Pendahuluan
Dalam menilai terpenuhinya
syarat-syarat formil sebuah
surat gugat, sering kali menjadi
perdebatan dan perbedaan antar hakim. Misalnya dalam sengketa waris, ada hakim yang
berpendapat keharusan melibatkan semua ahli-waris dalam sengketa, sehingga
kalau ada ahli-waris yang berhak tetapi ia tidak mau menggugat, maka ia harus
didudukkan sebagai “turut tergugat”, sebuah istilah baru dan diada-adakan di
luar hukum acara. Jika tidak mengikuti patron ini, maka gugatan waris tersebut dinilai
sebagai gugatan yang cacat formil sehingga gugatan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijke verklart) karena kurang pihak (plurium
litis consortium).
Perbedaan pendapat yang
demikian ini ternyata tidak hanya terjadi antar hakim dalam suatu majlis yang melahirkan
disenting opinion, akan tetapi juga terjadi antara majlis hakim peradilan
tingkat pertama dengan tingkat banding, bahkan antara putusan hakim banding
dengan putusan kasasi. Hal tersebut dapat
diketahui antara lain dari
putusan-putusan berikut :
1.
Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 25
Nopember 1975, Nomor 576 K/Sip/1973 : Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung
menyatakan bahwa “pertimbangan yudex faksi (Pengadilan Tinggi) yang
menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena hanya seorang ahli waris
yang menggugat, tidak dapat dibenarkan, karena menurut yurisprudensi
Mahkamah Agung tidak diharuskan semua ahli waris menggugat”.
2.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 22
Maret 1982 Nomor 2438/K/Sip/1980 mempertimbangkan bahwa :“Gugatan harus tidak
dapat diterima, karena tidak semua ahli waris turut sebagai pihak dalam
perkara”.
Nampaknya akhir-akhir ini pendapat
mayoritas (grand opinion) lebih banyak cenderung kepada pendapat yang kedua,
yaitu bahwa dalam gugatan sengketa
waris segenap “ahli waris” harus didudukkan sebagai pihak. Ahli-waris yang pasif harus didudukkan
sebagai “turut tergugat”.
Akibat adanya dua pendapat
besar tersebut, banyak putusan-putusan yang disparitas antara
pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan tingkat banding, antara pengadilan
tingkat banding dengan putusan tingkat kasasi. Akibat lain adalah menimbulkan stigma negatif seakan-akan lembaga peradilan masih belum mempunyai law
standard dalam menangani masalah ini; Bahkan ada penilaian bahwa peradilan belum mempunyai
kesamaan pandang (unified legal opinion) serta keseragaman (unified
legal fram work) dalam menangani kasus yang sama.
Melihat kenyataan tersebut
mendorong penulis untuk mewacanakan masalah ini dalam diskusi melalui media
elektronik pada WEB BADILAG ini
dengan harapan untuk mendapatkan tanggapan dari para pembaca, sehingga dengan tanggapan-tanggapan
tersebut pembahasan permasalahan
akan lebih konprenhensip dan mendalam, sehingga dapat menawarkan suatu pandangan yang
dapat dijadikan sebagai law
standard,
agar peradilan dalam menangani sengketa waris terdapat kesamaan pandang
sehingga terhindar dari putusan-putusan yang disparitas ke dapan.
Memang perbeda
pendapat bagi seorang hakim dengan lainnya adalah sah-sah saja, apa lagi bila
dilihat dari perspektif ushul fiqh, bahwa masing-masing hakim adalah mujtahid
sehingga baginya berlaku kaidah al-ijtihaad
la yaungqodlu bi al-ijtihadi, akan tetapi bagaimanapun juga putusan yang
disepakati (ittifaq) lebih kredibel dari daripada putusan yang terdapat ikhtilaf.
Fokus Permasalahan
Masalah utama dalam pembahasan ini
adalah :
1.
Dalam sengketa waris apakah semua
ahli-waris harus dilibatkan menjadi pihak;
2.
Apa maksud dan kepentingan pihak
didudukkan sebagai “turut tergugat”;
Gugatan yang Dinyatakan
Kurang Pihak.
Gugatan yang kurang
pihak dalam istilah hukum disebut plurium litis consortium yang merupakan
salah satu genus dari gugatan yang cacat karena eror in persona.
Menurut ilmu
pengetahuan, gugatan cacat karena eror in persona, terdapat 3 (tiga)
kategori yaitu :
a.
Diskwalifikasi
in person, karena penggugatnya bukan persona standi in judicio; Misalnya penggugat adalah
bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan, atau karena penggugatnya belum
dewasa dan masih dibawah pengampuan (under curatele) atau orang yang
menggugat tidak berkwalitas; Misalnya orang tersebut tidak mendapat kuasa, atau mungkin juga
karena surat kuasanya tidak sah dan lain-lain;
b.
Gemis Aanhoedanig Heid; yaitu orang yang ditarik/yang didudukkan sebagai tergugat tidak
tepat. Misalnya direktur perusahaan digugat secara pribadi.
c.
Plurium Litis Consortium; yaitu orang yang ditarik
sebagai tergugat tidak lengkap.
Plurium
litis consortium,
berasal dari bahasa latin pluries berarti banyak, litis consertes
berarti kawan sejawat pihak
berperkara.
Dalam
referensi hukum para
ahli hokum boleh dikatana tidak ada yang membicarakannya secara tuntas dan memadai masalah ini, kebanyakan
mereka hanya menjelaskan pengertiannya berdasarkan makna harfiyah (etimologis),
sehingga dalam tataran praktis mumunculkan tafsiran dan pemahaman yang subyektif-fareatif.
Yahya Harahab,
SH. mantan Hakim Agung dalam bukunya Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada
Peradilan Agama halaman 21, setelah beliau mengartikan
makna plurium
litis consortium
secara lateral (harfiyah), lantas beliau hanya memberikan sebuah contoh
suatu gugatan yang dapat dikategorikan sebagai “pihak tidak lengkap” adalah
sebagaimana putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Mei 1977, No. 621 K/Sip/1975;
Jika dilakukan
analisis atas putusan a quo,
pokok pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut adalah, karena
ternyata sebagian obyek yang disengketakan Penggugat, tidak lagi dikuasai oleh
Tergugat, tetapi telah menjadi milik pihak ketiga, maka berdasarkan
pertimbangan hukum obyektif, pihak ketiga tersebut harus ikut digugat.
Berdasarkan
prinsip-prinsip hukum acara perdata, pertimbangan Mahkamah Agung pada kasus
tersebut adalah sudah tepat dan benar. Karena pada kasus a quo, pihak ketiga
secara nyata (lahiriyah) telah menguasai barang/obyek sengketa sehingga seolah-olah obyek
sengketa adalah kepunyaannya. Menurut hukum benda/kebendaan, orang yang memegang,
menguasai, menikmati suatu benda disebut bezitter. Menurut hukum bezit,
mempunyai fungsi polisionil, artinya bahwa hukum harus mengindahkan
keadaan dan kenyataan itu tanpa mempersoalkan “hak- milik” atas benda tersebut
sebenarnya ada pada siapa. Jadi siapa yang “membezit” sesuatu benda
sekalipun dia pencuri, maka ia mendapat perlindungan dari hukum sampai terbukti
dimuka pengadilan bahwa ia sebenarnya tidak berhak. Oleh karena itu bagi
Penggugat ada kewajiban hukum untuk mendudukkan orang yang menguasai obyek
sengketa tersebut sebagai pihak, agar ia mempunyai kedudukan yang sama didepan
hakim untuk membela hak-haknya. Karena tanpa menariknya sebagai pihak, maka
proses peradilan akan mengabaikan asas de auditu et alternam partem.
Karena itu sangat tepat jika gugatan tersebut dinyatakan tidak sempurna dan
diputus niet on vankelijke verklaart (N.O).
Kasus tersebut
diatas, amat sangat berbeda sekali
dalam kasus-kasus sengketa ahli waris pada umumnya. Kasus-kasus sengketa waris seringkali
pihak ahli-waris yang tidak menguasai barang/obyek warisan tetapi juga tidak
mau menggugat tetap diwajibkan dilibatkan sebagai pihak “turut tergugat”. Atau
dengan kata lain dalam sengketa waris,
segenap ahli waris termasuk yang tidak menguasai “barang warisan” harus
dilibatkan sebagai pihak. Konyolnya
gugatan yang tidak mengikuti patron ini dianggap sebagai gugatan yang cacat.
Agar
permasalahan ini nampak lebih jelas, penulis mengemukakan sebuah ilustrasi kasus sederhana agar contoh
kasus menjadi terang benderang, sebagai berikut :
-
Seorang Pewaris (ayah), meninggal dunia
dengan meninggalkan
5
(lima) orang
anak laki-laki semua, yaitu : Si Nakal, Si Jujur, Si
Sabar, Si Tabah dan Si Tawakkal;
-
Pewaris meninggalkan harta warisan
(tirkah) berupa uang Rp. 5.000.000.000,- (lima milyard)
-
Seluruh harta peninggalan dikuasai oleh anak
pertama saja, yaitu Si
Nakal;
-
Si Jujur merasa mempunyai hak atas harta
warisan ayahnya (Pewaris) bersama adik-adiknya;
-
Tiga adik Si Jujur yaitu : Si
Sabar, Si Tabah dan Si Tawakal adalah orang yang baik, sabar dan
rendah hati, mereka sangat tidak mau konflik dengan kakaknya hanya lantaran
harta warisan;
-
Ketika Si Jujur mengajak
mereka untuk menggugat Si Nakal, mereka tidak mau;
-
Maka majulah Si Jujur sebagai
Penggugat satu-satunya; berhadapan dengan Si Nakal sebagai Tergugat
satu-satunya; Pikiran Si Jujur tidak mungkin memaksa adik-adiknya menggugat,
dan tidak layak adik-adiknya (Si Sabar, Si Tabah dan Si Tawakkal)
digugat, karena ia tidak menguasai barang warisan 1 (satu) senpun;
-
Si Jujur dalam
gugatannya sudah jelas dalam mendudukan perkaranya; Siapa yang mati, berapa
anak-anaknya, dan apa saja harta yang ditinggalkan pewaris; Terakhir tuntutan agar Si Nakal dihukum untuk membagi
dan menyerahkan
harta peninggalan Pewaris
kepada segenap saudara-saudaranya yang lain sesuai dengan hukum Islam;
Dalam
mengadili kasus yang sederhana sebagai tersebut diatas,
memunculkan perbedaan pendapat (dissenting opinion) dikalangan internal
majlis hakim yang bersangkutan.
Pendapat pertama,
mengatakan bahwa gugatan adalah tidak sempurna dan cacat formil, dengan
alasan karena Si Sabar, Si Tabah dan Si Tawakkal tidak didudukkan
sebagai ”turut tergugat”, sehingga subyek hukum tidak lengkap maka gugatan tidak dapat
diterima (N.O).
Pendapat kedua, mengatakan bahwa gugatan Si Jujur tanpa menarik Si
Sabar, Si Tabah dan Si Tawakkal sebagai pihak, tidaklah dapat
dikwalifikasi sebagai gugatan yang dianggap kurang pihak atau tidak sempurna. Yang penting
Penggugat sudah menjelaskan dalam positanya, bahwa ahli-waris (anak-anak)
pewaris sebanyak 5 (lima) orang; Sehingga hakim dapat saja
mendeklair putusannya siapa-siapa ahli-waris dari Pewaris dan berapa bagian
masing-masing sesuai dengan faraidl, kemudian diikuti dengan amar agar Si Nakal
dihukum membagi dan menyerahkan bagian masing-masing sesuai dengan
hukum.
Kasus-kasus
serupa banyak terjadi di jumpai oleh penulis dengan berbagai fareasi; Misalnya
dalam pemeriksaan persidangan berdasarkan keterangan saksi-saksi, ternyata
ditemukan bahwa pewaris masih mempunyai/meninggalkan ibu (ahli-waris), karena
ibu tidak dijadikan pihak, bahkan tidak pula disebut dalam posita, maka gugatan
adalah kurang pihak. Menurut hemat penulis seharusnya tidaklah demikian.
Penulis ingin mencoba
menganalisa kedua pendapat tersebut berdasarkan prinsip-prinsip sengketa
keperdataan,
sehingga dapat ditentukan pendapat mana yang dianggap lebih tepat;
Pembahasan
Menurut Hukum
Acara Perdata (HIR, R.Bg dan RV) subyek
hukum dalam sengekata perdata hanya mengenal “penggugat” dan “tergugat”,
sedangkan stilah “turut tergugat” tidak ada dalam HIR,
R.Bg. maupun RV; Istilah “turut tergugat” dijumpai dalam praktek, karena gagasan
ilmu pengetahuan hukum, bukan kehendak HIR atau R.Bg maupun RV sebagai
instrumen hukum publik (publicrecht instrumentarium). Dari segi ini
gagasan ilmu pengetahuan hukum tidak mempunyai kekuatan otoritatif
maupun imperatif sebagai proses orde.
Masalah siapa penggugat dan siapa
tergugat itu, hukum acara tidak memberikan penjelasan konkrit dan memadai,
tetapi logika hukum obyektif mengajarkan bahwa penggugat atau yang patut
menggugat adalah orang atau orang-orang (termasuk badan hukum) yang merasa dirugikan/dilanggar
haknya oleh orang lain. Sering
juga
didefinisikan “penggugat” adalah orang yang dilanggar hak subyektifnya. Sedangkan ”tergugat” adalah orang
yang disangka terdapat
hak orang lain dan atau orang yang disangka perbuatannya telah merugikan/melanggar hak subyektif orang lain. Dua partajn
yang saling berhadapan tersebut diatas adalah mutlak adanya sebagai ciri suatu perkara gugatan
yang bersifat contentiosa.
Selanjutnya
siapa sebenarnya yang harus didudukkan sebagai “turut tergugat”, hukum acara
tidak membicarakan jelas dan konkrit.
Dalam berbagai
literatur yang ditulis oleh bebarapa ahli hukum, boleh dikatakan belum ada yang
membahasnya secara komprehensip. Lilik Mulyadi S.H. dalam bukunya Hukum Acara Perdata
halaman 38 menyebutkan bahwa “turut tergugat” adalah ditujukan kepada seseorang
yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi demi formalitas gugatan harus
dilibatkan dalam
proses, agar dalam petitum ia dihukum sebagai pihak yang harus tunduk dan taat
pada putusan hakim perdata.
Definisi
dan pendapat tersebut menyisahkan sejumlah permasalahan; inti permasalahannya
adalah, apakah mendudukkan seseorang yang tidak menguasai obyek sengketa
sebagai “turut tergugat” sebagai kewajiban hukum atau hanya bersifat proforma.
Menjawab
secara pasti permasalahan tersebut menjadi amat penting, sebab jika hal
tersebut merupakan kewajiban hukum karena secara ekplisit telah diatur oleh
hukum acara, maka menjadi amat tepat dan benar jika sebuah gugatan yang tidak
mendudukkan semua ahli waris sebagai subyek, maka gugatan tersebut menjadi
cacat formil. Tetapi jika
mendudukkan ahli-waris
yang tidak menguasai barang tersebut hanya merupakan proforma, maka tidak
menjadi tidak tepat jika gugatan yang demikian dianggap tidak sempurna atau cacat
formil.
Logika hukum
obyektif mengatakan bahwa, orang yang perlu didudukkan sebagai tergugat,
hanyalah orang yang nantinya dituntut untuk memenuhi suatu prestasi yang
diminta oleh penggugat lewat putusan hakim. Sedangkan orang yang padanya
diharapkan tunduk atas putusan pengadilan untuk menerima hak adalah tidak
merupakan keharusan. Oleh karena itu pendapat yang mewajibkan mendudukkan ahli
waris yang tidak menguasai harta waris sebagai turut tergugat dengan alasan
bahwa ia nantinya diharapkan tunduk pada putusan pengadilan adalah alasan yang
berlebihan (overbodig); Karena hakim
wajib membiarkan orang-orang yang rendah hati membiarkan hak keperdataannya
dilanggar orang; Sebenarnya ia mempunyai hak, akan tetapi hakim tidak dapat
memberikannya karena ia tidak meminta asas ini kemudian dipakai dalam peradilan dengan nama
asas ultra
petita (hakim dilarang memutus hak
orang yang tidak diminta);
Menerima warisan adalah
hak perdata bukan kewajiban hukum.
Pada hak berlaku asas “tidak ada sebuah hukum yang dapat mememaksa seseorang
untuk menerima hak”, karenanya dalam sengketa perdata hakim bersifat pasif dan hakim hanya berkewajiban
memberikan hak sepanjang
yang
diminta penggugat agar
tidak melanggar prinsip/asas ultra petita.
Jika jalan
pemikiran sebagai tersebut diatas dapat diterima maka mendudukkan ahli- waris
yang senyatanya tidak menguasai harta warisan sebagai turut tergugat harus
dipandang sebagai hal yang proforma, karenanya mengabaikan
ketentuan itu tidak menyebabkan gugatan cacat atau tidak sempurna.
Pembedaan
Istilah Tergugat dan Turut Tergugat
Perlunya
pembedaan sebutan “tergugat” dengan “turut tergugat” menurut ilmu pengetahuan
adalah disebabkan adanya kwalitas klausula hubungan hukum yang berbeda.
Klausula
hubungan hukum yang menjadi dasar seseorang harus didudukkan sebagai tergugat
adalah disebabkan adanya hubungan primer (langsung), sedang dasar
seseorang didudukkan sebagai turut tergugat adalah disebabkan adanya hubungan secundair
(tidak langsung).
Untuk lebih jelasnya
adalah sebagai berikut :
Jika harta waris yang
belum dibagi waris, ternyata telah dijual oleh salah seorang ahli waris pada
pihak lain (pembeli), maka terjadilah peristiwa-peritiwa hubungan hukum primair
dan dan secundair, sebagai berikut :
-
Hubungan hukum antara ahli waris satu
dengan lainnya adalah hubungan hukum primair.
-
Hubungan hukum antara ahli waris yang
menjual (penjual) dengan pembeli adalah hubungan hukum primair;
-
Ahli waris yang tidak turut menjual
menggugat kepada ahli waris yang menjual harta waris, maka ahli waris yang
menjual didukkan sebagai tergugat (ada hubungan primair);
-
Pembeli barang dapat didukkan dalam
posisi sebagai turut tergugat (ada hubungan secundair) dia bukan
ahli waris tetapi ia telah menguasai obyek sengketa disebabkan hubungan hukum
yang belum jelas, karena ia telah membeli harta waris yang belum dibagi waris.
-
Mendudukkan pembeli harta warisan sebagai tergugat
tidak tepat, sebab ia bukan ahli waris, karena jika demikian, maka akan nampak
sebagai sengketa milik yang menjadi kewenangan peradilan umum.
Dalam kasus sebagai
tersebut diatas, oleh ilmu pengetahuan perlu membedakan istilah “tergugat”
dengan istilah “turut tergugat”.
Bila asas yang
demikian ini disepakati maka mendudukkan ahli waris yang tidak menguasai harta
warisan sebagai turut tergugat juga tidak tepat, karena tidak ada alasan
prestasi yang diharapkan atau dituntut oleh penggugat kepada orang yang tidak
menguasai harta warisan.
Berdasarkan
alasan tersebut, penulis berpendapat bahwa mendudukkan ahli waris yang tidak
menguasai harta warisan sebagai turut tergugat adalah salah kaprah, oleh
karena itu gugatan waris tanpa melibatkan ahli waris yang tidak
menguasai barang sengketa tidak dapat dipandang sebagai gugatan yang cacat
formil.
Sifat HIR
Menghendaki Proses Perdata Yang Sederhana
Tujuan orang menghadap pengadilan adalah untuk
mencari keadilan. Dalam hal ini mungkin saja pencari keadilan tidak mengetahui
siapa sebenarnya orang-orang yang menjadi ahli waris dari seseorang pewaris
serta berapa besar bagian masing-masing. Karena untuk menentukan siapa-siapa sebagai
ahli waris dan berapa bagian masing-masing adalah sudah menyangkut wilayah
hukum obyektif yang hanya wajib diketahui oleh hakim (ius curia novit).
Kewajiban pihak-pihak hanya mengemukakan fakta kejadiannya
bukan fakta hukumnya, Dalam sengketa
waris penggugat hanya berkewajiban menyebutkan siapa yang mati, siapa keluarga dan ahli-warisnya yang ditinggalkan pada saat pewaris
meninggal dunia serta apa saja harta
peninggalan pewaris. Penggugat dianggap cukup dengan memohon kepada hakim agar menetapkan
ahliwaris dan bagiannya masing-masing.
Dengan demikian seseorang
marasa tidak merasa dipersulit oleh hukum, karena orang awampun dapat
mengajukan gugatan, penggugat diminta oleh hukum untuk menceritakan
peristiwa-peristiwanya saja. Karena itulah pasal 120 HIR membolehkan mengajukan
gugat secara lisan, maksud yang terkandung dalam pasal tersebut adalah
kemudahan dan kesederhanaan, sehingga sikap hakim yang terlalu formalistis akan
memberikan kesan betapa berat dan sulitnya seseorang yang ingin menuntut hak
keperdataannya di muka pengadilan.
Kewajiban penggugat selainnya adalah
mendudukkan siapa orang-orang yang secara nyata menguasai harta waris sebagai
tergugat. Selebihnya adalah kewajiban hakim untuk menguji kebenaran gugatan
penggugat tersebut dengan hukum obyektif, bila ternyata benar, maka gugatannya
dikabulkan sesuai dengan dasar-dasar hukum obyektif.
Tinjauan Sosiologis
Secara sosiologis
masyarakat muslim di bebarapa daerah di Indonesia berkembang budaya hukum “ewoh
pakewoh”. Maknanya bahwa sungguhpun para ahli waris menghendaki harta warisan
itu dibagi, tetapi kadang seseorang karena baik hati atau perasaan malu atau
segan untuk terlibat dalam sengketa waris, sehingga ia harus mengambil sikap
diam. Untuk itu pasal 88 Kompilasi Hukum Islam telah secara tegas memberikan
ajaran, bahwa “Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan
dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan
pembagian harta warisan, bila ada diantara ahli waris lain yang tidak
menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan
melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan”. Filosofi
yang terkandung dalam ajaran tersebut bahwa tidak semua ahli waris harus
terlibat sebagai penggugat maupun tergugat, tetapi cukup diwakili seseorang,
sedangkan yang perlu didudukkan sebagai tergugat adalah mereka yang menguasai
harta waris yang menjadi obyek sengketa.
Jika alur pikir tersebut dapat diterima maka dalam menyelesaikan
ilustrasi kasus sederhana sebagai tersebut diatas adalah Majelis
menyatakan porsi hak masing seluruh ahli waris, Si Nakal 1/5 (seperlima), Si
Jujur 1/5 (seperlima), Si Sabar 1/5 (seperlima), Si Tabah 1/5 (seperlima) dan
Si Tawakkal 1/5 (seperlima), Dan selanjutnya hakim menghukum kepada Si Nakal,
untuk menyerahkan bagian yang menjadi hak masing-masing seluruh ahli waris
sesuai dengan bagiannya menurut hukum. Dengan demikian maka
sengketa-sengketa kewarisan dapat diselesaikan dengan asas formal prosedur
and can be put in motion quickly.
Masalah
eksekusi, adalah sudah masalah diluar konteks mengadili, apakah Si Sabar, Si
Tabah dan Si Tawakkal mau meminta haknya atau tetap tidak mau mengambil
haknya, hal tersebut terserah yang bersangkutan yang jelas tidak ada hukum yang
bisa memaksa seseorang untuk menerima haknya. Karena hakim wajib membiarkan
orang-orang yang rendah hati membiarkan hak keperdataannya dilanggar orang;
Sebenarnya ia mempunyai hak, akan tetapi hakim tidak dapat memberikannya karena
ia tidak meminta (azas ultra petita)
Kesimpulan
1.
Mendudukkan ahli waris yang
tidak menguasai harta warisan sebagai pihak “turut tergugat” hanya syarat
proforma, bukan kewajiban hukum yang menyebabkan gugatan cacat formil.
2.
Dalam sengketa kewarisan yang
bertindak sebagai penggugat boleh satu orang atau beberapa orang saja, asalkan
dalam posita sudah dijelaskan siapa-siapa sebagai ahli-warisnya, serta telah ada petitum dimintakan hak semua ahli warisnya menurut hukum.
3.
Gugatan kewarisan dinilai sebagai
kurang pihak/tidak sempurna/cacat formil, jika ternyata ada ahli-waris lain yang menguasai
harta warisan (obyek)
yang tidak digugat.
4.
Jika penggugat hanya menuntut bagian
haknya sendiri tanpa menuntut haknya ahli waris lainnya kepada para ahli waris
yang menguasai harta peninggalan (tergugat), gugatan yang demikian dapat dibenarkan.
Karena
hakim wajib
membiarkan orang-orang yang rendah hati membiarkan hak keperdataannya dilanggar
orang; Sebenarnya ia mempunyai hak, akan tetapi hakim tidak dapat memberikannya
karena ia tidak meminta (azas ultra petita :hakim dilarang memutus hak
orang yang tidak diminta);
Wallahu
a’lam bis-shawaab
kesimpulan 4 : hakim wajib membiarkan orang uanh rendah ati dilanggar hak keperdataannya ? maka jika demikian alangkah dzalimnya hakim karena telah membiarkan kedzaliman di depan matanya... alangkah adilnya bila haknya ditetapkan dalam amar, meski tidak diminta... bukankan ada ex aequo et bono ?...
BalasHapuskewajiban memasukan turut tergugat dalam surat gugatan mengantisipasi bila si turut tergugat dikemudian hari menuntut haknya, kan manusia seringkali berobah pikiran, hari ini dia banyak duit, ngapain mikiran harta waris yg nggak seberapa, nanti waktu dia kere, pasti ada pikiran untuk memnuntut haknya, begitu bung kira-kira, krn kalo gak begitu, kita cape ngurusin satu perkara, tapi berkali-kali masuk pengadilan
BalasHapusjadi dasar hukum apa (adakah pasalnya) yang dipakai bahwa ketika gugatan tengah berlangsung dan tergugat meninggal dunia kewajibannya dilanjutkan oleh ahli waris tergugat
BalasHapusTaipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
BalasHapusSITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
dengan kemungkinan menang sangat besar.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
• AduQ
• BandarQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• FaceBook : @TaipanQQinfo
• WA :+62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
Come & Join Us!!
dalam hukum Islam ada asas ijbari, tidak ada hak bagi ahli waris untuk menolak sebagai ahli waris. berbeda dengan Pasal 1023 KUH Perdata.
BalasHapusAku dapat perkara seperti ini..
BalasHapusAlasan rendah hati tidak mau ikut campur karena tidak mau bermasalah dengan saudaranya dan sebenarnya sudah mendapatkan beberapa ekor sapi tapi sapi itu tidak bisa dibuktikan.
Apakah harus dibuatkan surat pernyataan ke saudara-saudara atas ketidak ikut sertakan nya tersebut.
Mau nanya nih gmna jika suatu tanah sengketa dimiliki oleh 90 orang ahli waris, dan yang menggugat tanah tersebut di pegadilan hanya 80 orang, bagaimana hak 10 ahli waris yang tidak ikut menggugat hilang atau bagaimana ?
BalasHapusApabila didalam Sertifikat Hak Milik ada beberapa nama pemiliknya salah satu ahli waris dibawah umur apakah ahli waris dibawa umur tersebut patut ditarik sebagai Turut Tergugat?
BalasHapusselain terdapat asas ijbari dan juga untuk memenuhi rasa keadilan serta agar semua ahli waris tunduk pada putusan hakim, dan menghindari putusan yang ultra petita maka semua ahli waris harus dimasukkan dalam surat gugatan, apakah sebagai penggugat, tergugat atau turut tergugat.
BalasHapus