Pendahuluan
”Inna Allah
yab’ats li hâdzih al-ummah ’alâ kull ra’s mi’ah sanah
man yujaddid
lahâ dînahâ”.
Hadits
tersebut diatas merupakan ide dasar pentingnya pembaruan dalam Islam. Spirit kebangkitan
Islam, bahkan kebangkitan nasional di Indonesiapun terinspirasi nilai yang
terkandung dalam hadits tersebut; Diawali adanya fatwa para ulama Indonesia tentang
wajibnya membela tanah air dari penjajahan, fatwa ini mendorong lahirnya
gerakan-gerakan perlawanan terhadap penjajah pada penghujung abad ke-19; Sartono
Kartodiharjo menyebutnya dengan gerakan “relegius revival”, atau tepatnya
adalah “islamic revival”, karena gerakan ini dipelopori oleh para
ulama, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Tengku Umar, Cut
Nya’ Dien, Sultan Banten yang semua gerakan dan perlawanannya berbasisi keislaman dan kesadaran
akan pentingnya kemerdekaan.
Paska
kemerdekaan kebangkitan Islam di Indonesia difokuskan pada
peningkatan ekonomi bangsa termasuk sistemnya; Pada
penghujung abad ke-20, diawali ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI)
merekomendasikan lahirnya lembaga perbankan berbasis “non-bunga”
yang menjadi basis gerakan ekonomi syariah di Indonesia, para ulama memandang
bahwa sistem ekonomi yang dijalankan di Indonesia tidak sesuai dengan semangat
ajaran Islam karena berbasis bunga. Memang diskursus tentang sistem ekonomi
telah didominasi oleh dua sistem, yakni sistem ekonomi “kapitalis” dan “sosialis/komunis”.
Dua sistem ini berebut pengaruh dan menancapkan hegemoninya pada negara-negara
berkembang dalam rentang waktu yang cukup panjang, sehingga membentuk sebuah
kesadaran umum termasuk umat Islam, seakan-akan tidak ada pilihan lain dalam
menjalankan sistem ekonomi kecuali harus memilih salah satu di antara keduanya.
Lahirnya
Gagasan dan Gerakan Ekonomi Syari’ah
Sejumlah
ulama dan cendekiawan muslim Indonesia mulai melihat fakta bahwa sistem ekonomi
kapitalis dan sosialis tidak bisa diharapkan terlalu banyak, karena telah
terbukti dampak buruk dari kedua sistem ekonomi ini. Mereka pun berfikir perlu
dikembangkannya sistem ekonomi alternative selain dua sistem ekonomi tersebut.
Setidaknya ada dua upaya yang dilakukan, yaitu :
1. Mengombinasikan dua sistem ekonomi tersebut ke dalam
sistem ekonomi baru, seperti yang telah dikembangkan oleh China selama dua
dekade ini; dan
2. Memunculkan sistem ekonomi yang benar-benar berbeda
dari semangat kedua sutistem ekonomi terdahulu.
Ternyata
upaya yang kedua diatas yang menjadi pilihan sebagai pintu masuk bagi sistem
ekonomi syariah di Indonesia.
Pada mulanya
pihak-pihak yang meyakini dan memperjuangkan sistem ekonomi syariah sebagai
sistem ekonomi alternatif yang berkeadilan dianggap sebagai “igauan” yang
menjadi bahan cemoohan. Sikap optimis bahwa sistem ekonomi syariah dapat
menutupi kelemahan dan kekurangan sistem ekonomi kapitalis atau sosialis/komunis
dianggap sebagai ide yang berlebihan dan bahkan dianggap sebagai sebuah pernyataan
bombastis-idealistis. Kondisi seperti ini merupakan fakta sejarah yang
terjadi di negara-negara Islam, tidak terkecuali di Indonesia. Sampai dengan
awal tahun 1990an cemoohan dan pandangan sinis terhadap pihak-pihak yang gigih
memperjuangkan sistem ekonomi syariah masih nyaring terdengar. Namun
pelan-pelan perjuangan untuk pengakuan sistem ekonomi syariah sebagai sistem
ekonomi alternatif mulai diterima.
Kebijakan
politik di Indonesia memberikan dukungan pertama kali dengan legislasi UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memungkinkan beroperasinya bank dengan
sistem bagi hasil (pasal 6). UU ini kemudian dirubah dengan UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara
eksplisit menyebutkan istilah "bank berdasarkan prinsip syariah".
Terbitnya UU
No. 10 Tahun 1998 tersebut, menjadi moment penting bagi dimulainya gerakan
ekonomi syariah di Indonesia. Setelah itu, gerakan ekonomi syariah terus
digaungkan dan diperjuangkan oleh para aktivis ekonomi syariah, baik para
ulama, akademisi maupun praktisi tidak kenal lelah. Gerakan ini pun
menggelinding bagaikan gerakan bola salju yang semakin membesar yang tidak
dapat terbendung lagi. Terus dikawal oleh lembaga-lembaga yang lahir dari
gerakan ini, seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan
sebagainya. Gerakan dan perjuangan ekonomi syariah ini kemudian melahirkan
lembaga-lembaga teknis di lingkungan pemerintah, seperti Direktorat Perbankan
Syariah di Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan Syariah di Departemen
Keuangan, dan berbagai biro di Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM).
Gerakan ini juga melahirkan sejumlah undang-undang dan peraturan
perundangan lainnya, misalnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN), Berbagai Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam,
dan peraturan-peraturan lainnya. Di samping itu, gerakan ini juga melahirkan
lembaga-lembaga keuangan syariah meliputi: perbankan syariah, asuransi syariah,
pegadaian syariah, pembiayaan syariah, pasar modal syariah, bursa komoditi
syariah, bisnis syariah, dan sebagainya.
Lahirnya
Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah adalah merupakah langkah politik
hukum yang luarbiasa dalam melengkapi kelembagaan “hukum” untuk mewujudkan
gerakan ekonomi syari’ah di Indonesia, sehingga kini gerakan ekonomi syari’ah riil
mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Urgensi
Pembaruan Hukum Ekonomi Syari’ah
Perkataan ekonomi berasal dari bahasa Latin : Oikonomia.
Kata oikonomia terdiri dari dua kata oikos yang berarti rumah-tangga,
dan nomos artinya mengatur. Sehingga secara literar oikonomia diindonesiakan
menjadi ekonomi, diartikan hal-hal yang berkaitan dengan mengatur rumah-tangga.
Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan ilmu ekonomi adalah ilmu untuk
mengatur rumah-tangga.
Dalam tataran
masyarakat internasional-global menterjemahkan kata ekonomi dengan pengertian management
of householt or estate (tata laksana rumah tangga atau kepemilkan) yang
kemudian diartikan sebagai suatu ilmu bagaimana cara tiap individu atau
segolongan masyarakat bertindak dalam proses produksi, konsumsi dan alokasi
barang dan jasa untuk memuaskan kebtuhan yang tidak terbatas jumlanya dengan
sumber-sumber yang terbatas jumlahnya.
Dalam
literatur Arab, ilmu ekonomi disebut dengan ilmu al-iqtishad yang
diambil dari kata qashada, yaqshudu, qashdan yang berarti niat, maksud,
tujuan, atau jalan lurus. Selain itu dari akar kata Al-Qashdu kemudian menjadi
kata al-muqtashid, yang berarti penghematan dan kesederhanaan (economze-simplicty),
dalam arti inilah padanan kata ekonomi yang tepat dalam bahasa arab.
Perkataan
syari’ah dari bahasa Arab seracara etimologi kata syari’ah berarti
“jalan ke sumber air” atau “tempat orang-orang bisa minum”. Orang Arab sendiri
menggunakan istilah ini dengan arti “ jalan setapak menuju sumber air yang
tetap dan diberi tanda yang jelas sehingga tampak oleh mata”. Mahmud Syalthut
mendefinisikan syari’ah sebagai “Peraturan-peraturan yang diciptakan Allah agar
menjadi pegangan bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya”. Dari
penggabungan dua kata “ekonomi” dan “syari’ah” tersebut yang dimaksudkan adalah
produk keuangan/transaksi ekonomi yang dilihat dari berbagai sudut pandang
kislaman terutama aspek hukum atau syari’ahnya. Dari itu kegiatan ekonomi dalam
Islam harus berlandaskan pada nilai-nilai ilahiyyah dengan perpaduan antara
pencurahan tenaga dan pikiran yang dimiliki manusia dengan wahyu (Al-Qur-an)
yang bersumber dari Allah SWT sehingga kegiatan ekonomi dalam Islam mempunyai
keseimbangan antara dua dimensi alam yaitu dunia dan akhirat. Karena adanya dua
faktor yaitu dimensi insaniyah dan dimensi ilahiyat dalam sistem ekonomi Islam,
maka ekonomi Islam lebih akrab disebut “ekonomi syari’at”.
Dalam perspektif
fikih, kegiatan perekonomian termasuk bagian dari mu’ammalah. Dalam
perspektif methodologi (ushul fikih), masalah-masalah mu’ammalah adalah
bagian dari masalah-masalah “taaqquli” yang menjadi domain ummat untuk
merekayasa sistem dan tekniknya, sehingga sistem maupun hukum ekonomi syari’ah senantiasa
menerima perkembangan dan berubahan, “qoobilun li al-taghyir wa al-niqas wa
tajdiid” agar bersifat dinamis sejalan dengan arus perubahan zaman yang melingkupi kehidupan
ummat manusia. Walaupun demikian kebebasan melakukan perubahan dan pembaruan
tersebut tidak mutlak tetapi ada batasan-batasan syar’i yang bersifat
universal. Dalam kaitannya dengan ini kaidah yang
terkenal: “taghayyur al-hukmi bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa
al-ahwâl wa al-niyyât wa al-‘awâid“(perubahan fatwa hukum karena perubahan
zaman, tempat, kondisi, niyat dan adat kebiasaan).
Kaidah ini
menunjukkan karakteristik fikih (hukum Islam) yang fleksibel dan kontekstual
terutama dalam menjawab persoalan-persoalan baru dan yang terbarukan (al-masail
al-jadidah wa al-mustajaddah). Kaidah ini sekaligus menegasikan anggapan sebagian
orang bahwa hukum Islam (fikih) merupakan suatu yang sakral yang tidak
mungkin berubah.
Fikih memang sering
dipahami oleh sebagian masyarakat Islam Indonesia sebagai hukum yang sepenuhnya
baku bahkan diasumsikan sama kuat dan sakralnya dengan nushush syari’yyah
yang terdapat dalam al-Qur'an. Padahal tidaklah demikian, pembaruan hukum Islam
(fikih) merupakan suatu keniscayaan, karena teks al-Qur'an maupun
al-Haditsh sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah
dan berkembang dengan berbagai permasalahannya.
Para ulama
menjelaskan hal ini dengan ungkapan: li anna an-nushus mahdudah walakin
al-hawadits wa an-nawazil ghair mahdudah, aw li anna an-nushus tatanaha walakin
al-hawadits wa an-nawazil la tatanaha, (Sesungguhnya nash itu terbatas,
sedangkan persoalan-persoalan yang timbul tidaklah terbatas, atau karena
sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan permasalahan akan senantiasa
muncul dan tidak pernah berhenti). Untuk keperluan ini para ulama sudah cukup
menyediakan landasan metodologi (manhaj) yang kokoh.
Di era yang
sangat cepat perubahannya ini sebagai akibat kemajuan di bidang industri,
perdagangan, jasa, kontrak perjanjian, teknologi, komunikasi, dan lain-lain. Di
antara faktor-faktor yang mendorong mendesaknya pembaruan hukum Islam dewasa
ini antara lain:
1. Perubahan sosial, yang meliputi perubahan budaya,
ekonomi dan politik pada masa kini mengharuskan para ahli hukum Islam (fuqoha)
untuk melakukan telaah ulang terhadap pendapat-pendapat ulama terdahulu yang
tidak sesuai lagi dengan konteks sosial saat ini.
2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat
berpengaruh terhadap upaya mencari pendapat yang lebih kuat (rajih) di
antara pendapat-pendapat yang berkembang dalam fikih klasik di mana pada masa
klasik ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang pesat, khususnya
ilmu-ilmu eksakta. Dengan bantuan ilmu dan teknologi, para ahli hukum Islam (fuqoha)
dapat menelaah kembali ketentuan hukum-hukum lama yang telah menjadi diskursus
pada abad pertengahan untuk dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian jauh
lebih kompleks. Pada saat ini, penentuan pendapat yang lebih kuat (rajih)
tidak hanya didasarkan pada argumen tekstual dengan pendekatan deduktif, atau
bahkan sekedar pendekatan madzhab fikih ansich, tetapi juga relevansinya dengan
perubahan masyarakat.
3. Tuntutan perkembangan zaman mengharuskan para ahli
hukum Islam (fuqoha) kontemporer untuk melihat kompleksitas masalah
kontemporer dan memilih pandangan-pandangan dan fatwa hukum yang lebih
memudahkan (taisir) dan menghindari kesulitan (al-haraj) dalam
hukum-hukum furu’, baik dalam masalah ibadah maupun muamalat.
4. Munculnya kasus-kasus baru dan yang terbarukan
mengharuskan adanya ijtihad baru karena masalah-masalah tersebut belum pernah
dijawab oleh para fuqaha klasik.
Pembaharuan
Hukum Ekonomi Syari’ah Kontemporer
Kehadiran ekonomi syari’ah di
Indonesia tidak hanya semata-mata meperkaya khazanah intelektual para ilmuwan,
tetapi juga turut serta menjadi solusi terbaik bagi perkembangan dan
pembangunan suatu negara, karena ia menjadi alternatif sistem perekonomian tidak
saja di Indonesia tetapi juga dunia dan kelanjutan peradaban umat manusia. Hanya
saja ekonomi Islam itu harus terus dikaji secara mendalam sesuai dengan
perkembangan zaman, tanpa harus melanggar norma-norma atau etika yang diajarkan
Al-Qur-an dan As-Sunnah. Karena itu Ijtihad atau fatwa ulama mempunyai
perananan penting untuk menjawab permasalahan-permasalahan baru yang timbul
seputar masalah ekonomi syaria’ah. Sebab sistem dan kegiatan perekonomian yang
terjadi saat ini seakan-akan tidak terjamah oleh konsep-konsep fikih klasik
yang telah ada sehingga terjadi kesenjangan antara realitas masa kini dengan
konsep-konsep fikih klasik. Pada proporsi seperti inilah mutlak diperlukan
adanya rekonstruksi-dekonstruksi pemikiran diakibatkan adanya tuntutan
dan kebutuhan zaman.
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam bidang
keagamaan yang terkait dengan kepentingan umat Islam Indonesia telah membentuk
satu dewan syari’ah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga
keuangan, termasuk bank dan lembaga-lembaga keuangan syari’ah. Lembaga itu
dikenal dengan nama Dewan Syari’ah Nasional (DSN-MUI) yang berdiri pada tanggal
10 Pebruari 1999. Lembaga ini merupakan salah satu institusi berscala nasional
yang dijadikan payung bagi semua pihak dalam mengemban tugas mengawasi, mengarahkan dan mendorong
tumbuh kembangnya lembaga-lembaga keuangan syari’ah agar kegiatan perekonomian
dan keuangan lembaga syari’ah tersebut sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Dengan demikian produk hukum dalam bentuk fatwa DSN-MUI memiliki kredibitas
tinggi karena merupakan hasil ijtihad kolektif sehingga telah menghapus kesan
selama ini bahwa ijtihad hukum tentang ekonomi syari’ah dilakukan oleh mujtahid
tertentu (fardhi) yang bersifat informal. Padahal ijtihad dalam era
modern ini perlu melibatkan para ahli yang berkompeten dan memiliki kemampuan
luarbiasa dalam melahirkan sebuah hukum serta perlu pula bekerjasama dengan
pemerintah sehingga dapat diperlakukan sebagai perundang-undangan. Jika tidak
demikian maka hasil ijtihad tersebut hanya akan bersifat teoritis semata dan
bahkan mungkin akan terjadi benturan pendapat antara pemerintah dengan
mujtahid.
Kemudian
untuk menyokong kredibilitas kedudukan Dewan Syari’ah Nasional (DSN) sebagai
lembaga yang berkompeten dibidang fatwa hukum ekonomi syari’ah, maka Pemerintah
telah mengundangkan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998, dengan undang undang
tersebut maka fungsi fatwa DSN-MUI lebih otoritatif sekaligus merupakan positivisasi
terhadap hasil ijtihad sehingga dipandang mengikat semua pihak, antara lain
Bank Indonesia dan pihak-pihak terkait lainnya untuk menerima bagian dari jalan
Islam dalam bidang ekonomi Islam di Indonesia.
Prinsip-prinsip Umum
Fatwa DSN Majelis Ulama Indonesia
Prinsip fatwa
DSN-MUI dalam tataran teoritis memang tidak dimaksudkan
untuk melakukan pembaruan hukum ekonomi Islam dalam arti menciptakan hukum baru
yang sama sekali tetapi lebih pada menguji validitas ‘illah yang terhadap
dalam
kitab-kitab mu’tamad dan pendapat ulama terdahulu, jika ‘illahnya
masih dipandang relevan dengan kondisi kekinian maka pendapat ulama tersebut
akan dipakai, sedangkan jika ‘illahnya dianggap sudah tidak cocok lagi
dengan kondisi kekinian maka pendapat tersebut ditinggalkan. Walaupun
demikian manhaj istinbatul hukm-nya tetap
dipakai oleh DSN-MUI. Sehingga kadang-kadang ada beberapa
fatwa DSN-MUI dianggap tidak sejalan dengan pendapat lahiriah ulama terdahulu
dalam kitab-kitab fikih mu’tabarah. Dan fatwa tentang ekonomi syariah yang ditetapkan oleh
DSN-MUI selain dibangun di atas manhaj tertentu juga tidak terlepas dari
landasan umum hukum ekonomi syariah.
Setidaknya
ada tujuh prinsip yang dijadikan
landasan dalam penetapan-penetapan fatwa hukum ekonomi
syariah sama halnya dengan prinsip mu’ammalah pada umumnya, yaitu :
1. Pertama adalah Al-maslahah,
artinya aktifitas ekonomi syariah harus dilakukan atas dasar pertimbangan
mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat (jalb al-mashalih wa dar’u
al-mafasid). Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa segala bentuk
mu’amalat yang dapat merusak atau mengganggu kehidupan masyarakat tidak
dibenarkan, seperti perjudian, penjualan narkotika secara tidak sah, prostitusi
dan sebagainya.
2.
Kedua adalah Ar-ridha,
artinya aktifitas perekonomian syariah harus dilakukan atas dasar sukarela (taradhi),
dengan tanpa mengandung unsur paksaan (ikrah). Kaidah saling sukarela antara
pihak yang melakukan transaksi ini merupakan prinsip yang fundamental dalam
setiap aktifitas perekonomian syariah, sehingga kedua belah pihak dapat
terhindar dari aktifitas ekonomi yang di dalamnya terdapat unsur tekanan,
paksaan, penipuan atau ketidakjujuran. Namun demikian, semua aktifitas
perekonomian yang didasarkan atas prinsip saling rela itu tidak secara otomatis
dianggap sah secara syar’i, karena pada dasarnya saling rela merupakan prinsip
dalam aktifitas perekonomian, bukan menjadi penyebab dibolehkannya sesuatu yang
dilarang (ar-ridha ruknun li al-‘aqdi wa laisa sababan li al-hilli).
Selain itu, aktifitas ekonomi syariah juga harus didasarkan atas prinsip
ketidak-terpaksaan (ghair ikrah). Prinsip ini merupakan prinsip dasar
dalam fiqh mu’amalat dan merupakan prinsip dasar pula dalam hukum perjanjian (akad).
Pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat suatu
perjanjian, baik dalam menentukan yang diperjanjikan (obyek perjanjian) maupun
syarat-syaratnya, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian jika terjadi
sengketa. Kebebasan menentukan syarat-syarat ini dibenarkan selama tidak
bertentangan dengan ketentuan syari’ah lainnya.
3.
Ketiga adalah
‘Adamul-Gharar, artinya
praktik perekonomian syariah harus jauh dari tipu daya (’adam al-gharar).
Dalam
fikih klasik Imam al-Khithabi menyatakan bahwa setiap jual-beli yang
tidak diketahui maksudnya dan tidak bisa diukur maka itu termasuk gharar.
Misalnya menjual ikan yang masih di lautan, atau menjual burung yang masih
terbang di udara, atau menjual barang dalam bungkus yang tidak diketahui
kondisinya. Setiap transaksi ekonomi yang mengandung penipuan (gharar fahisy)
maka dianggap tidak sah.
4. Keempat adalah Al-Khidmah,
artinya aktifitas ekonomi syariah harus mampu mewujudkan pelayanan sosial (tahqiq
al-khidmah al-ijtima’iyah). Aktifitas ekonomi syariah harus diorientasikan
pada terciptanya pelayanan sosial yang bisa meringankan beban kaum yang lemah
secara ekonomi atau At-Ta’awun. Prinsip ini harus menjadi tujuan dari setiap
aktifitas ekonomi syariah, karena dalam ekonomi syariah selain diperbolehkan
untuk menambah keuntungan dan kekayaan yang berlimpah, juga harus memperhatikan
kondisi sosial di sekitarnya.
5. Kelima adalah Al-Adilu,
artinya setiap aktifitas ekonomi harus mengarah pada terciptanya keadilan dan
keseimbangan (al-’adlu wa at-tawazun). Ekonomi syariah harus
dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur
kezaliman. Segala bentuk aktifitas ekonomi yang mengandung unsur penindasan
tidaklah dibenarkan. Setiap aktifitas ekonomi harus memperhatikan keseimbangan
antara pihak-pihak yang melakukan transaksi. Prinsip ini menekankan perlu
adanya keseimbangan sikap dalam melakukan aktifitas perekonomian. Misalnya,
setiap upaya untuk mendapatkan keuntungan tentu saja di situ ada resiko-resiko kerugian
yang harus ditanggungnya. Jika keuntungan yang diharapkan lebih besar, di situ
faktor resiko kerugiannya juga lebih besar. Sebaliknya, setiap transaksi bisnis
yang mempunyai resiko besar, biasanya juga menjanjikan keuntungan yang besar
pula. Harus ada sikap proporsional antara upaya meraih keuntungan dan kesiapan
untuk menanggung kerugian, sesuai kaidah al-ghunmu bil-ghurmi wal-ghurmu
bil-ghunmi.
6.
Keenam adalah
Al-Ibahah, artinya segala bentuk aktifitas dalam ekonomi (mu'amalat)
pada dasarnya hukumnya adalah boleh (mubah), kecuali jika ditentukan
lain oleh suatu dalil. Prinsip dalam kaidah tersebut merupakan landasan dalam menentukan hukum suatu
transaksi ekonomi. Dan kaidah ini menunjukkan bahwa hukum Islam memberi
kesempatan luas bagi perkembangan bentuk dan macam mu’amalat baru sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
7.
Ketujuh
adalah Al-Istirbah, artinya aktifitas ekonomi
syariah juga harus memperhatikan prinsip profitable (al-istirbah),
karena setiap kegiatan ekonomi tentunya mengharapkan adanya keuntungan. Jadi,
tidak logis jika transaksi ekonomi tidak mengharapkan keuntungan.
Methodologi Pembaruan
Hukum Ekonomi Syariah DSN-MUI
Bidang
ekonomi syariah merupakan lahan baru untuk ijtihad karena perkembangannya yang
begitu cepat dan masih sedikitnya pendapat ahli fikih tentang masalah ini.
Untuk merespons hal ini dilakukan ijtihad jama’i melalui perumusan fatwa
Dewan Syariah Nasional MUI. Dalam proses penetapan fatwa ini, DSN-MUI mempergunakan
tiga pendekatan, yaitu:
-
pendekatan
nash qath’i;
-
pendekatan
qauli, dan;
-
pendekatan
manhaji.
Pendekatan
nash qath’i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur’an atau al-Hadits
dalam menetapkan suatu masalah yang sudah terdapat dalam nash al-Qur’an ataupun
al-Hadits secara jelas. Apabila masalah itu tidak terdapat dalam nash al-Qur’an
maupun al-Hadits, maka proses perumusan fatwa dilakukan dengan pendekatan qauli
dan manhaji. Pendekatan qauli dilakukan apabila permasalahan yang ada telah
ditemukan jawabannya melalui pendapat ahli fikih yang terdapat dalam al-kutub
al-mu’tabarah yang ‘illah hukumnya sesuai dengan yang terjadi saat ini dan
hanya terdapat satu pendapat (qaul). Dalam kondisi seperti itu maka
fatwa akan memakai pendapat ulama tersebut. Namun jika pendapat yang ada
dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena ta’assur atau ta’adzdzur
al-‘amal atau shu’ubah al-‘amal, sangat sulit untuk dilaksanakan, atau
karena illat-nya berubah, maka dalam hal ini perlu dilakukan telaah ulang (i’adah
an-nadhar) pendapat tersebut.
Apabila
jawaban terhadap masalah yang dimintakan fatwa tidak dapat dipenuhi oleh nash
qath’i dan pendapat yang ada dalam al-kutub al-mu’tabarah, maka
penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji, yakni dengan menggunakan
metode: al-jam’u wat taufiq, tarjihi, ilhaqi dan istinbathi. Jika
dalam masalah yang dimintakan fatwa itu terjadi khilafiyah di kalangan
imam madzhab, maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik
temu di antara pendapat-pendapat madzhab melalui metode al-jam’u wa
al-taufiq. Namun jika usaha al-jam’u wa al-taufiq tidak berhasil,
maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode tarjihi, yaitu dengan menggunakan
metode muqaran al-madzahib dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh
al-muqaran.
Ketika satu
masalah atau satu kasus belum ada qaul yang menjelaskan secara persis dalam
al-kutub al-mu’tabarah namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka
penetapan fatwa dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu
masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu’tabarah.
Jika metode ilhaqi ini tidak bisa dilakukan karena tidak ada mulhaq bih
dalam al-kutub al-mu’tabarah, maka penyelesainnya dilakukan dengan
metode istinbathi. Metode istinbathi ini dilakukan dengan
memberlakukan metode qiyasi, istishlahi, istihsani dan sadd
al-dzari’ah.
Di samping
metode-metode tersebut, secara umum penetapan fatwa harus pula memperhatikan
kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan maqashid al-syari’ah.
Metode-metode di atas selama ini telah mencukupi untuk dijadikan kerangka
paradigmatik dalam menjawab permasalahan ekoomi yang muncul melalui fnatwa
DSN-MUI.
Dalam menguplaud
pendapat fukoha klasik, ada kaidah-kaidah yang secara spesifik mendasari
banyak fatwa DSN-MUI, yaitu kaidah tafriq al-halal min al-haram dan i’adah
an-nadhar.
a. Tafriq
al-halal nin al-haram
Kaidah ini
relevan dikembangkan di bidang ekonomi syariah, mengingat bahwa kegiatan
ekonomi syariah belum bisa terlepas sepenuhnya dari sistem ekonomi konvensional
yang ribawi. Paling tidak, lembaga ekonomi syariah akan berhubungan dengan
ekonomi konvensional yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan produk,
maupun keuntungan yang diperoleh. Kaidah tafriq al-halal min al-haram
(pemisahan unsur halal dari yang haram) dapat dilakukan sepanjang yang
diharamkan tidak lebih besar atau dominan dari yang halal. Bila unsur haram dan
halal telah dapat diidentifikasi maka unsur haram harus dikeluarkan.
b. I’adah
al-nadhar
Pembaruan
hukum ekonomi syariah juga dapat dikembangkan dengan mengedepankan teori i’adah
al-nadhar (telaah ulang) dengan cara menguji kembali alasan hukum (‘illah)
dari pendapat ulama terdahulu tentang suatu masalah. Telaah ulang ini
dilakukan, karena ‘illah hukumnya telah berubah atau karena beberapa
pendapat para ulama terdahulu dipandang tidak aplikatif dan tidak memadai
dengan kondisi kontemporer. Pendapat itu dianggap sudah tidak cocok lagi untuk
dipedomani, karena sulit diimplementasikan (ta’assur, ta’adzdzur aw shu’ubah
al-amal). Salah satu cara yang bisa dipakai untuk melakukan telaah ulang
adalah dengan menguji kembali pendapat yang mu’tamad dengan mempertimbangkan
pendapat hukum yang selama ini dipandang lemah (marjuh bahkan mahjur),
karena adanya ‘illah hukum yang baru dan atau pendapat tersebut lebih membawa
kemaslahatan. Selanjutnya pendapat tersebut dijadikan pedoman (mu’tamad) dalam
menetapkan hukum.
Dasar teori i’adah
al-nadhar tersebut adalah kaidah: al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan
wa ‘adaman, hukum itu berjalan sesuai dengan ‘illah-nya, ada dan tidak
adanya (‘illah). Sejalan dengan kaidah ini adalah kaidah: idzâ zâlat
al-‘illah zal al-hukm, jika ‘illah hukum hilang, maka hilang pula
hukum. Kedua kaidah ini penting dalam menjelaskan hubungan antara hukum dengan
‘illah-nya, apakah ‘illah tersebut ada atau tidak, karena asal hukum senantiasa
dilatar belakangi oleh ‘illah.
Kaidah tersebut adalah
teori besar (grand theory) yang mencakup seluruh hukum Islam, karena
‘illah hukum adalah hikmah syar’i adanya perintah dan larangan. Terkadang
‘illah hukum tersebut telah dijelaskan oleh syari’ (manshush), dan
terkadang tidak dijelaskan (ghair manshush). Dalam hal ‘illah hukum yang
tidak dijelaskan (ghair manshush), para ulama yang menyimpulkan dengan
didasarkan kepada tujuan hukum (maqashid al-syariah) dan kemashlahatan.
Penutup
Uraian
di atas dapat disimpulkan, bahwa gerakan ekonomi syariah di Indonesia telah
menampakkan hasilnya dan telah melahirkan banyak hal, antara lain:
1. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) sebagai mufti bidang ekonomi syariah, di mana dalam proses penetapan
fatwanya telah banyak melakukan terobosan-terobosan memecah kebekuan dengan
melakukan pembaruan hukum ekonomi syariah.
2. Sejumlah lembaga baru di pemerintahan misalnya
Direktorat Perbankan Syariah di Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan Syariah
di Departemen Keuangan, dan berbagai biro di Bapepam.
3. Sejumlah peraturan perundangan, misalnya Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Berbagai Peraturan Bank
Indonesia, Peraturan Bapepam, dan peraturan-peraturan lainnya.
4. Sejumlah Lembaga Keuangan Syariah, baik bank ataupun
non bank.
5. Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi
Islam (IAEI) dan komunitas lainnya sebagai perkumpulan masyarakat madani yang
melakukan tekanan terhadap pengambil keputusan di negeri ini.
6. Semua pencapaian tersebut tidak lahir secara tiba-tiba,
tetapi melalui proses panjang dengan berbagai strategi dan langkah-langkah
sistematis yang dilakukan oleh berbagai pihak.
DAFTAR PUSTAKA :
1.
Abd al-Majid Jumah al-Jazairy, Qawaid al-Fiqhiyyah, (t.t: dar Ibn
Qayyim, t.th.).
2.
Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Maktabah Syamilah, Juz 11).
3.
Ad-Dimyati al-Bakri, I’anah at-Thalibin (Surabaya: al-Hidayah, tt).
4.
As-Suyuthi, Al-Asbah wa al-Nadzair, (Kairo: Dar al-Salam, 2006), cet.
ke-3, juz I.
5.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Sistem dan Prosedur
Penetapan Fatwa, (Jakarta: Pustaka DSN-MUI, 2006).
6.
Budi Utomo,
Setiawan, Fikih Aktual, 2003;
7.
Tim Penyunting
Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah,,Fatwa-fatwa Ekonomi Syari’ah
Kontemporer
8.
Kapita Selekta
Perbankan Syari’ah, Mahkamah Agung RI, 2006;
9.
Ibnu taymiyah, Fatawa Ibn Taimiyyah, (Kairo, Maktabah Ibnu Taymiyah,
tt).
10.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in Rabb ‘an Rabb al’Alamin,
(Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), ditahqiq oleh ‘Abd al-Rahman al-Wakil.
11.
Jamal al-Bana, Nahw Fiqh Jadid, (Kairo: Dar al-Fikr al-Islami. t.th),
hlm. 20.
12.
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008).
13.
Marzuki Usman et. all, Bungai Rampai Reksadana, (Jakarta: Balai Pustaka,
1997), cet. ke-1.
14.
M. Atho Mudzhar, ”Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam Budhy
Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina. 1994).
15.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi. t.th);
16.
Mushthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar
al-Fikr. 1968).
17.
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888: Kondisi,
Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya: Sebuah Study kasus Mengenai Gerakan Sosial
di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).
18.
Subhi Mahmashshani, Falasafat al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Dar
al-Miliyin. 1961).
19.
Undang-Undang No.30 Tahun 1999;
20.
Yusuf al-Qaradhawi, al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyah, (Kuwait: Dar
al-Qalam, 1410 H/1989M).
21.
DR, M. Umer Chapra, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2000) Alih bahasa Ikhwan
Abidin Basri.
wah kenapa warnaya jadi putih pak ?? gak kelihatan tulisannya
BalasHapus