HISAB
DAN RUKYAT DALAM PRESPEKTIF
TARJIH
MUHAMMADIYAH
Pendahuluan
Hampir dapat dipastikan untuk mengawali puasa Ramadlan
1433 H. nanti ummat Islam akan berbeda lagi, hal ini disebabkan karena posisi
hilal pada tanggal 29 Sya’ban 1433 H bertepatan dengan tanggal 19 Juli 2012 di
seluruh wilayah Indonesia tidak sampai 2° diatas ufuk saat matahari terbenam (ghurub). Untuk kota Makassar misalnya
ghurub pada tanggal 19 Juli 2012 tersebut ketinggian hilal hanya 1°19’ diatas
ufuk, Jakarta 1º47’, Yogyakarta 1º48’, Sabang 1º12’ dan Meraoke 0º 52’.
Perbedaan penetapan tanggal 1 Ramadlan maupun 1 Syawwal
sebagai tersebut diatas bagi ummat Islam bukanlah yang pertama kali, tetapi
telah berkali-kali dan telah berjalan berpuluh-puluh tahun silam.
Tanggal 25 April 2012 yang lalu, ada berita bagaikan angin
sorga yang menyegarkan bagi kita ummat Islam, karena di Kantor Kementrian Agama
di Jakarta, telah dihadirkan 60 perwakilan ormas Islam, Pondok Pesantren, para
pakar hisab-rukyat dan instansi terkait; Bosscha ITB, LAPAN, BMKG dan
Planetarium & Observatorium untuk menggagas terwujudnya Kalender Islam
Tunggal, akan tetapi setelah gagasan-gagasan kesepakatan tersebut dirumuskan
dalam butir-butir kalimat, lagi-lagi yang terjadi adalah ketidak sepakatan.
Kegalauan ini tidak hanya mengusik Pemerintah c.q Kementrian
Agama RI, Mahkamah Agung RI sebagai lembaga yudikatif juga turut galau
menghadapai kenyatan perbedaan pandangan masyarakata dalam masalah ini.
Yang Mulya Bapak Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H. M.H. Ketua
Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung mulai tanggal 27 s/d.
tanggal 29 Juni 2012 melakukan pembinaan dan bimbingan kepada petinggi-petinggi
Badilag mebicarakan masalah yang terkait dengan Penetapan/Istbat Rukyatul Hilal
Ramadlan yang menjadi tugas Peradilan Agama yang sering menjadi masalah krusial
di tengah masyarakat.
Penetapan 1 Syawwal 1432 yang lalu terjadi dua arus besar
perbedaan penetapan, yaitu Penetapan Pemerintah c.q. Kementrian Agama yang
diikuti oleh sejumlah besar ormas-ormas Islam disatu pihak dengan Majelis
Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dipihak lain. Oleh karena itu ada baiknya
kita kaji pemikiran Muhammadiyah dalam masalah penetapan bulan qomariyah
termasuk 1 Ramadlan dan 1 Syawwal sekedar kita ketahui sebagai wacana.
Ibadah
Sangat Berkaitan dengan Waktu
Kewajiban ibadah dalam agama banyak
berkaitan dengan waktu, baik yang berupa jam misalnya ibadah shalat, hari
misalnya puasa sunnah hari Senin dan Kamis, dikaitkan dengan bulan seperti
ibadah puasa ramadlan dan hajji, dikaitkan dengan khaul tahunan misalnya
kewajiban mengeluarkan zakat atas barang-barang tertentu. Penentuan waktu
tersebut ditandai dengan gejala alam dan yang paling pokok adalah peredaran dan
kedudukan dua benda langit yaitu matahari dan bulan. Perintah shalat oleh
Al-Qur-an dikaitkan dengan peredaran dan kedudukan matahari, sebagaimana Allah
firmankan dalam surat Al-Isra’ ayat 78 ;
اقم الصلاة لدلوك الشمس الي غشق اليل
Artinya : “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam”
Perintah mengawali puasa ramadlan dan mengakhirinya, nabi
menentukan dengan gejala melihat hilal (ru’yah) di awal bulan ramadlan
dan melihat hilal di awal bulan Syawwal dengan hadits Nabi menyatakan ;
صوموا لرئيته وافطروا لرئيته (الحديث)
ِِِِِAِِِِِrtinya : Puasalah kamu sekalian jika telah melihat
bulan (yang menandakan) tanggal satu Ramadlan dan berbukalah jika telah melihat
bulan (yang menandakan) tanggal satu bulan Syawwal.
Sampai
saat ini manusia mengenal dua sistem acuan waktu, yaitu lunar system
(sistem bulan) dan solar system (sistem matahari). Kedua sistem
tersebut dipakai oleh Islam. Allah SWT menggunakan acuan waktu shalat dengan
acuan solar system sebagaimana surat Al-Isra’ ayat 78 tersebut diatas,
sedang ibadah puasa dan ibadah hajji mamakai acuan lunar system,
sebagaimana disebut dalam surat Al-Baqaroh 189 ;
يسئلونك
عن الاهلة قل هي موقيت للناس والحج
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah ; Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (ibadah) hajji…”
Kedudukan Ilmu Hisab Dalam Wacana
Fiqhiyah
Ilmu
Hisab dalam bidang astronomi masih belum popular pada masa permulaan Islam,
akan tetapi dalam catatan tarikh (sejarah) Islam, pemakaian hisab dalam arti mengetahui
posisi bulan pada waktu ghurub di akhir tiap bulan sebagai penentu pergantian
bulan sudah diamalkan oleh sahabat bernama Abu Quthaibah dan Muthorrof ibn
al-Sahir Abu al-Abbas ibn Suraih. Yaitu pada waktu mengartikan perintah nabi
dalam hadits kata “faqduruulah” sebagai “faqduruuhu bihasbi al manazilihi”
artinya “tentukan kedudukan hilalnya” yang berarti menentukan posisi hilal
dengan hisab, tidak harus istikmal.
Hal
ini didapatkan dari dua hadits Nabi dalam satu perintah yang sama, yakni hadits
riwayat dari Ibnu Umar :
عن
مالك عن نافع عن ابن عمر : صوموا لرؤيته فافطروا لرؤيته فان غم عليكم فاقدرواله
Sedangkan hadits riwayat dari Abu Hurairah tersebut berbunyi :
عن ابى هريرة رضي الله عنه قال النبي
صلعم : صوموا لرؤيته فافطروا لرؤيته فان غم عليكم فاكملواالعدة …..
sehingga mereka tersebut diatas
memisahkan mukhatabnya, bagi orang yang bisa menghitung/berhisab, hisablah
kedudukan hilal, sedang mukhatab yang tidak mampu menghitung/berhisab maka
baginya cukup dengan istikmal.
Dalam
wacana fiqhiyah, pemakaian hisab sebagai penentuan awal bulan khusususnya untuk
memulai ibadah puasa Ramadlan ini selanjutnya mendapat dukungan dari pengikut
Imam Syafi’i. Dalam literature madzhab syafi’iyah banyak dijumpai
pernyataan-pernyataan tersebut, misalnya :
Dalam Kitab Kasifatus al-Sajaa
halaman 109 disebutkan pernyataan :
لكن
يجب عليه ان يعمل فى حسابه وكدلك من صدقه ( كاسفة السجا : 109)
Dalam Kitab Syarqowi Juz I, halaman
419 dinyatakan :
و
يعمل الحاسب سواء كان قطع بوجود الهلال و رؤيته او بوجوده وامتناع رؤيته او بوجوده
و جواز رؤيته ( شرقوى : اول : 419)
Hisab dan Rukyat Dalam Perspektif
Tarjih Muhammadiyah
Dari
tahun ke tahun qoror Majlis Tarjih Muhammadiyah (selanjutnya disebut
Majelis) dalam menetapkan awal puasa Ramadlan dan idul fitri 1 Syawwal
senantiasa mengalami perkembangan pemikiran;
1.
Pada awalnya Tarjih menetapkan bahwa
penentuan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri itu dengan rukyah dan tidak
berhalangan dengan hisab, berdalil pada hadits riwayat Bukhari dari Abi
Hurarirah dan Surat Yunus ayat 5 :
عن
ابى هريرة رضي الله عنه قال النبي صلعم : صوموا لرؤيته فافطروا لرؤيته فان غم
عليكم فاكملواالعدةشعبان ثلاثين :
وقوله
تعالى : هو الدى جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عددالسنين
والحساب ( يونس : 5)
ادا اثبت الحاسب عدم وجود الهلال او
وجوده مع عدم الامكان الرؤية و راى المراياه فى اليلة نفسها فايهما المعتبر
؟ قرر مجلس الترجيح ان المعتبر هو الرؤية مما روى عن ابى هريرة تقدم [1]
2. Muktamar Tarjih pada tahun 1972
mengamanatkan pada Pimpinan Pusat Muhammadiyah agar berusaha mendapatkan
bahan-bahan yang diperlukan untuk kesempurnaan penentuan hisab dan mematangkan
persoalan tersebut untuk kemudian membawa acara itu pada muktamar yang akan
datang (1975), juga mengamanatkan pada pengurus pusat tentang penetapan awal
Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah.[2]
3. Pada tahun 2000 Muktamar
Muhammadiyah di Jakarta memutuskan, bahwa hisab hakiki mempunyai fungsi yang
sama dengan rukyat sebagai penentu awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah
dan bahwa penentu tersebut dengan menggunakan kriteria Wujudul Hilal
dengan hisab hakiki. Bahwa mathla` yang digunakan adalah mathla` nasional atau Wilayatul
Hukmi. Dan bahwa gagasan mathla` Internasioanl dapat diterima dengan
catatan di Indonesia sampai wilayah bagian paling timur hilal telah wujud
dengan hisab hakiki.
Sekarang
ini Muhammadiyah menerima hisab sebagai salah satu sarana penentu awal bulan
Ramadhan, Sya`ban dan Zulhijjah tanpa menafikaan rukyah. Hisab tidak
difungsikan sebagai pembantu rukyat, melainkan deberi kedudukan yang sama
terhadap rukyat dengan alasan sebagai berikut :
1.
Surat Yunus ayat (5) difahamkan sebagai dasar kewenangan penggunaan hisab;
2.
Surat Al-Baqarah ayat 185 kata “syahida” ada kebebasan untuk
mengartikan bil aini atau bil aqli.
3.
Hadits yang dipakai oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu` untuk
melemahkan kedudukan hisab sebagai penentu awal bulan yang ketiga, justru
dianalisa sebagai kebalikannya, karena hadits tersebut harus diartikan sebagai
hadits kontekstual artinya hadist itu terkait dengan waktu dan keadaan. Memang
kalau umat belum pandai menghitung/hisab seperti zaman Nabi, maka silahkan
memakai rukyat, tapi sekarang berubah, umat sekarang banyak yang pandai
menghitung secara teliti ilmu falaq bahkan banyak yang mampu memprogam dalam
VCD yang hemat dalam penghilangan pembulatan, sehingga kekeliruannya sebagai
disitir oleh Yusuf Qardawi, seper sepuluh ribu menit sehingga betul-betul umat sekarang
tidak “la naktabu wala nahsibu”.[3]
Kalau
toh sampai sekarang, ada umat yang cerdas, mampu menghitung hisab qath`i,
disamping itu masih ada yang buta huruf, maka putusannya dapat diambil sebagai
berikut :
a.
Yang buta huruf mengikuti yang pandai dan menguasai ilmu falak untuk
menggunakan hisab.
b.
Yang buta huruh silakan pakai rukyat, yang pandai hisab dan orang yang
mempercayainya silakan memakai hisab.
4.
Muhammadiyah berpegang pada pemikiran maslahah
mursalah, dimana penggunaan hisab qath`i akan membawa banyak maslahah ammah yaitu ummat berhari raya
pada hari yang satu, dapat memprediksi jatuhnya awal bulan puluhan tahun yang
sebelumnya, sehingga segala sesuatunya yang berkait dengan hari raya dan puasa
atau wukuf dapat dipersiapkan lebih matang karena memiliki waktu persiapan yang
panjang dan pasti. Sama halnya dengan cetak komputer terhadap al-Qur`an, dimana
tingkat kebenaran tulisan dapat dijamin sedemikian rupa, dibanding hanya
ditulis dengan tangan seperti di zaman Usman. Walaupun keduanya mempunyai misi
yang sama yaitu untuk menjaga kemurnian al-Our`an.
5.
Tentang criteria wujudul hilal bil hisab
hakiki, nampaknya Muhammadiyah mengambil sikap tasamuh dan toleransi
tinggi, dimana pada saat orde baru, pemerintah mengidolakan persatuan dan kesatuan,
yang akan melahirkan keseragaman, sampai pun dalam dalam pelaksanaan hari raya.
Muhammadiyah bersikap luwes dalam pelaksanaan penggunaan hisab dimana ia
menerima secara kompromi terhadap putusan pemerintah yang dirumuskan sebagai
berikut : Mengawali Ramadhan dan Syawal ditetapkan pemerintah dengan
memperhatikan rukyat sesuai dengan hisab hakiki tahkiki. Bila rukyat tidak
berhasil, maka ditetapkan sesuai dengan fatwa Majlis Ulama tahun 1979 yaitu
ganti bulan bila irtifa` hilal sudah mungkin dirukyat yaitu 2° dan umur bulan
ada delapan jam.
Namun
sesudah angin kebebasan menghembus di Indonesia, Muhammadiyah ingin keluar dari
kemelut perbedaan batas imkan rukyah yang tidak menentu (8º- 6º- 5º- 2º )
berdasar kaidah al khuruj minal hiafi
mustahabbun, maka Muhammadiyah ingin secara konsisten melaksanakn pasal 29
ayat b UUD 1945 dan menetapkan sesuatu berdasarkan ijtihad jama’i (Majelis
Tarjih) dengan keyakinan yang dianggap benar dan pasti yaitu criteria wujudul
hilal bil hakiki dan matla`wi layatul hukmi.
Sikap Konsistensi Tarjih Muhammadiyah
Akibat
ditetapkannya hilal dengan criteria “wujudul
hilal” dan “matla` wilayatul hukmi”,
Muhammadiyah menuai kritik :
Majelis
Tarjih Muhammadiyah dikenal sebagai lembaga yang sangat kental dengan sikap
konsisten pemakaian dalil-dali al-Qur`an dan hadits-hadits shahihah/al-maqbuulah, tapi khusus dalam penentuan awal bulan
Ramadhan dan awal Syawal dan Zulhijjah sejak tahun 2000 justru meninggalkan
hadits shahih yaitu hadits “Shumu
li rujyatihi waaf tiruli rukyatihi” riwayat Imam Buhari dan Muslim memilih
pemecahan secara ilmu pengetahuan. Padahal dalam model (manhaj) istinbatnya Majlis berlandaskan pada
pendekatan bayani, burhani dan irfani secara berurutan
(kronologis), dari sikapnya itu seolah-olah Majelis langsung memakai pendekatan
burhani secara sharih tanpa
memperhatikan pendekatan bayani,
padahal ada hadits shaheh yang berfungsi sebagai bayan dalam menetukan/mengawali puasa. Tidak pelak lagi kritik yang
lebih tajam mengarah pada Majelis Tarjih, bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah
mulai melangkahkan kakinya masuk pada ranah “ingkarus-sunnah”.
Dalam
menyikapi kritik ini, Majelis tidak bergeming tapi mampu menyipaki dengan arif
sehingga semua pihak dapat menghormati dengan baik.
Majlis
berpendapat bahwa masalah penentu awal bulan qomariyah, khususnya dalam
mengawali bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah adalah masalah taaquli, bukan ta’abudi, artinya hal itu termasuk otoritas akal manusia bukan
otoritas Tuhan, bukan otoritas kerasulan dan kenabian yang oleh nabi diserahkan kepada manusia hadits “antum
a’lamu biumuri dunyakum”
Bagi
Tarjih Muhammadiyah paling jauh, hadits-hadits shaheh tentang “shuumu lirukyatihi… tersebut berfungsi
sebagai irsyaad, karena jika ditilik
dari sejarah yang melingkupi (sababul-wurudl)
hadits-hadits tersebut marupakan reaksi basuariyah Rasulullah terhadap laporan
sahabat yang telah melihat hilal, kemudian nabi membenarkan kebiasaan
masyarakat menandai datangnya bulan baru tersebut dengan melihat hilal karena
saat itu belum ada ilmu hisab. Seperti halnya penggunaan arloji sebagai
produk iptek sebagai penentuan sudah atau belum masuk waktu shalat, sekalipun secara
tegas dalam al-Qur`an Surat al Isra` ayat 78 diperintahkan : اقم الصلاة لدلوك
الشمس...الاية [4]
Artinya : “Dirikanlah shalat sesudah matahari berkulminasi”. Demikian
juga perintah Khalifah Utsman bin Affan kepada tim (empat orang) untuk
merperbanyak naskah Al-Qur`an sebanyak 5 (lima) naskah/mushkhaf dengan tulis
tangan dan didokumentasikannya guna mentashih yang berada/beredar di
mastarakat, sekarang orang menulis dengan komputer yang lebih menjamin
akurasinya.
Kesimpulan:
-
Muhammadiyah berpendapat bahwa
penetuan tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal adalah domain ilmu pengetahuan,
karenanya tidak harus berpegang pada dalil agama (Al-Qur-an atau Hadits); yang
nabi telah serahakan urusan itu kepada manusia sebagaimana sabdanya “antum
a’lamu bi umuri dunyakum”;
-
Hadits shahih “shuumu lirukyatihi
wa afthiruu li rukyatihi” walaupun menggunakan shighat amar
(perintah) dimaksudkan lil-irsyaad (berfungsi petunjuk) bahwa nabi
membenarkan yang dipahami masyarakat pada saat itu bahwa melihat hilal sebagai
tanda pergantian bulan dari bulan lama kepada bulan baru, karena saat itu belum
mengetahui ilmu hisab. Hadits “kunna ummatun ummiyatun laa naktubu wala
nahsibu, wasy syahru haa kadza wa haa kadza, fain ghumma alaikum
faqduruulah”;
-
Tarjih Muhammadiyah meyakini
kebenaran hisab haqiqi (kontemporer) sebagaimana yakinnya terhadap jadwal-imsakiyah
sebagai produk ilmu hisab; dengan acuan Ijtima’ sebagai batas kulminasi awal
dan akhir bulan qomariyah dengan criteria yang diistilahkan “wujudul hilal”
sebagai penetapan awal bulan-bulan qomariyah.
Wallahu ‘alam bis Shawaab
lanjutkan tulisannya pak...
BalasHapus