini Allah SWT. memerintahkan manusia agar supaya
memberikan harta benda anak-anak yatim dan tidak memakannya secara dhalim (Q.S.
4 : 2); Selanjutnya Allah SWT. menindak lanjuti pembahasan anak-anak yatim dengan perintah kepada manusia untuk menikahi
perempuan-perempuan yang disenangi dua,
tiga atau empat yang dibatasi (muqayyad) hanya pada satu kondisi, yaitu jika
ia takut tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim (in khiftum alla
tuqshitu fil-yatama).(Q.S. 4:3);
Kemudian ayat ke 4 (empat) an-Nisa’
tersebut, Allah SWT melanjutkan pembahasan tentang maskawin dan mahar bagi
perempuan; Pada ayat ke 5 (lima) tentang larangan menyerahkan kepada harta orang-orang
yang belum sempurna akalnya harta benda mereka; Kemudian pada ayat ke 6 (enam)
sekali lagi Allah yang Maha Hakim dan Bijak Bestari sekali lagi membicarakan
anak-anak yatim (wabtalul yatama hatta balaghun-nikaakh…)
Dengan
memperhatikan dan mencermati munasahah (persesuaian) ayat demi
ayat tersebut, maka manusia yang arief akan memahami bahwa masalah poligami
tidak bisa terlepas dengan permasalahan sosilogis, utamanya masalah anak-anak
yatim, dimana Allah menghendaki dan telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk
berbuat baik dan adil kepada mereka, menjaga, menyantuni dan memelihara harta
mereka serta menyerahkannya kembali kepada mereka ketika mereka telah menginjak
umur dewasa (ar-rusydu).
Bagaimana
hal tersebut bisa terwujud ? Apakah kita harus mengambil anak-anak yatim
tersebut dari asuhan ibu mereka kedalam rumah-tangga kita ? Mendidik mereka dalam
panti asuhan dan memisahkan mereka dari ibu-ibu meraka ? Apakah kita membiarkan
meraka tetap menderita ? Jika demikian berarti kita tidak dapat melaksanakan
perintah tema universal Al-Qur-an yaitu mengangkat kedudukan masyarakat yang
tersubbordinasikan atau dikenal dengan istilah “masyarakat klas dua” antara
lain yaitu wanita, anak-anak yatim, fakir miskin dan para budak menuju terwujudnya
kondisi keadilan social demi terwujudnya persamaan derajad manusia dalam
kehidupan kemasyarakatan yang elegan.
Kebijakan
moral untuk mewujudkan keadilan social yang menjadi tujuan universal syari’at
Islam tersebut akan lebih nampak jelas bila kita memahami dan menelusuri latar
belakang sosiologis masyarakat Arab ketika Al-Qur-an itu diturunkan. Pola
kehidupan social saat itu diwarnai kesenjangan yang luar biasa, yakni
terjadinya eksploitasi kelompok “masyarakat klas satu” yang terdiri masyarakat elit
terhadap kelompok “masyarakat klas dua”. yaitu kaum mustdz’afiin
terdiri kaum wanita, anak-anak yatim, fakir miskin dan para budak. Hal tersebut
merupakan tema penting dan sentral Al-Qur-an (Islam) diturunkan.
Dalam keadaan yang demikian
inilah, yakni kekhawatiran tidak terwujudnya keadilan pada anak-anak yatim, dan
janda yang terlntar karena tidak ada pelindung terhadap aqidah maupun social
ekonominya, maka ayat 3 (tiga) surat An-Nisa’ tersebut diatas memperbolehkan
bahkan menganjurkan poligami, yakni dengan menikahi ibu-ibu mereka yang
menjadi janda.
Ada factor lain yang lebih problematis,
tahun 4 hijriyah dapat dikatakan sebagai tahun-tahun permulaan perkembangan
Islam yang saat itu Negara Madinah (muslimin) masih dalam suasana konfrontasi
dengan Makkah yang masih musyrik/kafir,
maka keadaan Madinah yang boming janda dan yatim korban perang uhud
tersebut kalau tidak diatasi, maka yang terjadi adalah mereka (para janda dan
anak yatimnya) yang kebanyakan dari wanita-wanita muhajirin tidak ada pelindung,
maka mereka akan kembali pulang kepada keluarganya ke Makkah (musyrikin) dengan
membawa anak-anak mereka yang yatim itu dan mereka dikhawatirkan akan menjadi
murtad kembali, inilah suasana yang yang melingkupi turunnya ayat perintah
poligami yang cukup menghawatirkan negara Madinah beru berdiri dan ummat Islam.
Ada
sebuah pertanyaan, mengapa ayat perintah poligami dalam ayat 3 surat An-Nisa’
kok langsung kawin “dua, tiga atau empat”, diawali dengan kata-kata “matsna,
watsulatsa wa rubaa’; Khitab ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang
(sahabat) yang telah menikah/punya istri satu. supaya kawin lagi dengan seorang
wanita (janda) yang beranak yatim; Oleh
karena itu, menurut hemat saya sesungguhnya Allah SWT, tidak hanya sekedar
memperbolehkan poligami, akan tetapi Allah SWT sangat menganjurkannya namun
dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi , yaitu :
Pertama
: bahwa istri kedua, ketiga dan keempat adalah para janda yang memiliki
anak yatim;
Kedua
: harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil dan santun kepada
anak-anak yatim;
Ketiga
: optimis berkemampuan dan dapat berbuat adil dalam segala sisi kehidupan
rumah-tangga;
Bagi
yang arif memahami ayat-ayat Al-Qur-an tiga syarat tersebut diatas adalah
syarat kumulatif. Dengan demikian perintah poligami akan menjadi gugur ketika
tidak ada tiga syarat tersebut diatas. Hal tersebut didasarkan pada struktur
kaidah bahasa” wa in khiftum alla tuqshitu fil yatama, fank kikhu maa
thaba lakum minan-nisaa’i matsna watsulatsa wa ruba’”
Sesungguhnya
perintah poligami dengan alas an-alasan sebagai tersebut diatas, akan dapat
mencairkan berbagai kesulitan social yang dialami perempuan janda, antara lain;
(1)
Adanya seorang laki-laki
disisi orang janda akan mempu menjaga dan memelihara agar tidak terjatuh dalam
perbuatan negatif ;
(2)
Perlindungan dan pengasuhan dalam
keluarga yang lengkap; ada ayah-ibu terhadap anak yatim;
(3)
Mengurangi dampak anak-anak
yatim terlantar;
Kontek
ayat ayat Al-Qur-an tentang poligami adalah berkaitan erat dengan masalah
social kemasyarakatan, masalah anak-anak yatim agar muslimin berbuat baik/santun
serta berlaku adil kepadanya. Masalah poligami sama sekali bukan konsep
biologis (syahwat) dan juga bukan berkaitan dengan senggama. Karenanya Allah
memerintahkan dengan mencukupkan diri dengan seorang istri saja, karena hal ini
akan efektif mencegah menyulitkan diri dan laku aniaya (dzaalika adna alla
ta’uulu).
Sesungguhnya
masalah poligami sebagai perintah Allah yang ditetapkan dengan
persyaratan-persyaratan seperti terurai diatas sebagai jalan keluar bagi
persoalan kemasyarakatan yang mungkin terjadi mungkin tidak, berdasarkan
firman-Nya :” wa in khiftum…….”. Karenanya perintah poligami
menurut Al-Qur-an adalah tatkala terjadi problem social kemsayarakatan dan
harus meninggalkan poligami ketika tidak terjadi problem sosial. Problem itu sangat
tergantung erat dengan sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan
masyarakat bersangkutan.
Alasan-alasan
istri mandul, istri sakit, istri tidak dapat memberikan keturunan atau karena
alasan syahwat lelaki lebih besar (hypersex) sering dijadikan justifikasi
seorang laki-laki kawin dua, tiga dan empat, adalah tidak terdapat alasan dalam
Al-Qu-an dan As-Sunnah. Alasan tersebut adalah alasan-alasan atas dasar maslakhah
yang bersifat sementara bukan alasan kemashlakhatan yang permanen.
Pada
masa Rasulullah, poligami sudah menjadi semacam endemic dalam struktur social
pada saat itu tanpa adanya batas dan persyaratan. maka Al-Qur-an secara
bijaksana menerima status quo dengan diserta langkah-langkah perbaikan dan
pembatasan melalui sejumlah rancangan hukum (ayat-ayatnya). Kebijakan al-Quran
tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan halal-haram, dan
seakan-akan Al-Qur-an menyerahkan kepada masyarakat kapan harus melaksanakannya
dan kapan harus meninggalkannya.
Hukum Bandingan
Hukum
Poligami ini mirip dengan hukum Shalat Qoshar ketika kita dalam
bepergian : Q. S. 4 :101) : “ Dan
apabila kamu bepergian diatas bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar
shalatmu, juka kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang
kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S An-Nisa’ 101)
Allah
SWT memberikan keringanan bagi orang yang bepergian untuk mengqashar shalat,
jika ia merasa takut dan khawatir terhadap fitnah/gangguan orang kafir. Karena
itu orang yang meringkas shalat ketika bepergian adalah “benar”, demikian
juga orang yang tidak mengqoshar shalatnya ia juga “benar”, karena
terbukti atau tidaknya syarat tersebut diserahkan kepada sang musafir itu
sendiri.
Poligami Rasulullah
Ada baiknya kita mengenal dahulu
poligami yang dilakukan oleh Rasulullah, Rasulullah sampai pada usianya yang ke
54 tahun melakukan monogamy (beristri seorang saja) yaitu Ibu Khadijah, Setelah
Khadijah wafat, sempat menduda/menyendiri tanpa ada yang merawat selama 2 (dua)
tahun. Barulah banyak kelaurganya yang kasihan, maka dipinangkannya kepada :
1.
Saudah binti Zam’ah, janda
sahabat dekat Rasulullah bernama Sakran bin Amir yang wafat ketika hijarah ke
Abesenia, Ia sudah tua bahkan Monopouse sehingga ia tidak berniat kawin, Ia tidak
ada pelindung (wali) dan keluarganya masih kafir, kalau tidak ada yang
mengawininya ada kemungkinan ia harus kembali kepada kaumnya yang masih kafir
dan menjadi muetad, dengan 6 anak diantaranya masih yatim, untuk menyelamatkan
melindungi Saudah, maka Rasulullah tampil mengawininya;.
2.
Aisyah binti Abu Bakar, perkawinannya
ada hikmah yang tersembunyi, agar dekat dengan Abu Bakar, dan ia adalah wanita
cerdas, mudah, teliti, pemberani, kaut hafalan dan lincah, sangat diperlukan
untuk pengembangan syari’at, jika tidak maka kaum muslimin akan kehilangan
pengajaran dari Nabi, Aisyah adalah amirul mu’minin fil hadits
dan kebanyakan adalah hadits-hadits ibu A’isyah barkaitan dengan masalah keluarga
dan kerumah-tanggaan, bagaimana Nabi mandi junub, bagaimana Rusullah mencumbu
istri-istrinya dll;
3.
Hafsah binti Umar, agar
dekat dengan Umar, janda dari perang uhud, beranak yatim 2 orang, Umar
sebagai ayah menjadi gelisah dengan anaknya yang janda itu, ditawarkan kepada
Abu Bakar kemudian kepada Utsman agar mau ia mengawininya, mereka tidak
merespon, Rasulullah mendengar kegelisahan Umar, maka Rasulullah memanggil Umar
dan menanyakan perihalnya , Maka Rasulullah tampil mengawininya dengan
mengatakan “Hafsah akan dikawin oleh orang yang lebih mulya dari Abu Bakar dan
Utsman (Nabi)”;
4.
Hindun Binti Umayyah, (Umi
Salamah), janda dari sahid akibat luka perang uhud (Abdullah Al-Makhzumi),
beranak banyak (6 orang) diantaranya yatim dan ia tidak berminat kawin,
dipinang Abu Bakar dan Umar ia tidak mau.. Iapun ingin membebaskan pinangan
Rasulullah, akhirnya Rasulullah mengajarkan doa’ atas musibahnya “ Mohonlah
kepada Allah agar Allah memberimu pahala atas mushibah ini dan kau diberi ganti
yang lebih baik” Umi Salamah menjawab “ Siapa lagi yang lebih baik dari
Abu Salamah( Abdullah Al-Makhzumy) ya Rasulullah ?”
5.
Ramlah binti Abu Sufyan, anak
tokoh qurasy (Abu Sufyan) yang masih kafir. Ia meninggalkan keluarganya (Abu
Sufyan) dan ikut hijrah bersama suaminya ke Etiopia (Raja Negus), ternyata
suaminya diperatauan itu murtad, sehingga Ramlah kehilangan
sandaran, tidak mungkin kembali ke rumah Abu Sufyan karena sudah memusuhinya,
maka Rasulullah tampil mengawininya, sahabat lain tidak ada sanggup, sebab ia
beranak yatim 2 (dua) yang menjadi tanggungannya.
6.
Zainab binti Khuzaimah, janda perang uhud (Abdullah bin Jahasy),
beranak 3 kesemuanya yatim, umat Islam waktu itu masih sedikit dan tidak ada
yang mempedulkan, maka Nabi tampil mengawininya.
7.
Maimunah atau terkenal
dengan nana Juwariyah bnti Harist, wanita rampasan perang dari tokoh yahudi dari Bani Mustalik, menjadi
budak, dimerdekakan oleh Rasulullah supaya pulang kepada kaumnya, tetapi ia
memilih bersama Nabi, Perkawinan ini bertujuan syar’I agar para sahabat
memerdekakan budak dari rampasan perangnya (Q.S. An-Nur 31)
8.
Shafiyah, tawanan perang dari Bani Quraidlah, tidak
cantik, pendeka sampai ada riwayat bahwa ia di cemooh oleh teman-temannya (para
istri Nabi) karena pendeknya, Nabi menasehati “ Sungguh kalian telah
mengucapkan kata-kata yang kalau dijatuhkan ke laut, maka laut itu akan menjadi
keruh”
9.
Zainab binti Jahasy, masih
anak dari bibi Rasulullah, dahulu dikawinkan oleh Rasulullah dengan anak angkat
Nabi, Zaid bin Haritsah. Akan tetapi Zaid tidak dapat mendidiknya karena
ia tetap meminta cerai dari Zaid, maka Rasulullah mengizinkan Zaid menceraikan
Zainab, Lalu turunlah perintah Allah agar Nabi mengawininya untuk menghilangkan
kesan dan kebiasaan Jahiliyah bahwa anak angkat itu sama dengan anak kandung.
10.
Shafiyah binti Hujaiy dan
Raihanah binti Zaid, kedunya juga para janda yang menanggung anak-anak
yatim dan menderita, yang tidak lama setelah dikawini oleh Rasul meraka wafat
lebih dahulu dari Nabi;
Melihat
dari itu semua sangat tidak benar tuduhan orientalis dan orang-orang yang tidak
beriman dengan kerasulan Nabi bahwa poligami Rasulullah dengan pertimbangan
nafsu atau sahwat, Poligami Rasulullah adalah demi perjuangan dan mengatasi
masalah- masalah social disamping tujuan tasyri’ lainnya misalnya reformasi
hokum perkawinan jahiliyah yang tiada terkendali dan terbatasi dengan norma
yang jelas.
Poligami
Rasulullah dilakukan dalam tempo yang amat singkat selama 7 (tujuh) tahun yaitu
usia 53 sampai usia 60 dan Rasulullah wafat dalam usia 63 tahun setelah 54
tahun hidup dalam monogamy. Yang barang kali kita sebagai kaum lelaki tidak sanggup/tidak
mau melakukannya;
Bagaimanakah
sikap pribadi (jibilliyah) Rasulullah Terhadap Poligmi
1.
Dalam sebuah riwayat (hadits) dari
seorang wanita yang bernama Amrah binti Abdurrahman : Ia pernah mengklarifikasi
kepada Rasulullah dengan mengajukan pertanyaan : “Ya Rasulullullah,
mengapa engkau tidak mengawini wanita-wanita Anshar yang notabena mereka adalah
wanita-wanita cantik, Wahai Amrah..! mereka adalah perempuan yang memiliki rasa
cemburu yang besar dan mereka tidak akan bersabar dimadu. Aku telah punya
beberapa istri dan aku tidak suka menyakiti perempuan berkenaan dengan hal
itu;”
2.
Riwayat Miswar bin Makhramah :
Diriwayatkan bahwa Hisyam bin Mughirah meminta tolong kepadaku (Miswar) agar
putrinya dapat kawin dengan Ali Bin Abu Thalib (suami Fathimah putri
Rasulullah), desas desus ini didengar oleh Rasulullah “ Lalu Rasulullah
bersabda “ Ketahuilah bahwa aku tidak mengizinkan Ali untuk menikah lagi,
tidak mengizinkan, tidak mengizinkan (diulang 3 kali), kecuali jika Ali
Bersedia menceraikan putriku, kemudian ia menikahi anak mereka. Sesungguhnya
Fatimah adalah darah dagingku, barang siapa yang membahagiakannya berarti ia
membahagiakanku, sebaliknya barang siapa yang menyakitinya berarti menyakitiku”
Dua
riwayat tersebut cukup memberikan gambaran yang lebih jelas bagaimana sikap
Rasulullah terhadap poligami. Poligami hanya dilakukan dalam keadaan super
emergensi terhadap permasalahan social bukan hanya dengan pertimbangan nafsu
dan keinginan manusiawi.
Problem
Pemahaman Tektualis
Ummat Islam
banyak terpengaruh dengan pemikiran tekstual dalam memahami hokum Islam, hal
tersebut kalau diruntut sejarahnya adalah karena penalaran dari pemikiran Imam
Syafi’I. Imam Syafi’i telah menanamkan pondasi epitimologis yang sangat kuat
menghunjam di hati ummat Islam (fuqoha’) ketika beliau mengeluarkan kaidah
fiqhiyah “ idza shahhal al-hadits fahuwa madzhabiy”, bahwa “ketika sebuah
teks (hadits) telah teruji dan terbukti keshahihannya itulah madzhabku”. Kaidah
Syafi’i tersebut secara paradigmatic telah menggerakkan dunia intelektual Islam
utamanya dibidang hukum. Sehingga ummat Islam (fuqoha’nya) berkutat dalam
“tradisi-tradisi tekstualis”.
Menurut mereka
kebenaran hukum agama hanya bisa ditentukan sejauh mana kesesuaiannya dengan
bunyi literal (teks) baik dari Al-Qur-an atau Hadits, karena itu dalil
Al-Qur-an dan Hadist shahih senantiasa dipegang teguh secara tekstual, tanpa
memperhatikan latar belakang sejarah (sosio historis) yang meliputinya saat
tasyri’ itu ditetapkan, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan asbabun-nuzul
ayat dan “asbaabul wurud” haditsnya.
Paradigma
Syafi’i tersebut telah sekian lama mendominasi dan menjadi world-view jalan pikiran ummat Islam dalam wacana hukum Islam, yang
kemudian dalam tataran methodology hukum Islam (ushul fiqih) lahirlah
kaidah ushuliyah “al-’ibrotu bi umumil
lafdzi la bikhususi sababi”, yang dijadikan pegangan adalah bunyi
tekstualnya bukan latar belakang yang melingkupinya. Kaidah ini pula yang
dijadikan dasar stigmatisasi undang-undang Negara yang melarang,
membatasi dan memberikan syarat-syarat tertentu bagi perkawinan poligami yang
dinilainya sebagai undang undang sekuler dan bertentangan dengan agama.
Akibatnya kini mainsteem pendapat di masyarakat Islam, bahwa poligami
boleh terserah kepada kehendak yang bersangkutan (laki-laki) mau kawin berapa
dan kapan saja, asal sama-sama setuju/sepakat antara pria yang berpoligami
dengan wanita yang diplogami, sebab hanya mereka sendirilah yang tahu kondisi
masing-masing.
Kedudukan Larangan Poligami Dalam UU Negara
Dalam
Hukum Islam ada yang disebut al-Haram dan al-Halal termasuk
hal-hal yang didiamkan oleh syar’i,
Haram
adalah bersifat tetap, universal dan abadi, sedangkan halal bersifat mutlak,
akan tetapi dalam pelaksanaanya memerlukan ketentuan-ketentuan dan cara-cara
yang terbatas. Karena itu dalam persoalan melaksanakan hal-hal yang halal
terdapat perintah dan larangan yang memerlukan pendapat dan campur tangan
manusia (negara),
Negara
menurut Islam memperoleh kekuasaan dari rakyat agar permasalahan permasalahan
ummat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dengan memberikan porsi yang besar
kepada wakil-wakil rakyat atau Dewan Legislatif
untuk melakukan ijtihad membentuk undang-undang. Anggapan para ulama
yang menyatakan bahwa wewenang legislasi dalam Islam merupakan otorita ulama’
adalah bertentangan dengan kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa yang
membentuk hukum adalah penguasa bukan ahli fiqih. Sekalipun demikian
nasihat-nasihat dan pandangan ulama tetap diakui sesuatu yang diperlukan untuk
menjelaskan secara teknis hal-hal yang berhubungan dengan agama dan hukum
Islam. Pendapat ulama yang diterima dan dijadikan aturan negara menjadi kuat
atas dasar ijma’ maupun al-maslakhah al-mursalah. Problema
hukum Islam adalah sering kali dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan yang
halal, tidak memperhatikan pendapat ulama dan kebutuhan masyarakat, karena
mereka bertolak dari tesis (promis pokok) yaitu ”kekuasaan hukum hanya pada
Allah”, pandangan manusia tidak memiliki peran sedikitpun terhadap hukum
Allah.
Atas
dasar prinsip tersebut, misalnya suatu negara ternyata menentukan hukum
larangan poligami, maka seseorang tidak boleh mengklaim bahwa negara telah
berbuat keji karena mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah, padahal
hanya Allah semata yang mengharamkan perbuatan keji. Kesimpang siuran pemahaman
tersebut karena tidak memahami perbedaan antara yang haram (al-haram)
dan yang dilarang (al-mamnu’) yang tidak termasuk perbuatan dosa
kalau dilanggar.
Sesuatu
yang haram tidak mungkin dihalalkan, akan tetapi sesuatu yang halal mungkin
dilarang (mamnu’) oleh negara dan pelarangannya tidaklah
mengandung sifat abadi dan umum. Apabila pelarangan ini mengandung sifat umum
dan abadi, maka hal yang dilarang ini berarti suatu yang haram dan ini hanya merupakan
hak Allah semata.
Dari
sini kami berpendapat, masyarakat/negara dapat saja menentukan dan
memberlakukan boleh atau tidaknya berpoligami atas dasar data empiric termasuk
statistic yang dihimpun oleh negara dan pendapat para ahli sangat signifikan
untuk menentukan alasan diizinkannya atau dilarangnya poligami.
Saat
ini negara Tunisia dan Maroko melarang poligami, maka pelarangan tersebut
adalah benar. Sebaliknya seperti Indonesia sampai saat ini mengizinkan
poligami adalah juga benar. Sikap
dua pemerintah yang berbeda tersebut, bukanlah merupakan ketetapan yang berlaku
abadi dan dapat direfisi atau dirubah sesuai dengan kebutuhan kamaslahatan
hidup bersama (al-maslakhah al-mursalah).
Jika
terjadi pelanggaran terhadap aturan pemerintah yang sudah ditetapkan itu
(malanggar larangan pemerintah), maka undang-undang berhak mengenakan
denda/sanksi pelanggaran kepadanya karena telah melanggar ketertiban hidup
bersama; akan tetapi ia tidak bisa dianggap sebagai telah berbuat melanggar
ketentuan hududullah berzina yang harus dipidana hudud,
karena dalam pelarangan negara itu tidak berkaitan dengan yang di haramkan oleh
Allah.
Hukum Positif di Indonesia
Tentang
perkawinan di Indonesia telah diatur dengan UU No. 1/1974, tentang Perakawinan.
Masalah poligami diatur pada Bab I pasal 3 s/d pasal 5; Pada pokoknya
menyatakan ; Poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat yang ketat; sebagai
berikut :
-
Indonesia menganut azas monogamy
Pasal 3 : ayat ( 1 );
-
Poligami harus memperoleh izin
dari Pengadilan apabila dikehendaki pihak-pihak (Pasal 3 : 2 );
-
Pengadilan mengizinkan perkawinan
poligami apabila :
-
Istri tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai istri;
-
Istri mendapatkan cacat badan ;
-
berpenyakit tidak dapat disembuhkan dan ;
-
istri tidak dapat melahirkan keturunan. (Pasal
4 :2 );
-
Untuk dapat mengajukan ke
Pengadilan harus dipenuhi syarat-syarat :
-
Adanya persetujuan dari
istri/istri-istri;
-
Adanya kepastian suami mampu
menjamin keperluan hidup sehari-hari istri-istri dan anak-anak mereka;
-
Adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka; (Pasal 5:1)
-
Izin tidak perlu bila istri tidak
mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
atau tidak ada khabar dari istrinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
sebab lain yang perlu penilaian hakim; (Pasal 5 :2);
Ketentuan Pidana
Dalam
pelanggaran terhadap ketentuan hukum perkawinan di Indonesia terdapat ketentuan
pidana, diatur dalam Bab IX Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975;
sanksinya adalah hukuman kurungan 3 bulan atau denda Rp. 7.500,- (tujuh ribu
lima ratus rupiah);
Pasal tersebut bagaikan pasal
yang sia-sia hanya ada dalam tulisan tetapi tidak di alam kenyataan, karena
tidak pernah ada pelaku poligami yang dijerat dengan pasal tersebut. Hal ini
karena kesalahan pemahaman, mereka berpendapat bahwa perkawinan adalah “ibadah”
karenanya tidak layak dipidanakan, hal tersebut terjadi karena tidak bisa
membedakan antara “al-haram” dan “al-mamnu’. Pelanggaran terhadap
al-mamnu’ adalah pelanggaran terhadap kehidupan bersama dan hal itu
diserahkan kepada negara untuk menerapkannya.
Karena
demikian ringan dan lemahnya ketentuan pidana atas pelanggaran hukum perkawinan
di Indonesi, sehingga ketentuan ini tidak efektif.
MGM Resorts Casino Hotel - Mapyro
BalasHapusLocated 제주 출장마사지 in Las Vegas Strip, MGM Resorts Casino 울산광역 출장안마 Hotel 동해 출장마사지 is an ideal venue for exploring the city 천안 출장마사지 in search of an exciting casino 양주 출장안마 resort experience.