Kalau
kita kritis mencermati lembaga hukum di Indonesia, maka kita bisa menarik
kesimpulan bahwa sejak dari dahulu terdapat upaya yang sistematis untuk memarginalkan
sisi "agama" dari pentas perkembangan hukum di Indonesia. Contoh kongkrit
adalah, adanya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bahwa seorang lulusan fakultas
hukum yang menguasai hukum Islam, dapat menjadi hakim pada Pengadilan
Agama, akan tetapi seorang sarjana syari'ah sekalipun ia menguasai hukum “umum”, tidak akan dapat
menjadi hakim pada Pengadilan Negeri. Kalau kita mau cari jawaban yang pragmatis, jawaban
singkatnya adalah “begitulah yang dikehendaki oleh undang-undang”. Tetapi kalau
kita ingin jawaban yang demokratis dan moderat, tentu tidak dalam
kalimat yang sederhana itu.
Sarjana syari’ah untuk
dapat menampakkan eksistensinya sebagai sarjana hukum yang bisa bekerja di
profesi hukum telah dirintis sejak tahun 1974 setelah lahirnya Undang Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perjuangan tersebut baru menemukan hasil
pada tanggal 6 Januari 1983 saat Ketua Mahkamah Agung Bapak Mujono S.H dan
Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara menandatangani Surat Keputusan
Bersama (SKB) yang salah satu poinnya adalah dibolehkannya sarjana syari’ah
memberi bantuan hukum di peradilan Agama selain sarjana-hukum dari fakultas
hukum umum. Akhirnya sarjana syari’ahpun patut gembira karena Undang Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Profesi
Advokat membuka paradigma baru bagi institusi hukum di Indonesia, karena undang-undang
tersebut memberikan peluang yang sama antara sarjana syari’ah dan sarjana “umum” untuk menjadi advokat. Sehingga undang-undang ini nampak
lebih maju dan demokratis, karena tidak ikut-ikutan melakukan diskriminasi-kategoris terhadap sarjana fakultas syari'ah.
Menjawab hal di atas, langkah-langkah apa yang perlu dan harus dipersiapkan oleh fakultas
syari'ah, sehingga sarjana lulusannya memenuhi standar kwalifikasi tenaga yang
bekerja di bidang hukum, baik sebagai hakim,
jaksa, polisi, advokat dan lain yang dapat mengabdi dan berpraktek tidak
hanya di lingkungan peradilan
agama, tetapi juga di lingkungan institusi hukum lain yang ada di Negara
Indonesia ini;
Pendidikan Syari’ah
Syari’ah sebagai institusi hukum
Islam, konsep dasarnya universal bersifat stabil dan absolut.
Tranformasi nilai-nilai syar’ah dalam wilayah publik dalam konteks
kemasyarakatan dengan kemasan lokal yang sarat dengan dimensi khas disebut “fikih”.
Masyarakat kerap kali menyamakan antara syari’ah, fikih dan atau Hukum Islam,
padahal tidaklah demikian dan itu tidaklah menjadi bahasan disini (Mahmud Syalthot).
Sekedar tidak a historis, dalam sejarah hukum di
Indonesia keberadaan dan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia telah menjadi living
law jauh sebelum masuknya hukum Belanda (receptie in complexu
theorie). Pendidikan syari’ah dibangun dan menjadi bagian kehidupan
masyarakat Indonesia sejak abad 14 bersamaan masuknya Islam ke wilayah
nusantara, karena sudah menjadi watak dan kepribadian muslim yang tidak mungkin
dapat dipisahkan dari keimanan dan hukum agamanya dalam berbagai aspek
kehidupannya. Pendidikan hukum Islam atau syari’ah saat itu dapat dilihat dalam
dua bentuk informal dan formal; Pendidikan informal saat itu berjalan seiring
dengan tradisi pemberlakuan hukum-hukum Islam yang berlaku dalam keseharian
masyarakat, seperti tradisi praktek “tahkim” (arbitrase), “shighah”
(ijab-qobul) dalam menjalankan akad nikah, meminta fatwa ulama’, ”self and
officer assesment” dalam pembayaran zakat dan berbagai tradisi hukum lainnya.
Adapun pendidikan hukum syari’ah secara formal untuk konteks saat itu umumnya
disatukan dengan paket pendidikan keagamaan di pesantren-pesantren yang
belum berdiri sendiri sebagaimana sekarang.
Formalisasi pendidikan syari’ah di pesantren tidak hanya
ada di Indonesia, tetapi juga dilakukan di negara-negara muslim lainnya
misalnya Turki, Mesir dan Sudan, akan tetapi di ketiga negara tersebut tergusur
oleh exspansi pendidikan umum dan arus globalisasi. Di Turki di tahun 1924
Mustafa Kamal At-Tarturk menghapus sistem madreese (madrasah) dan
mengubah menjadi sekolah-sekolah umum. Di Mesir 1961 Gamal Abdel Nasser juga
menghapus sistem “al-madrasah” dengan alasan integrasi dan nasionalisasi
(Azzumardi Azra). Dari dua contoh ini kiranya cukup menggambarkan bahwa lembaga
pendikan syari’ah cukup rentan terhadap gelombang modernisasi dan globalisasi.
Dalam kontek ke Indonesiaan, Fakultas syar’ah didirikan
sebagai jawaban tuntutan modernisasi sistem pendidikan hukum Islam. Pada tahun
1940 mulai didirikan sekolah-sekolah tinggi Islam. Contohnya Sekolah Islam
Tinggi (SIT) Padang, didirikan oleh Persatuan Guru Agama Islam (PGAI); Pada tahun
1945, Dr. Moh. Hatta bersama K.H. Mas
Mansur, K.H. A. Kahar Mudzakkir, K.H. Fathurrahman Kafrawi dan K.H. Farid
Ma’ruf mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta, yang kemudian tahun
1946 harus pindah ke Yogyakarta karena mengikuti perpindahan pusat pemerintahan
RI dan di tahun 1948 berganti nama dengan Universitas Islam Indonesia (UII)
yang kemudian tahun 1950 dinegrikan menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri). Di PTAIN terdapat jurusan peradilan (qodlo’) juga diajarkan
mata kuliah hukum umum; Pengantar Ilmu Hukum, Asas-asas Hukum Publik dan
Privat, hukum adat, hukum formil dan materiil, hukum Internasional dan
lain-lain. Di tahun 1957 Perguruan Tinggi Islam banyak yang berganti nama menjadi
IAIN (Institut Agama Islam Negeri). Karena tuntutan modernisasi pendidikan
banyak yang berganti UIN (Universitas Islam Negeri) dengan senantiasa terus
memperbarui dan menyempurnakan kurikulum sesuai dengan kebutuhan angkatan kerja
profesi hukum di negeri ini.
Dengan dipelajrinya ilmu-ilmu hukum non syari’ah bukan
berarti telah terjadi re orientasi dari hukum Islam ke hukum barat, akan tetapi
lebih bersifat “konservasi” ke arah aplikasi syari’ah dalam format ius
constitutum khas Indonesia (Azzumardi Azra).
Sarjana Syari’ah dan Sarjana Hukum menduduki strata yang
sama, masing-masing sebagai S-1 Fakultas Syari’ah dan S-1 Fakultas Hukum.
Materi kuliah hukum (umum) yang diberikan pada Fakultas Hukum diberikan juga di
Fakultas Syari’ah, dan materi kuliah hukum Islam (Islamologi) juga diberikan di
Fakultas Hukum. Pendalaman materi hukum mendapatkan mendapatkan prioritas utama
di Fakultas Hukum dan pendalaman hukum Islam mendapatkan prioritas utama di
Fakultas Syari’ah. Ini artinya variasi pendalaman materi mata kuliah hukum
tertentu pada kedua fakultas tersebut.
Namun demikian hingga saat ini fakultas syari’ah ada yang
menilai masih belum mampu merespon kebutuhan angkatan kerja profesi hukum,
disebabkan tingginya dinamika berbagai aspek kehidupan masyarakat. Image
masyarakat yang kurang pas terhadap alumni Fakultas Syari’ah berimplikasi pada
sikap dan cara memperlakukan Sarjana Syari’ah yang sejatinya tidak berbeda
dengan Sarjana Hukum.
Cita Hukum Negara
Menormalkan anggapan yang demikian ini kita harus kembali
kepada cita-cita dan komitmen negara Indonesia paska era reformasi, yang pada
prinsipnya adalah ingin memiliki dan menata hukum nasional secara terpadu
dengan menghormati hukum “agama”, hukum adat serata memperbarui hukum warisan kolonial
dan hukum nasional yang diskriminatif. Kalau cita-cita tersebut benar-benar menjadi
acuannya, maka bukan saatnya lagi memonopoli klaim-klaim yang bersifat
diskriminatif seperti menganggap “hukum agama atau hukum Islam sebagai hukum
yang tidak ada hubungannya laju peradaban modern” dalam nuansa keIndonesiaan
ini, kiranya kita adalah akan menjadi bangsa yang modern dan “bijak-bestari”,
jika memegang semboyan “Lex plus laudatur quando ratione probatur” ; hukum
akan dihargai bila didukung oleh dasar yang masuk akal bagi masyarakat.(Satjipto
Raharjo);
Hukum adat, hukum Islam (syari’ah), hukum barat atau
hukum manapun saja belum pernah “didaftarkan” di tanah air kita Indonesia ini.
Selama hukum itu dianggap bermanfaat, menentramkan dan mendukung sehatnya kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka harus diterima dan diterapkan sebagai hukum
nasional kita. Pandangan yang mendikotomiskan antara hukum Islam dan hukum umum
bertolak pada asumsi bahwa Hukum Islam itu berada pada wilayah pesantrean yang
akrap dengan ketertinggalan dan jauh dari kemajuan. Padahal seharusnya keduanya
tidak dipertentangkan melainkan dijadikan sumber untuk menggali hukum nasional
yang lebih sesuai nilai-nilai dan norma-norma yang hidup ditengah-tengah
masyarakat. Sebab pada hakikatnya keduanya menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari kesadaran hukum masyarakat. Mempertentangkan hukum umum dengan hukum Islam
berarti mengingkari realitas masyarakat.
Pekerjaan Profesi Hukum
a. Sarjana
Syari’ah Dan Peradilan Agama
Anggapan sebagian masyarakat terhadap sarjana syari’ah
dan Peradilan Agama masih keliru. Hal tersebut karena pengaruh politik hukum
penjajah. Pandangan yang menganggap enteng sarjan produk Fakultas Syari’ah
tersebut telah direspon positif oleh para hakim Sarjana Syari’ah dan sekaligus
mengangkat citra Peradilan Agama. Saat ini lebih 75 persen hakim pada Peradilan
Agama bergelar rangkap, Sarjana Syari’ah dan Sarjana Hukum; Lebih dari 500
hakim Syarjana Syari’ah telak galar kesarjanaan Magister Hukum dari berbagai
perguruan tinggi hukum, bahkan akhir-akhir ini banyak di antara mereka yang bergelar
doktor.
Semenjak Paradilan Agama dibawah Departemen Agama policy
Menteri Agama memberi kesempatan kepada Sarjana Syari’ah untuk menadi pegawai,
fungsionaris dan pejabat lingkungan lembaga-lembaga deparetemen, termasuk
Pengadilan Agama. Peran mereka adalah sebagai pejabat Kesekretariatan, Panitera
Pengganti, Panitera Muda, Panitera/Sekretaris, Hakim, Wakil Ketua, Keta
Pengadilan/Mahkamah Syari’ah, Hakim Tinggi Ketua Pengadian Tinggi/Katua
Mahkamah Syari’ah Propinsi di Seluruh Indonesia. Singkatnya Sarjana Syari’ah
adalah tulang punggung Peradilan Agama.
b. Sarjana
Syari’ah dan Profesi Advokat
Secara etimologi, advokat berasal dari kata advocate,
artinya adalah penyokong
atau penganjur, sedangkan secara terminologi, advokat adalah orang yang melaksanakan
kegiatan advokasi.
Kegiatan
advokasi adalah kegiatan atau upaya yang dilakukan oleh seorang advokat untuk pembelaan maupun kewajiban hukum seseorang
atau kelompok masyarakat guna memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya atas
dasar kebenaran, persamaan
hak, serta asas fairness dan kepastian
hukum dalam lalulintas hukum
yang berlaku.
Ditinjau dari
doktrin maupun tradisi maka advokat adalah unsur penegak hukum mewakili atau
memberi bantuan hukum kepada kliennya yang berperkara di Pengadilan, status ini
bukanlah ciptaan undang-undang. Tetapi dengan diundangkannya undang-undang nomor 18 Tahun
2003 tersebut,
maka advokat adalah penegak hukum yang bekerja bersama-sama penegak hukum
lainnya (polisi, jaksa, hakim) secara simultan bertanggung jawab untuk
mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang efektif, efision, saling menunjang
dalam menemukan hukum yang tepat dan benar untuk memberikan putusan yang
memuaskan baik bagi pencari keadilan maupun menurut pandangan hukum masyarakat
pada umumnya, sehingga cita-cita
mewujudkan “sistem paradilan terpadu” (integrated judicial sistem)
segera dapat diwujudkan. Terpadu dalam sistem peradilan harus diartikan
keterpaduan hubungan antar para penegak hukum sehingga dalam menjalankan
tugasnya mampu menjalankan sistem paradilan yang baik.
Advokat sebagai
pemberi jasa hukum, ada suatu hal yang harus dipegang teguh dan harus diingat
dalam menjalankan profesi, bahwa etika yang mendasari hubungan advokat dengan
klien, adalah hubungan atas dasar kepercayaan (trust). Karena itu
putusnya suatu hubungan antara advokat-klien hanya dapat dilakukan atas dasar
goyahnya prinsip hubungan kepercayaan, misalnya adanya ketidak jujuran klien
dalam suatu perkara atau masalah hukum yang sedang dibantu, misalnya
menyembunyikan suatu fakta yang semestinya diketahui advokat. Adalah melanggar
etik seorang yang meninggalkan atau menterlantarkan klien karena alasan-alasan
pembayaran honorarium tidak sesuai dengan kesepakatan, apalagi karena adanya
“saling pengertian” atau “main mata” dengan pihak lawan tanpa diketahui klien.
Harus diakui di
antara sekian banyak profesi bidang hukum secara langsung maupun tidak langsung, advokat atau pengacara merupakan jenis
profesi hukum yang banyak menimbulkan kontroversi. Situasi demikian
tidak hanya dirasakan pada negara yang sedang barkembang seperti Indonesia tetapi di negara maju pun masih
timbul masalah.
Dalam jajak pendapat, advokat ternyata juga mendapat predikat profesi yang paling tidak
disukai, Apalagi saat mencuatnya kasus-kasus mega korupsi di media
massa, karena
dipandang sebagai kumpulan orang-orang yang
senang memutarbalikan fakta, membuat gelap persoalan yang semestinya sudah jelas, membuat perkara yang
semestinya sederhana menjadi ruwet, bahkan ada yang menilai kurang bermoral
karena pekerjaan advokat mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain.
Padahal Profesi advokat
dibentuk untuk tujuan yang mulia, bila terdapat penyimpangan harus kita abaca
itu “oknumnya”.
Di
Negara-negara yang sudah baik kesadaran hukum masyarakatnya, profesi ini
mendapatkan simpati dan apresiasi yang baik dari masyarakat. Seperti
di Amerika, dalam berbagai survei, profesi advokat
masih menempatkan seseorang pada posisi yang terhormat. Advokat naik
pamornya karena banyak pemimpin dunia berangkat dari profesi tersebut, dan terbukti mereka semua adalah orang-orang yang
cerdas, rasional, dan pandai berargumentasi.
Advokat
penyebutannya sering digandengkan dengan pengacara.
Kedua istilah tersebut memang sama-sama bergerak dalam lapangan bantuan hukum, khususnya litigasi.
Perbedaan istilah di antara mereka
lebih berkaitan dengan kompetensi saja. Untuk pengacara, wilayah bantuan
hukum yang dapat ditanganinya adalah satu wilayah pengadilan tinggi, sedangkan advokat meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Standar
Kualifikasi Profesi Advokat
Suatu pekerjaan
yang dikategorikan sebagai profesi, wajib memiliki kualifikasi tertentu yaitu ketentuan baku minimal
yang harus dimiliki oleh penyandang profesi dalam menjalani pekerjaannya. Standar kualifikasi
profesi ini disusun
secara
sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Biasanya standar kualifikasi telah diajarkan pada saat
penyandang profesi tersebut
masih dalam proses pendidikan
dan/atau pelatihannya. Dalam
hal-hal tertentu, standar kualifikasi profesi juga ditetapkan oleh organisasi profesi tersebut, di mana organisasi
tersebut menetapkan prosedur baku
dan minimal yang harus ditempuh oleh anggotanya dan apabila tidak diindahkan, maka dapat
dikategorikan melakukan pelanggaran.
Sebagai penyandang profesi,
seorang advokat memerlukan landasan utelektualitas,
di mana yang bersangkutan harus menguasai suatu pengetahuan tertentu di bidang hukum melalui proses pendidikan hukum. Wujud
yang diatur oleh standar kualifikasi tidak selalu berupa tindakan fisik, tetapi juga yang bersifat psikis (mental). Standar yang
berwujud psikis biasanya disebut dengan etika profesi sebagai
prinsip yang harus ditegakkan.
Di dalam etika profesi
terdapat dua prinsip yang harus ditegakkan, yaitu profesi pada umumnya dan
profesi luhur. Perbedaan profesi pada umumnya dengan
profesi luhur terletak pada unsur pengabdian pada masyarakat sedangkan
profesi luhur pada hakikatnya merupakan suatu pelayanan pada manusia atau
masyarakat dan motivasi utamanya bukan untuk memperoleh nafkah dari
pekerjaannya.
Untuk semua pekerjaan profesi pada umumnya,
termasuk profesi advokat paling tidak ada dua prinsip yang wajib ditegakkan yakni :
- Pertama prinsip agar menjalankan profesi secara bertanggung jawab;
-
Kedua hormat
terhadap orang lain.
Pengertian bertanggung
jawab menyangkut baik terhadap pekerjaan itu sendiri, maupun hasilnya dalam arti yang bersangkutan harus
menjalankan pekerjaannya dengan
sebaik mungkin dengan hasil yang berkualitas. Selain itu dituntut ada
tanggung jawab agar dampak pekerjaan yang dilakukan tidak sampai merusak
lingkungan hidup dengan menghormati hak orang lain.
Untuk
profesi yang luhur (officium nubile) bagi seorang advokat terdapat as
prinsip penting yaitu :
-
Pertama,
mendahulukan kepentingan orang yang dibantu, apakah klien atau pasien;dan
-
Kedua, mengabdi pada tuntutan profesi;
Seorang advokat tidak boleh
mengelabui hakim dengan menyatakan yang dibelanya tidak bersalah demi untuk
memenangkan perkara dan untuk sekedar mendapat
bayaran dari kliennya. Untuk melaksanakan profesi luhur secara baik,dituntut moralitas
yang tinggi dari pelakunya. Tiga ciri moralitas yang tinggi :
-
Pertama
: berani berbuat dengan
bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi,
-
Kedua, sadar akan kewajibannya,
-
Ketiga, memiliki idealisme tinggi tinggi;
Profesi Advokat bagi Sarjana Syari’ah
Seperti dimaklumi bahwa lembaga IAIN/STAIN/UIN sebagai
penyelenggara bidang pendidikan di Indonesia melalui Fakultas Syariah
melaksanakan pendidikan hukum terutama Hukum Islam. Tidak dapat dipungkiri juga
beberapa disiplin hukum umum secara umum diajarkan juga, akan tetapi yang
perlu di atasi apakah
bobot setiap mata kuliah yang diajarkan telah memenuhi standar yang diharapkan.
Sebagian dari
lulusan Fakultas Syariah banyak menempuh jalur profesi peradilan agama
dengan menjadi hakim, panitera dan jurusita, akan tetapi profesi tersebut amat
sangat terbatas dibanding dengan lulusannya. Oleh karena itu profesi advokat adalah peluang alternative yang
cukup prospektif bagi sarjana syari’ah untuk memberi
pelayanan jasa hukum baik litigasi di semua lingkungan peradilan yang ada di Indonesia, maupun non litigasi yang
memberi jasa pelayanan hukum dalam
segala bidang di luar Pengadilan atau konsultan hukum.
Untuk menjawab
permasalahan tersebut di atas tentunya kita harus mengekplorasi kembali bagaimanakah
kurikulum
fakultas syariah yang ada pada saat sekarang, apakah proses pendidikan yang
digariskan telah menjawab dasar-dasar yang harus dikuasai oleh seorang yang
berprofesi advokat atau pengacara. Perlu dilakukan langkah-langkah, bagaimana
menciptakan lulusan fakultas syariah dapat berprofesi sebagai
advokat/penasehat hukum, konsultan hukum yang mempunyai keahlian
secara simultan di bidang ilmu syariah sekaligus ilmu hukum secara umum.
Hal tersebut sengaja diangkat adalah untuk membendung gejala yang
berkembang pada beberapa tahun terakhir ini, yaitu para hakim
pengadilan agama yang nota bene sarjana syariah, tetapi masih mengikuti
pendidikan program S-1 ilmu hukum pada fakultas hukum pada perguruan tinggi umum
baik negeri dan swasta. Pertanyaan yang menyertai gejala ini adalah,
apakah disebabkan kurang luasnya wawasan ilmu hukum bagi mereka ataukah hanya untuk
merubah image bahwa kalau sudah lulusan fakultas hukum umum maka
seseorang akan dipandang lebih kapabel.
Selain itu hal
sangat menarik adalah minimnya jumlah sarjana syariah
yang berprofesi advokat untuk menangani perkara yang masuk ke Pengadilan Agama
yang sebenarnya berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-undang
Tentang Peradilan Agama adalah peluang dan lahan yang harus digarap
sebagai prioritas. Walaupun ada, tetapi apabila dibandingkan dengan advokat
sarjana hukum jauh lebih banyak dibandingkan dengan sarjana syariah yang
berpraktek di Pengadilan Agama. Sebagai catatan bahwa sengketa di Pengadilan Agama
baik menyangkut bidang perkawinan, kewarisan, wakaf dan shadaqah,
tetapi pada kenyataannya kadangkala di dalam penyelesaiannya seringkali
bersinggungan, bersintuhan, bahkan bertegangan dengan bidang hukum di luar
Hukum Islam. Oleh karena itu yang menjadi problema adalah bagaimana seorang
sarjana syariah yang berprofesi sebagai advokat dapat percaya diri,
sedangkan pada dirinya sangat minim pengetahuan bahkan tidak dibekali dengan
hukum jaminan, lembaga pembiayaan, transaksi perbankan, hukum kepailitan, bentuk perjanjian dan
sebagainya yang pada kenyataannya, kemungkinan
akan masuk di dalam perkara kewarisan Islam yang diselesaikan di
Pengadilan Agama.
Sebagai catatan
bahwa aktifitas kurikuler bukan satu-satunya upaya antisipasi
terhadap tuntutan pasar kerja terutama profesi, tetapi bagaimana tuntutan akan
profesi bidang hukum terutama advokta/pengacara dapat difasilitasi oleh
fakultas syariah. Hal demikian untuk menjawab tantangan agar lulusan fakultas
syariah tidak hanya menguasai beberapa hal/masalah di lingkungan
peradilan agama, tetapi juga menguasai teori dan teknik hukum yang berlaku di
lingkungan peradilan lain.
Dalam kaitan
dengan dapur pengolah,
fakultas syariah dapat mengakomodasi beberapa hal yang perlu bagi lulusan
untuk terjun pada profesi advokat;
-
Pertama : Tentang perkawinan,
transplantasi jaringan tubuh, kasus fertilisasi manipulatif dalam suatu ikatan
perkawinan, masalah harta bersama dalam lintas bidang hukum yang berlaku
di Indonesia.
-
Kedua : beberapa bidang hukum bisnis, seperti jual beli saham,
transpert of
kredit, Letter of Credit (L/C), sistem leasing, aneka deposito, fiducia, cheque, hipotik, lembaga pembiayaan, hukum kepailitan dll.
kredit, Letter of Credit (L/C), sistem leasing, aneka deposito, fiducia, cheque, hipotik, lembaga pembiayaan, hukum kepailitan dll.
-
Ketiga ; Penggunaan asas hukum personalitas, resiprositas, facta sun
servanda, renvoir, regiousche overgang dalam berbagai
kasus hukum kekeluargaan nasional yang berjumpa dengan hukum transnasional.
-
Keempat : upaya memperkuat pemberian hukum acara perdata, hukum acara pidana, hukum acara peradilan tata usaha
negara, dalam rangka memenuhi tingkat
pelayanan hukum. Penguasaan hukum acara tidak cukup hanya dengan tatap
muka saja, tetapi perlu didukung praktek laboratorium hukum sesuai dengan
tradisi hukum yang lazim dan tidak cukup dengan observasi sekali dua kali saja.
Hal tersebut
dapat dibiasakan oleh intensitas pelatihan instrumen penyelesaian perkara di luar (non litigasi) dan
di pengadilan (litigasi). Hal demikian dapat di atasi dengan aktivitas
mata kuliah laboratorium/praktek peradilan. Selain aktifitas terstruktur, dapat
diupayakan melalui Lembaga Konsultan dan
Bantuan Hukum Fakultas Syariah di mana terjadi simultanisasi peran dosen
dan mahasiswa bagi penyelesaian perkara di
luar dan di depan pengadilan.
Seperti diketahui seorang advokat memerlukan pendidikan
yang professional (keterampilan kerja) dan pendidikan
seumur hidup (long life education), sedangkan pendidikan di IAIN/STAIN/UIN termasuk Fakultas Syariah
apakah telah menjalankan pendidikan yang
profesional, ataukah masih terbatas pada proses pengajaran pada kemampuan akademik saja. Hal tersebut perlu
dipertegas adalah dalam rangka
menjawab bahwa profesi advokat, hakim, konsultan hukum atau notaris memerlukan
kemampuan profesional atau keterampilan kerja. Arti semua uraian di atas adalah untuk menjadi praktisi
di bidang hukum, apakah sebagai advokat, konsultan hukum, hakim,
diperlukan suatu proses penyiapan yang
terarah lagi tertib
Dari segi lembaga yang disebut institut dalam hal ini IAIN
maupun STAIN jelas hanya menyelenggarakan pendidikan
mengajar kemampuan akademik bukan profesional atau keterampilan kerja dalam
sekelompok disiplin ilmu agama Islam dan untuk
Fakultas Syariah adalah disiplin ilmu syariah.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu upaya-upaya serius dan signifikan dari
berbagai pihak. Memang, selama ini telah dilakukan beberapa hal seperti perubahan gelar
kesarjanaan untuk lulusan IAIN umumnya dan sarjana syari'ah khususnya. Sekarang
sarjana syari'ah tidak lagi memiliki gelar S.Ag atau Sarjana Agama (sebuah
gelar yang juga dipakai untuk lulusan perguruan tinggi agama lain), tetapi
Sarjana Hukum Islam (SHI). Setidaknya perubahan gelar ini memberi kesan
kesetaraan dengan Sarjana umum. Dengan gelar ini,
seorang sarjana syari'ah tidak harus mengikuti pendidikan di fakultas hukum
untuk memperoleh gelar SH. Selama ini mungkin sebagian sarjana syari'ah masih memiliki inferiority complex dengan
gelar kesarjanaan mereka, sehingga di antara mereka ada yang mengambil
kuliah pula di
fakultas hukum. Pilihan ini tentu saja sah-sah saja dan tidak terlarang, meskipun terkesan ada rasa kurang PD (percaya diri)
terhadap gelar kesarjanaan syari'ah.
Hal lain yang
agaknya perlu mendapat perhatian adalah pembenahan kurikulum sesuai dengan tuntutan kebutuhan
dan tantangan. Fakultas Syari'ah agaknya
perlu mempertimbangkan beberapa mata kuliah hukum umum lainnya, di
samping yang telah mapan diajarkan selama ini, seperti hukum betenagakerjaan, kepengacaraan, hukum pertanahan,
hukum acara pada Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Ini berangkali beberapa mata kuliah yang bisa
diberikan kepada mahasiswa untuk membekali mereka & lapangan nantinya.
Tentu tidak tertutup mata kuliah lain untuk diajarkan sejauh relevan
dengan upaya menjawab tantangan kebutuhan tersebut.
Di
sisi mahasiswa sendiri, mereka perlu meningkatkan keilmuan dan keterampilan di bidang yang bersentuhan
langsung dengan profesi bopengacaraan. Diundangkannya RUU Advokat
ini adalah peluang dan besernpatan emas bagi mereka. Namun peluang ini akan
hilang begitu saja manakala mereka tidak menyahutinya dengan mengembangkan
kemampuan intelektual dan tidak terlatih dalam penerapan hukum. Mereka akan
kalah bersaiang dengan para sarjana hukum.
Untuk itu, Fakultas Syari'ah barangkali bisa memfasilitasi alumninya
untuk memberikan kursus atau pendidikan kepengacaraan.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya, adalah penanaman
basis moral
kepada mahasiswanya. Kita
tabu, profesi advokat sering diidentikkan orang "membela yang bayar." Artinya,
advokat berjuang membela mati‑matian kliennya. Dengan
kemampuannya bersilat lidah dan bermain kata-kata,
advcokat sering dianggap mampu menghitamkan
yang putih dan memutihkan yang hitam. la
bisa membuat bebas kliennya yang bersalah, atau membuat
kliennya mendapat sesuatu yang bukan haknya. Idealismenya bukan membela
kebenaran, melainkan membela klien. Kalau
advokat memiliki "reputasi"menang terus membela kliennya, maka ia semakin dicari orang dan
bayarannyasemakin tinggi. Makanya, sebagian orang
memberi tamsil miring terhadapprovesi advokat ini seperti gunting.
Kedua sisi gunting saling bersinggungan dan berlawanan, namun yang terjepit dan
yang koyak adalah kain yang berada di tengah-tengah kedua sisi tersebut . Dua
orang advokat barangkali bisa berdebat sengit di depan siding membela kliennya
masing-masing, namun di luar persidangan mereka saling bertanya berapa
penghasilan yang kamu dapat dari klienmu ?
Tentu saja tidak semua advokat berprilaku seperti
tersebut diatas. Masih banyak yang bekerja professional, jujur dan memahami
keadilan.
Sarjana Syari’ah “Pasti Bisa”
Dengan
menggunakan logika (manthuq) yang sederhana saja, orang dapat mengatakan, bahwa kalau seorang sarjana syari'ah
mampu menjadi hakim agung bahkan
menjadi pejabat struktural di Mahkamah Agung, mengadili semua jenis perkara (sebelum Sistem Kamar), kenapa mereka
“dianggap” tidak mampu menjadi advokat untuk semua jenis perkara dan di semua
lingkungan peradilan, di mana letak persoalannya,
apakah pada kualitas SDMnya, pada institusi pendidikannya, pada gelar
kesarjanaan yang disandang, atau karena di lingkungan Pengadilan Negeri (PN), PTUN dan Mahkamah Militer tidak terdapat perkara
yang bersinggungan dengan agama, atau hanya karena mereka tidak diberi
kesempatan karena latar belakang pengetahuan
"hukum agama" yang dimilikinya dianggap tidak mampu
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum, di mana pemikiran hukum agama
dipandang terbelakang dan tidak sejalan dengan modernisasi.
Menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, memang diperlukan penelitian yang normatif,
empirik, dan seleksi alam secara terus menerus, akan tetapi kalau dikehendaki suatu jawaban spontan, maka berikut ini
dapat dikemukakan pendapat, bahwa
seorang sarjana syari'ah seharusnya mendapat kesempatan yang sama dengan
para sarjana hukum dari universitas umum untuk menjadi, perwira polisi, jaksa,
hakim dan advokat yang dapat bekerja dan beracara di semua lingkungan
peradilan.
Terserah kepada masyarakat apakah
mereka percaya terhadap kemampuan sarjana syari'ah atau tidak, itu adalah persoalan lain, karena merupakan persoalan dan
pertanyaan zaman.
Penutup
Kurikulum
yang ada pada fakultas syari’ah perlu terus disesuaikan terhadap kebutuhan pasar kerja profesi hukum, agar lulusan fakultas syari’ah mempunyai nilai plus
dari sarjana hukum pada umumnya, karena semestinya sarjana syari’ah disamping
menguasai ilmu hukum pada umumnya, juga punya kemampuan/pemahaman terhadap
hukum Islam.
Muaranya nanti sarjana syari’ah diharapkan mampu menjadi, perwira polisi, jaksa karier,
hakim dan advokat yang professional serta jujur dalam
membela hukum dan keadilan.
Bibliografi :
Azzumardi Azra,Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Menuju Melenium Baru,2002
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,1999;
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam
Konstitusi dan Pelaksanaanya di Indonesia;1994
Nurholis Madjid, Pesan Pesan Taqwa,Paramadina
2000;
Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah,1997;
Miriam Budiarjo,Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1980;
Mahmud Syalthout, Al-Islam Aqidah Wa Syari’ah,
1966;
Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003;
Satjipto Rahardjo,Hukum dan Masyarakat,1980;
Topo Santoso, Membumikan Syari’at Isam,2000
Pamit share tulisane nggih pak.
BalasHapusKISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
HapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....
Keren.mantab
BalasHapusHalo,
BalasHapusPerkenalkan, Nama saya Wenny
Saya adalah development dari ForexMart, Kami melihat website anda dan kami ingin mendiskusikan kerjasama kemitraan dengan Anda.
Boleh saya minta kontaknya untuk menjelaskan lebih lanjut atau anda bisa langsung menghubungi saya ke wenny@forexmart.com, terimakasih
Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
BalasHapusSITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
dengan kemungkinan menang sangat besar.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
• AduQ
• BandarQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• FaceBook : @TaipanQQinfo
• WA :+62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
Come & Join Us!!
Pemaparan yg cukup rinci. Perkenalkan nama saya Sabri,Lulusan Sarjana Syariah Jurusan HUKUM KELUARGA asal dari Papua, tepatnya Kabupaten Boven Digoel. Tahun kemarin saya ikut Tahapan Seleksi CPNS 2018 dengan sistemm SSCN. Formasi jabatan yg tersedia yaitu PENYULUH KELUARGA BERENCANA dilingkungan dinas pengendalian penduduk dan KB setempat. Sayapun mencoba mendaftarkan diri mulai dari pendaftaran SSCN, Administrasi, Hingga keluarnya pengumuman kelulusan. Dan Nama saya pun keluar sebagai salah satu peserta yg dinyatakan lulus. Namun sekarang permasalahannya saat Pemerintah daerah mengajukan penerbitan NIP dari BKN terjadi penolakan dari berkas saya. Saya dinyatakan Tidak Lolos Perifikasi karena jurusan tidak Linear oleh BKN. Langkah apa yg harus saya lakukan.
BalasHapus