Kamis, 26 Juli 2012

HISAB DAN RUKYAT DALAM PRESPEKTIF TARJIH MUHAMMADIYAH



HISAB DAN RUKYAT DALAM PRESPEKTIF
TARJIH MUHAMMADIYAH
 Pendahuluan
 Hampir dapat dipastikan untuk mengawali puasa Ramadlan 1433 H. nanti ummat Islam akan berbeda lagi, hal ini disebabkan karena posisi hilal pada tanggal 29 Sya’ban 1433 H bertepatan dengan tanggal 19 Juli 2012 di seluruh wilayah Indonesia tidak sampai 2° diatas ufuk saat matahari terbenam (ghurub). Untuk kota Makassar misalnya ghurub pada tanggal 19 Juli 2012 tersebut ketinggian hilal hanya 1°19’ diatas ufuk, Jakarta 1º47’, Yogyakarta 1º48’, Sabang 1º12’ dan Meraoke 0º 52’.
Perbedaan penetapan tanggal 1 Ramadlan maupun 1 Syawwal sebagai tersebut diatas bagi ummat Islam bukanlah yang pertama kali, tetapi telah berkali-kali dan telah berjalan berpuluh-puluh tahun silam.


Tanggal 25 April 2012 yang lalu, ada berita bagaikan angin sorga yang menyegarkan bagi kita ummat Islam, karena di Kantor Kementrian Agama di Jakarta, telah dihadirkan 60 perwakilan ormas Islam, Pondok Pesantren, para pakar hisab-rukyat dan instansi terkait; Bosscha ITB, LAPAN, BMKG dan Planetarium & Observatorium untuk menggagas terwujudnya Kalender Islam Tunggal, akan tetapi setelah gagasan-gagasan kesepakatan tersebut dirumuskan dalam butir-butir kalimat, lagi-lagi yang terjadi adalah ketidak sepakatan.
Kegalauan ini tidak hanya mengusik Pemerintah c.q Kementrian Agama RI, Mahkamah Agung RI sebagai lembaga yudikatif juga turut galau menghadapai kenyatan perbedaan pandangan masyarakata dalam masalah ini.
Yang Mulya Bapak Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H. M.H. Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung mulai tanggal 27 s/d. tanggal 29 Juni 2012 melakukan pembinaan dan bimbingan kepada petinggi-petinggi Badilag mebicarakan masalah yang terkait dengan Penetapan/Istbat Rukyatul Hilal Ramadlan yang menjadi tugas Peradilan Agama yang sering menjadi masalah krusial di tengah masyarakat.
Penetapan 1 Syawwal 1432 yang lalu terjadi dua arus besar perbedaan penetapan, yaitu Penetapan Pemerintah c.q. Kementrian Agama yang diikuti oleh sejumlah besar ormas-ormas Islam disatu pihak dengan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dipihak lain. Oleh karena itu ada baiknya kita kaji pemikiran Muhammadiyah dalam masalah penetapan bulan qomariyah termasuk 1 Ramadlan dan 1 Syawwal sekedar kita ketahui sebagai wacana.

Ibadah Sangat Berkaitan dengan Waktu   

Kewajiban ibadah dalam agama banyak berkaitan dengan waktu, baik yang berupa jam misalnya ibadah shalat, hari misalnya puasa sunnah hari Senin dan Kamis, dikaitkan dengan bulan seperti ibadah puasa ramadlan dan hajji, dikaitkan dengan khaul tahunan misalnya kewajiban mengeluarkan zakat atas barang-barang tertentu. Penentuan waktu tersebut ditandai dengan gejala alam dan yang paling pokok adalah peredaran dan kedudukan dua benda langit yaitu matahari dan bulan. Perintah shalat oleh Al-Qur-an dikaitkan dengan peredaran dan kedudukan matahari, sebagaimana Allah firmankan  dalam surat Al-Isra’ ayat 78 ;
اقم الصلاة لدلوك الشمس الي غشق اليل                         
Artinya : “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam”
 
Perintah mengawali puasa ramadlan dan mengakhirinya, nabi menentukan dengan gejala melihat hilal (ru’yah) di awal bulan ramadlan dan melihat hilal di awal bulan Syawwal dengan hadits Nabi menyatakan ;
صوموا لرئيته وافطروا لرئيته (الحديث)
ِِِِِAِِِِِrtinya : Puasalah kamu sekalian jika telah melihat bulan (yang menandakan) tanggal satu Ramadlan dan berbukalah jika telah melihat bulan (yang menandakan) tanggal satu bulan Syawwal.
Sampai saat ini manusia mengenal dua sistem acuan waktu, yaitu lunar system (sistem bulan) dan solar system (sistem matahari). Kedua sistem tersebut dipakai oleh Islam. Allah SWT menggunakan acuan waktu shalat dengan acuan solar system sebagaimana surat Al-Isra’ ayat 78 tersebut diatas, sedang ibadah puasa dan ibadah hajji mamakai acuan lunar system, sebagaimana disebut dalam surat Al-Baqaroh 189 ;
يسئلونك عن الاهلة قل هي موقيت للناس والحج
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah ; Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (ibadah) hajji…”

Kedudukan Ilmu Hisab Dalam Wacana Fiqhiyah
Ilmu Hisab dalam bidang astronomi masih belum popular pada masa permulaan Islam, akan tetapi dalam catatan tarikh (sejarah) Islam, pemakaian hisab dalam arti mengetahui posisi bulan pada waktu ghurub di akhir tiap bulan sebagai penentu pergantian bulan sudah diamalkan oleh sahabat bernama Abu Quthaibah dan Muthorrof ibn al-Sahir Abu al-Abbas ibn Suraih. Yaitu pada waktu mengartikan perintah nabi dalam hadits kata “faqduruulah” sebagai “faqduruuhu bihasbi al manazilihi”  artinya “tentukan kedudukan hilalnya” yang berarti menentukan posisi hilal dengan hisab, tidak harus istikmal.
Hal ini didapatkan dari dua hadits Nabi dalam satu perintah yang sama, yakni hadits riwayat dari Ibnu Umar :

عن مالك عن نافع عن ابن عمر : صوموا لرؤيته فافطروا لرؤيته فان غم عليكم فاقدرواله

Sedangkan hadits riwayat dari Abu Hurairah tersebut berbunyi :

عن ابى هريرة رضي الله عنه قال النبي صلعم : صوموا لرؤيته فافطروا لرؤيته فان غم عليكم فاكملواالعدة …..
sehingga mereka tersebut diatas memisahkan mukhatabnya, bagi orang yang bisa menghitung/berhisab, hisablah kedudukan hilal, sedang mukhatab yang tidak mampu menghitung/berhisab maka baginya cukup dengan istikmal.
Dalam wacana fiqhiyah, pemakaian hisab sebagai penentuan awal bulan khusususnya untuk memulai ibadah puasa Ramadlan ini selanjutnya mendapat dukungan dari pengikut Imam Syafi’i. Dalam literature madzhab syafi’iyah banyak dijumpai pernyataan-pernyataan tersebut, misalnya :
Dalam Kitab Kasifatus al-Sajaa halaman 109 disebutkan pernyataan :

لكن يجب عليه ان يعمل فى حسابه وكدلك من صدقه ( كاسفة السجا : 109)

Dalam Kitab Syarqowi Juz I, halaman 419 dinyatakan : 
و يعمل الحاسب سواء كان قطع بوجود الهلال و رؤيته او بوجوده وامتناع رؤيته او بوجوده و جواز رؤيته ( شرقوى : اول : 419)

Hisab dan Rukyat Dalam Perspektif Tarjih Muhammadiyah
Dari tahun ke tahun qoror Majlis Tarjih Muhammadiyah (selanjutnya disebut Majelis) dalam menetapkan awal puasa Ramadlan dan idul fitri 1 Syawwal senantiasa mengalami perkembangan pemikiran;
1.      Pada awalnya Tarjih menetapkan bahwa penentuan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri itu dengan rukyah dan tidak berhalangan dengan hisab, berdalil pada hadits riwayat Bukhari dari Abi Hurarirah dan Surat Yunus ayat 5 :

عن ابى هريرة رضي الله عنه قال النبي صلعم : صوموا لرؤيته فافطروا لرؤيته فان غم عليكم فاكملواالعدةشعبان ثلاثين :
وقوله تعالى : هو الدى جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عددالسنين والحساب ( يونس : 5)
ادا اثبت الحاسب عدم وجود الهلال او وجوده مع عدم الامكان الرؤية  و راى المراياه فى اليلة نفسها فايهما المعتبر ؟  قرر مجلس الترجيح ان المعتبر هو الرؤية مما روى عن ابى هريرة تقدم [1]
2. Muktamar Tarjih pada tahun 1972 mengamanatkan pada Pimpinan Pusat Muhammadiyah agar berusaha mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan untuk kesempurnaan penentuan hisab dan mematangkan persoalan tersebut untuk kemudian membawa acara itu pada muktamar yang akan datang (1975), juga mengamanatkan pada pengurus pusat tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah.[2]
3. Pada tahun 2000 Muktamar Muhammadiyah di Jakarta memutuskan, bahwa hisab hakiki mempunyai fungsi yang sama dengan rukyat sebagai penentu awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah dan bahwa penentu tersebut dengan menggunakan kriteria Wujudul Hilal dengan hisab hakiki. Bahwa mathla` yang digunakan adalah mathla` nasional atau Wilayatul Hukmi. Dan bahwa gagasan mathla` Internasioanl dapat diterima dengan catatan di Indonesia sampai wilayah bagian paling timur hilal telah wujud dengan hisab hakiki.
Sekarang ini Muhammadiyah menerima hisab sebagai salah satu sarana penentu awal bulan Ramadhan, Sya`ban dan Zulhijjah tanpa menafikaan rukyah. Hisab tidak difungsikan sebagai pembantu rukyat, melainkan deberi kedudukan yang sama terhadap rukyat dengan alasan sebagai berikut :
1.  Surat Yunus ayat (5) difahamkan sebagai dasar kewenangan penggunaan hisab;
2.  Surat Al-Baqarah ayat 185 kata “syahida” ada kebebasan untuk mengartikan bil aini atau bil aqli.
3.  Hadits   yang dipakai oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu` untuk melemahkan kedudukan hisab sebagai penentu awal bulan yang ketiga, justru dianalisa sebagai kebalikannya, karena hadits tersebut harus diartikan sebagai hadits kontekstual artinya hadist itu terkait dengan waktu dan keadaan. Memang kalau umat belum pandai menghitung/hisab seperti zaman Nabi, maka silahkan memakai rukyat, tapi sekarang berubah, umat sekarang banyak yang pandai menghitung secara teliti ilmu falaq bahkan banyak yang mampu memprogam dalam VCD yang hemat dalam penghilangan pembulatan, sehingga kekeliruannya sebagai disitir oleh Yusuf Qardawi, seper sepuluh ribu menit sehingga betul-betul umat sekarang tidak “la naktabu wala nahsibu”.[3]
Kalau toh sampai sekarang, ada umat yang cerdas, mampu menghitung hisab qath`i, disamping itu masih ada yang buta huruf, maka putusannya dapat diambil sebagai berikut :
a. Yang buta huruf mengikuti yang pandai dan menguasai ilmu falak untuk menggunakan hisab.
b. Yang buta huruh silakan pakai rukyat, yang pandai hisab dan orang yang mempercayainya silakan memakai hisab.
4. Muhammadiyah berpegang pada pemikiran maslahah mursalah, dimana penggunaan hisab qath`i akan membawa banyak maslahah ammah yaitu ummat berhari raya pada hari yang satu, dapat memprediksi jatuhnya awal bulan puluhan tahun yang sebelumnya, sehingga segala sesuatunya yang berkait dengan hari raya dan puasa atau wukuf dapat dipersiapkan lebih matang karena memiliki waktu persiapan yang panjang dan pasti. Sama halnya dengan cetak komputer terhadap al-Qur`an, dimana tingkat kebenaran tulisan dapat dijamin sedemikian rupa, dibanding hanya ditulis dengan tangan seperti di zaman Usman. Walaupun keduanya mempunyai misi yang sama yaitu untuk menjaga kemurnian al-Our`an.
5. Tentang criteria wujudul hilal bil hisab hakiki, nampaknya Muhammadiyah mengambil sikap tasamuh dan toleransi tinggi, dimana pada saat orde baru, pemerintah mengidolakan persatuan dan kesatuan, yang akan melahirkan keseragaman, sampai pun dalam dalam pelaksanaan hari raya. Muhammadiyah bersikap luwes dalam pelaksanaan penggunaan hisab dimana ia menerima secara kompromi terhadap putusan pemerintah yang dirumuskan sebagai berikut : Mengawali Ramadhan dan Syawal ditetapkan pemerintah dengan memperhatikan rukyat sesuai dengan hisab hakiki tahkiki. Bila rukyat tidak berhasil, maka ditetapkan sesuai dengan fatwa Majlis Ulama tahun 1979 yaitu ganti bulan bila irtifa` hilal sudah mungkin dirukyat yaitu 2° dan umur bulan ada delapan jam.
Namun sesudah angin kebebasan menghembus di Indonesia, Muhammadiyah ingin keluar dari kemelut perbedaan batas imkan rukyah yang tidak menentu (8º- 6º- 5º- 2º ) berdasar kaidah al khuruj minal hiafi mustahabbun, maka Muhammadiyah ingin secara konsisten melaksanakn pasal 29 ayat b UUD 1945 dan menetapkan sesuatu berdasarkan ijtihad jama’i (Majelis Tarjih) dengan keyakinan yang dianggap benar dan pasti yaitu criteria wujudul hilal bil hakiki dan matla`wi layatul hukmi.

Sikap Konsistensi Tarjih Muhammadiyah
Akibat ditetapkannya hilal dengan criteria “wujudul hilal” dan “matla` wilayatul hukmi”, Muhammadiyah menuai kritik :
Majelis Tarjih Muhammadiyah dikenal sebagai lembaga yang sangat kental dengan sikap konsisten pemakaian dalil-dali al-Qur`an dan hadits-hadits shahihah/al-maqbuulah, tapi khusus dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan awal Syawal dan Zulhijjah sejak tahun 2000 justru meninggalkan hadits shahih yaitu hadits “Shumu li rujyatihi waaf tiruli rukyatihi” riwayat Imam Buhari dan Muslim memilih pemecahan secara ilmu pengetahuan. Padahal dalam model (manhaj) istinbatnya Majlis berlandaskan pada pendekatan bayani, burhani dan irfani secara berurutan (kronologis), dari sikapnya itu seolah-olah Majelis langsung memakai pendekatan burhani secara sharih tanpa memperhatikan pendekatan bayani, padahal ada hadits shaheh yang berfungsi sebagai bayan dalam menetukan/mengawali puasa. Tidak pelak lagi kritik yang lebih tajam mengarah pada Majelis Tarjih, bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah mulai melangkahkan kakinya masuk pada ranah “ingkarus-sunnah”.
Dalam menyikapi kritik ini, Majelis tidak bergeming tapi mampu menyipaki dengan arif sehingga semua pihak dapat menghormati dengan baik.
Majlis berpendapat bahwa masalah penentu awal bulan qomariyah, khususnya dalam mengawali bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah adalah masalah taaquli, bukan ta’abudi, artinya hal itu termasuk otoritas akal manusia bukan otoritas Tuhan, bukan otoritas kerasulan dan kenabian yang oleh nabi diserahkan kepada manusia hadits “antum a’lamu biumuri dunyakum
Bagi Tarjih Muhammadiyah paling jauh, hadits-hadits shaheh tentang “shuumu lirukyatihi… tersebut berfungsi sebagai irsyaad, karena jika ditilik dari sejarah yang melingkupi (sababul-wurudl) hadits-hadits tersebut marupakan reaksi basuariyah Rasulullah terhadap laporan sahabat yang telah melihat hilal, kemudian nabi membenarkan kebiasaan masyarakat menandai datangnya bulan baru tersebut dengan melihat hilal karena saat itu belum ada ilmu hisab.  Seperti halnya penggunaan arloji sebagai produk iptek sebagai penentuan sudah atau belum masuk waktu shalat, sekalipun secara tegas dalam al-Qur`an Surat al Isra` ayat 78 diperintahkan : اقم الصلاة لدلوك الشمس...الاية [4] Artinya : “Dirikanlah shalat sesudah matahari berkulminasi”. Demikian juga perintah Khalifah Utsman bin Affan kepada tim (empat orang) untuk merperbanyak naskah Al-Qur`an sebanyak 5 (lima) naskah/mushkhaf dengan tulis tangan dan didokumentasikannya guna mentashih yang berada/beredar di mastarakat, sekarang orang menulis dengan komputer yang lebih menjamin akurasinya.

Kesimpulan:
-          Muhammadiyah berpendapat bahwa penetuan tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal adalah domain ilmu pengetahuan, karenanya tidak harus berpegang pada dalil agama (Al-Qur-an atau Hadits); yang nabi telah serahakan urusan itu kepada manusia sebagaimana sabdanya “antum a’lamu bi umuri dunyakum”;
-          Hadits shahih “shuumu lirukyatihi wa afthiruu li rukyatihi” walaupun menggunakan shighat amar (perintah) dimaksudkan lil-irsyaad (berfungsi petunjuk) bahwa nabi membenarkan yang dipahami masyarakat pada saat itu bahwa melihat hilal sebagai tanda pergantian bulan dari bulan lama kepada bulan baru, karena saat itu belum mengetahui ilmu hisab. Hadits “kunna ummatun ummiyatun laa naktubu wala nahsibu, wasy syahru haa kadza wa haa kadza, fain ghumma alaikum faqduruulah”;
-          Tarjih Muhammadiyah meyakini kebenaran hisab haqiqi (kontemporer) sebagaimana yakinnya terhadap jadwal-imsakiyah sebagai produk ilmu hisab; dengan acuan Ijtima’ sebagai batas kulminasi awal dan akhir bulan qomariyah dengan criteria yang diistilahkan “wujudul hilal” sebagai penetapan awal bulan-bulan qomariyah.

Wallahu ‘alam bis Shawaab






[1] PP Muhammadiyah, Putusan Tarjih Muhammadiyah, cet. 3 hal. 291
[2] Ibid, hal. 370
[3] Dr, Yusuf Qardawi, Fiqhus Shiyam, Daruk Wafa`, Cairo, 1992, hal. 27.
[4] Depeg RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, QS. Al-Isra` : 78

1 komentar: